Praangg!!
Shaka terbangun karena suara ribut di luar-seperti benda berbahan logam jatuh. Segera, ia bergerak turun dari tempat tidur dan berderap keluar—menuju lantai bawah, masih dengan tangan kanan yang sibuk mengucek-ngucek mata.
Satu helaan napas berat lepas dari lelaki bernetra cokelat gelap itu. "Ngapain lo di rumah orang pagi-pagi gini?" tanyanya pada Ann—yang entah masuk lewat pintu mana—yang tahu-tahu sudah ada di dapurnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sejak awal, Ann dan dapur sama sekali tak bisa berkawan baik. Karena setiap kali Ann menginjakkan kaki di sana, tempat itu pasti akan seperti kapal pecah.
"Bikin kue," jawab gadis itu dengan wajah tanpa dosanya.
Shaka merunduk mengambil Baskom besi stainless—barang yang tadi terjatuh—di dekat kakinya, lantas meletakkan kembali baskom tersebut ke meja yang kondisinya sungguh mengenaskan berkat tepung dan pecahan telur berserakan di mana-mana.
"Dengan ngacak-ngacak dapur gue?"
Ann meringis mendengar itu. "Iya deh, sorry." Ia menyusurkan punggung tangan ke dahi, mengelap keringat, membuat tepung—yang tadinya belepotan di tangan—itu pindah ke sana. Muka Ann jadi mirip anak jaman dulu yang sehabis mandi, dibedaki tebal.
"Gue mau bikin surprise buat Papa. Bikin kue kesukaannya, sebelum Papa berangkat lagi ke London," sambung gadis itu.
"Pake dapur gue?" Shaka kelihatannya masih kesal dapurnya diacak-acak. "Nggak ijin lagi."
"Eh, udah kok. Tadi udah bilang Devan," jawab Ann, yang membuat kening Shaka berkerut sedikit.
Pasalnya, ini baru jam tujuh pagi. Dan sejauh yang Shaka tahu, Devan—apalagi di weekend seperti ini—baru akan bangun pukul sembilan atau sepuluh, itu pun harus dipaksa dulu baru mau meninggalkan kasur.
"Trus, sekarang adik gue mana?"
"Jogging, sama ada urusan lain gitu katanya," jawab Ann. "Ayolah, bolehin gue pake dapur lo. Kalo gue masak di rumah, ntar Papa tau, trus nggak jadi surprise dong." Ia memohon.
Laki-laki itu menghela napas. "Hmm." Ia lalu berjalan mendekat, sekedar mengecek sampai semengenaskan dapurnya diacak-acak gadis itu. "Berantakan banget, astaga," cibirnya. "Lo masak apa ngerampok sih hm?"
Setelah dilihat lebih dekat, ternyata dapurnya jauh lebih mengenaskan. Dari meja hingga lantai, semuanya berantakan.
"Nanti gue suruh Bi Ijah beresin deh." Sebelah tangan Ann terulur, menyambungkan mixer pada colokan listrik, mengarahkan bagian pengaduk pada campuran bahan adonan basah, lantas menyalakan mesinnya.
Namun karena—tanpa sadar—Ann langsung menyalakan mode kecepatan tinggi, alhasil membuat bahan-bahan di wadah muncrat ke mana-mana. Mesin mixer mendesign cukup keras, dan hampir tergelincir dari tangan gadis itu.
Shaka yang melihatnya, dengan sigap menggenggam tangan Ann pada handle mixer tersebut, menahannya agar tidak terjatuh.
Ann mematung di tempat, menyadari posisinya dengan Shaka terpaut sangat dekat, juga tangan laki-laki itu yang menggenggam tangannya. Ia kemudian menoleh, terpanah menatap paras tampan laki-laki itu dari samping.
Jujur saja, jika sedang serius seperti ini, kadar tampan dan keren Shaka jadi berlipat-lipat.
Duh, kenapa jantung gue jadi nggak bisa diajak kompromi gini sih? batin gadis itu.
"Kayanya udah ngembang," ucap Shaka, yang langsung menyadarkan gadis itu dari lamunan.
"Eh, i-iya." Ann mengarahkan pandangan pada bahan yang tadi di-mixer-nya. Benar saja, campuran telur, gula, dan emulsifer itu sudah putih kental dan mengembang. Menurut resep yang barusan ia pelajari, jika sudah seperti itu, bahan selanjutnya yang harus dimasukkan adalah pisang yang sudah dilumatkan-karena mereka ingin membuat bolu pisang.
Gadis itu hendak mengambil pisang, tapi sudha keduluan oleh Shaka.
