"Ya ampun, jam segini masih aja tidur," ucap seseorang yang tanpa mengetuk, langsung masuk ke kamar Andra begitu saja, dan kini malah melempari wajah lelaki itu dengan jaket denim—yang tersampir di stand hanger dekat pintu. "Buruan, bangun. Penerbangannya sejam lagi."
Bukannya bangun, Andra malah semaki menggeliat di kasur. "Ya udah, biarin aja, Pa." katanya dengan suara serak khas orang baru bangun.
Kening Shaka berkerut. Pa? Benarkah Andra barusan memanggilnya dengan sebutan itu? Apa suaranya terdengar tua, sampai-sampai laki-laki menyamakannya dengan suara Om Wira?
"Andra nggak jadi berangkat," ucap Andra lagi, masih belum juga membuka mata. "Andra nggak mau ninggalin Shaka. Dia lebih butuh Andra di sini."
Shaka menghela napas berat mendengar itu. "Lo harus pergi, Bang. Gue nggak mau jadi penghalang cita-cita lo."
Suara agak pelan itu justru yang membuat Andra terjingkat. Ia terkesiap dan dengan cepat mengubah posisi menjadi duduk. "Ngapain kamu di sini, dek? Kamu, kan, belum boleh pulang dari rumah sakit."
"Barang-barang lo udah dimasukin semua, kan, ke koper?" Shaka mengarahkan pandangan pada koper hitam besar di salah satu sudut kamar. "Jangan lupa bawa baju tebal sama jaket yang banyak. Di sana, kan, lagi musim dingin." Seulas senyum terkembang di wajah kala menoleh kembali pada Andra. "Buruan gih, mandi. Habis itu sarapan, trus ke bandara. Yang lain udah nunggu lo di bawah."
Andra menggeleng pelan. "Abang nggak mau ninggalin kamu lagi, dek." Ia nenggeser tubuhnya, duduk di tepi ranjang dengan tungkai menjuntai, di samping Shaka. "Kamu prioritas Abang sekarang. Apalagi, penyakit ka--"
"Jadi dokter itu cita-cita lo kan, Bang?" sela Shaka. Ia sedikit terperanjat ketika mendengar Andra menyebut pasal penyakit yang berusaha keras ia rahasiakan. Ah, tentu saja. Andra adalah seorang dokter, pasti lelaki itu juga mendapat laporan kesehatannya.
"Dan, Abang udah jadi dokter sekarang," balas Andra.
Shaka menggeleng pelan. "Dulu, Bang Andra bilang, pengen jadi dokter supaya bisa nyembuhin Shaka, kan?" Ia meraih tangan kanan Andra dan menempelkannya ke dada, membiarkan sang Kakak merasakan sendiri napasnya yang kini terasa agak sesak. "Abang harus jadi dokter spesialis paru dulu untuk itu. Harus ambil pendidikan spesialis."
"Sayang banget lho, Abang udah daftar dan keterima, dapat beasiswa pula, masa mau dibuang gitu aja kesempatannya?" Shaka melanjutkan. Ia diam-diam juga sudah menelusuri profil universitas tempat Andra mendaftar di internet. Universitas itu adalah yang terbaik di Australia untuk studi kedokteran.
"Trus, kamu gimana?" Jelas sekali Andra masih enggan untuk pergi.
"Ya, gue bakal stay di sini. Sekolah, nemenin Devan—dia baru aja balik dari Singapura, masa mau gue tinggal?" Ia terkekeh pelan, menyamarkan suaranya yang terdengar sedikit bergetar, juga mata yang mulai tergenang basah.
Jujur, berat baginya melepas kepergian Andra, terlebih mereka baru bertemu setelah bertahun-tahun terpisah. Ditambah, penyakit yang bertambah parah dari hari ke hari, membuat sisa hidupnya terasa begitu singkat. Namun, ia tak boleh egois.
"Kita masih bisa video call. Lo juga bisa pulang tiap weekend, kalo budget mencukupi sih. Indo ke Aussie cuma 6 jam naik pesawat. Oke, nggak cuma sih, tapi kan, nggak selama kalo lo kuliah di US--" Perkataan Shaka terhenti karena Andra tiba-tiba saja memeluknya.
"Abang bakal kangen banget sama kamu, dek," bisik Andra di telinga laki-laki itu.
"Shaka juga kangen sama Bang Andra." Shaka membalas pelukannya. "Yang bener ya, sekolahnya di sana. Jaga kesehatan juga jangan lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...