Ann menggeram sambil terus menjambak rambutnya frustrasi. Pusing. Ralat, lebih dari sekedar pusing. Kepalanya serasa ingin pecah memikirkan tagar, komentar, cuitan, dan postingan-postingan nyeleneh—pasal fotonya dan Shaka—yang mendadak jadi viral dalam sehari.
Astaga! Jika sehari saja sudah separah ini, bagaimana dengan beberapa hari ke depan? Bagaimana jika keluarga, terutama papanya, tahu tentang ini?
Tamat sudah riwayatnya.
"Arghh! Bisa gila gue lama-lama kalo gini!" jerit Ann. Wajahnya kini terdongak menghadap langit malam. Sungguh, jika ia bisa meneriakkan 'Langit, bisakah kau hapus semua postingan memalukan itu untuk selamanya? Aku malu,' dan langit benar-benar mengabulkan, pasti sudah ia lakukan sejak tapi.
Namun, Ann masih memiliki otak yang cukup encer sekedar mengetahui kalau hal itu TIDAK ADA GUNANYA.
"Gue harus gimana dong?" Gadis itu memerosot, jatuh terduduk bersandar di pagar pembatas balkonnya. Ia menatap kedua temannya itu dengan mata yang mulai tergenang basah. Panik dan takut. "Gimana kalo sampe--"
"Jangan overthinking dulu." Rania bergerak turun dari ayunan santai, duduk di samping kanan Ann dan memeluknya. "Lo tenang, ya?"
"Gimana bisa lo suruh gue tenang?" Suara Ann terdengar lirih di telinga Rania. "Kalo Papa sama Mama gue tau soal ini, bisa mati beneran gue. Mau ditaruh di mana muka mereka nanti? Ini berita malu-maluin banget, Ran."
"Sshhh. Sshhh. Udah, ya." Rania mengusap punggung temannya itu, menenangkan tangisnya. "Jangan nangis. Gue yakin, besok semuanya bakal baik-baik aja. Trending topic di sosmed, kan, cepet banget kegeser. Cepet turunnya."
"Kalo ternyata ini bakal jadi rame terus gimana?" Ann mulai overthinking.
Rania menghela napas berat. "Nih anak dibilangin jangan overthinking, masih aja dilakuin," gumamnya melepas pelukan pada Ann. "Lo tau, kan, omongan bisa jadi doa?"
Ann mengangguk.
"Trus lo mau, semua overthinking lo jadi doa?" tanya Rania lagi. "Terkabul gitu?"
"Eh, amit-amit jabang bayi!" Ann langsung mengetuk keningnya dengan kepal tangan tiga kali, dan berlanjut mengetukkan tangan itu ke ubin. Gestur yang biasa dilakukan orang ketika mengucap kalimat itu. "Ya, jangan sampe dong!"
"Ya, makanya nggak usah mikir aneh-aneh," balas Rania. "Udah, positive thinking aja. Lupain aja."
Sepasang bibir cherry milik Ann langsung tercebik. "Tapi, nggak bisa!" jujurnya. "Makin dilupain, malah makin nempel."
"Guys, guys." Tata menginterupsi. Ia beranjak dari tempat duduk, lalu bergabung bersama kedua temannya. "Gue nggak tau ini ngebantu apa enggak, tapi semoga aja cukup," katanya seraya menunjukkan ponsel pada Ann. "Gue telusuri dari mana semua postingan-postingan ini muncul. Dan menurut dugaan gue, sumbernya dari dia."
"Temen lo sendiri, Ann," imbuh Rania.
"Clara," gumam Ann, amarah dengan cepat menyeruak dalam diri gadis itu. Tangannya menggenggam kuat ponsel Tata. Sungguh, jika sama benda yang dipegangnya kini bukan milik orang lain, pasti sudah ia banting sampai tak lagi berbentuk karena saking kesalnya.
Ann benar-benar tak menyangka Clara bisa sekelewatan itu.
Dan ngomong-ngomong soal teman, seperti yang dikatakan Rania tadi, Ann dan Clara adalah teman dekat—sudah seperti saudara bahkan—sejak masih sekolah dasar. Tapi entah atas alasan apa dan bagaimana, Clara mendadak jadi membencinya. Singkatnya, dari sahabat tak terpisahkan, mereka berubah jadi musuh bebuyutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...