"Mixer aja adonannya. Biar gue yang masukin bahan-bahan lain." Setelah memasukkan pisang ke dalam adonan, lelaki itu lantas menurunkan kecepatan mixer. Shaka tak pandai soal membuat kue, tapi ia mengerti—dari melihat nenek asuhnya dulu memasak—kalau ketika hendak memasukkan adonan kering, harus menggunakan mixer kecepatan rendah agar tidak bantet.
"Adonan keringnya yang ini?" tanya Shaka, yang kemudian dijawab gadis itu dengan sekali anggukan. Lelaki itu mengangkat mangkuk besar berisi campuran terigu, susu bubuk, maizena, kayu manis, garam, dan soda kue yang telah diayak sebelumnya, lantas mencampurkannya ke dalam adonan.
Beberapa menit berselang, adonan bolu pisang kini sudah siap. Tinggal dimasukkan ke dalam oven.
"Thanks ya, udah mau bantuin," ucap Ann tanpa menoleh, ia masih sibuk memasukkan loyang kue ke dalam oven.
"Sama-sama." Segurat senyum tampak menghiasi wajah Shaka. Manis sekali.
"Eh, itu di pipi lo ada apa?" Sepasang netra hazel Ann menyipit, seiring semakin dekat ia memajukan wajahnya pada Shaka.
Mendengar itu, kening Shaka berkerut. "Apa--" Ia refleks memejamkan mata sembari menyentak kepalanya sedikit ke belakang, karena segenggam tepung ditempelkan pada pipi. Sial! Gadis itu mengerjainya.
"Ada tepung." Ann tertawa melihat wajah laki-laki itu yang kini belepotan tepung. Lucu sekali!
Salah satu sudut bibir Shaka tertarik. "Oh. Gitu, ya?" Pelan tapi pasti, lelaki itu meraup segenggam tepung dari dalam toples—yang masih terbuka—lalu melemparkannya pada Ann.
Tak mau kalah, gadis itu membalas serangan Shaka. Ia dengan cepat membaluri wajah lelaki itu dengan tepung. Bukannya membereskan dapur seusai memasak, keduanya kini malah perang tepung.
Tangan Shaka menggantung, terdiam beberapa saat di udara, masih dalam keadaan menggenggam tepung-yang hendak ia lemparkan pada gadis itu. Ia berjengit. Baru juga ia merasa senang, sesak dengan cepat mengambil alih.
Laki-laki itu dengan cepat menurunkan tangan, membuat segenggam tepung itu berjatuhan ke lantai, lantas berbalik. Tak ingin menunjukkan sakit itu pada Ann. Tangan kanannya erat mencengkram dada. Napasnya terhimpit, seolah ada yang memblokir jalannya udara. Entahlah, mungkin gara-gara serbuk putih yang sedari tadi mereka mainkan.
Shaka terbatuk beberapa kali, cukup parah hingga membuat bahunya bergetar. Lelaki itu menutup mulut dengan kepal tangan. Kali ini, ia merasakan cairan yang merembes keluar bersamaan dengan batuknya. Darah, gumamnya dalam hati.
"Ka, lo kenapa?" tanya gadis itu. "Napas lo sesak lagi?"
Shaka menggeleng. "Gue--"
"Gini ya, rasanya kalo dunia milik berdua, trus yang lain cuma ngontrak." Suara dari arah pintu utama itu dengan segera membuat mereka berdua menoleh.
Dari sana, tampak Devan dalam balutan kaus hitam lengan pendek, celana training, dan sepatu Sneakers putih kesayangan, berderap mendekat. "Pacaran sampe rumah udah kaya kapal pecah," godanya. "Awas aja kalo sampe nggak diberesin."
Melihat itu, Shaka langsung berbalik badan, memunggungi Devan. Gawat kalau sampai adiknya itu tahu ia sampai batuk darah. Ia tak ingin membuat Devan khawatir.
Ann berdecak sekali. "Gampang lah. Ntar gue bisa suruh Bi Ijah bersihin," jawabnya. "Urusan lo tadi gimana?"
Devan mengacungkan jempol. "Beres."
"Oke sip." Ann kini mengarahkan pandangan pada Shaka-yang sedari tadi masih memunggunginya-kini melangkah menjauh. "Eh, mau ke mana lo?"
"Mandi." Laki-laki itu beralasan. "Pokoknya kalo gue balik, dapur harus udah bersih," ucapnya lantas bergegas menuju kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat. Shaka juga sengaja menyalakan kran air wastafel, agar rintihannya tak sampai terdengar keluar.
Sakit sekali, Tuhan! Tiap embusan napasnya terasa begitu menyiksa, pekik laki-laki itu dalam hati.
TBC
Terima kasih sudah membaca
Semoga kalian suka chapter ini yaa
Ikuti terus kelanjutannya
Jangan lupa vote dan ramein kolom komentar
See ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...