"Tolong!"
Tampak wanita yang tengah hamil besar itu—Shinta—berjalan tertatih menghampiri Sister Mirah yang hendak mengantar Dokter Marissa—salah satu dokter kandungan di rumah sakit tersebut—menuju mobil.
"Astaga!" Dokter Marissa langsung menangkap tubuh wanita itu, mencegahnya agar tidak jatuh.
"Bayiku." Shinta menggumam, sambil terus merintih kesakitan. Air ketuban wanita itu pecah, tanda kalau bayinya akan segera lahir. Selain itu juga, tampak luka memar berdarah di keningnya. "Tolong selamatkan bayiku," rintihnya. "Orang-orang itu--Argh!"
Suster Mirah dengan cepat mengarahkan pandang pada arah datang wanita itu
Dari balik gerbang rumah sakit, tampak beberapa orang laki-laki berbadan besar berdiri di sana, enggan masuk. Ia tak ingin berburuk sangka, tapi sepertinya orang-orang itu berniat mencelakai wanita ini dan juga bayi yang dikandungnya."Cepat siapkan kuris roda!" perintah Dokter Marissa, melihat Shinta yang sudah merintih kesakitan akibat kontraksi pra-melahirkan kini tak kuat lagi berdiri.
Suster Mirah mengangguk dan bergegas mengambil benda tersebut. Ia membantu wanita itu duduk di sana, lantas membawanya masuk. Sementara, Dokter Marissa menyiapkan ruang bersalin.
"Tunggu." Shinta menjatuhkan kaki kanan ke lantai, menahan laju kursi rodanya ketika sampai di meja resepsionis.
"Nyonya ingin menghubungi seseorang?" tanya suster itu. "Biar saya saja yang mewakilkan. Persalinan harus segera dilakukan."
Shinta menggeleng. Wajahnya tampak pucat, juga sakit luar biasa yang terasa dari perut hingga ke punggung. Namun meski begitu, ia tetap memaksa berdiri, menyanggakan tubuh pada meja resepsionis. "Tolong--" ucapnya terjeda. "Berikan kertas dan pulpen."
Petugas resepsionis itu memandang dengan sedikit sangsi.
"To-long," mohon wanita itu.
"B-baik." Petugas resepsionis itu memberinya pulpen lantas menarik beberapa lembar kertas berukuran A4 dari wadahnya.
Shinta menulis sambil terus mengatur pola napas, menahan sakit di perutnya. Perih terasa dari bibir yang ia gigit kuat-kuat. Hingga surat tersebut selesai ditulis, wanita itu ambruk, kembali terduduk di kursi roda. Matanya mulai mengerjap.
"J-jika aku tidak selamat setelah melahirkan, tolong serahkan surat ini dan bayiku pada," ucapnya terjeda. Ia lantas membisikkan orang beserta alamat yang ia maksud.
Suster Mirah mengangguk, lantas melanjutkan pekerjaan, mengantarkan wanita itu menuju ruang bersalin.
Persalinan berjalan sukses, meski pada prosesnya mengalami sedikit kendala. Ditambah, hari sudah larut dan tenaga kesehatan yang ada bertugas untuk merawat pasien lain. Jadi, hanya Dokter Marissa dan Suster Mirah saja yang menangani persalinan tersebut.
Tangis bayi terdengar memenuhi celah ruangan, menciptakan senyum lega di wajah mereka.
"Selamat, Nyonya. Bayinya lahir dengan selamat." Suster Mirah menyerahkan bayi baru lahir dalam balutan kain bedong itu pada ibunya. "Laki-laki. Tampan sekali."
Shinta tersenyum ketika bayi itu sampai pada gendongannya. "Gibran," bisiknya dalam tangis haru. Bayi itu tersenyum segera setelahnya. "Kamu suka nama itu, Nak? Kita sambut ayah saat kembali besok. Oke." Ia mengetuk lembut hidung mancung bayinya.
Wanita itu berjengit karena pening yang menghantam kepala. Ia jatuh tak sadarkan diri.
Melihat itu, Suster Mirah dengan cepat megambil alih bayi itu agar tidak tergelincir dari pelukan sang ibu. "Bagaimana keadaannya, dok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Novela JuvenilAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...