If I quit calling you my lover
Move on
Adirama
My sight meets with those familiar eyes. Those captivating deep brown eyes.
"Alexa?" Gue mengumandangkan nama yang telah delapan tahun nggak pernah keluar dari mulut gue.
"E...Rama?"
Gue yakin dia sekarang ini sama bingungnya. What should I say first?
"Eh...hai?" I try to sound nonchalant.
Nggak ada tanda-tanda Alexa akan menjawab sapaan gue yang basi.
"Would you?" Gue memandang kursi di seberang dan mendudukkan diri.
To my surprise, she sits down.
"It's been a while, right?" Gue masih berusaha untuk mencairkan suasana.
Berharap apa kalian jika bertemu dengan mantan yang nggak pernah berkomunikasi bertahun lamanya? Cipika cipiki? Mengobrol tentang krisis dunia?
"Yes, yes." Alexa menganggukan kepala.
I guess she's still awkward with new people. But, wait. New? Gue nggak yakin mantan itu termasuk dalam jajaran 'new people'. Mungkin bagi Alexa malah masuk ke dalam jajaran 'people should avoid".
"How are you?" adalah pertanyaan gue selanjutnya.
Jujur, setengah dari diri gue nggak tahu kenapa sangat berusaha untuk mempertahankan obrolan yang sangat macet bak jalanan Jakarta, kaku selayaknya kerah seragam baru, dan canggung tak terbendung.
"Baik. Lo gimana?" Dia menjawab dengan senyuman khasnya—lesung pipi dalam tercetak di pipi kirinya.
Finally, she smiles. Namun, nggak gue sangka itu akan menjadi sebuah kesalahan yang gue limpahkan kepadanya. Is this real? Why does that smile feel like still have some effect on me? Gue nggak tahu. Rasanya ada yang aneh di diri gue.
"Yaa, seperti yang bisa lo lihat. Gue juga baik-baik aja." Gue melemparkan senyum. "Lo di mana sekarang? Jakarta? Atau..." mutusin buat lanjut di luar?
"Jakarta."
Gue menangguk mengerti.
"Lo?"
"Sama. Di Jakarta juga."
Jawaban gue menjadi awal suasana rikuh bagian dua.
"Eh—"
Kalimat gue terpotong ketika terdengar bunyi dering ponsel—milik Alexa lebih tepatnya.
"Sorry." Alexa meringis.
"It's okay." Gue memberikan senyum maklum dan mempersilakannya mengangkat telepon.
"...there was some..." Alexa melirik ke arah gue."...accident."
Sebelah bibir gue terangkat otomatis. Well, let's just say it's an accident then.
Raut wajahnya nggak terlalu baik selama melakukan panggilan telepon. I wonder what's going on.
"Keknya buru-buru." Gue memang sebenarnya nggak berniat menahannya lama-lama.
"Sorry." Dia tersenyum sambil menautkan rambut di telinganya. "Emm...I have to go."
Gue tergelak. "You don't have to be sorry. Harusnya gue yang minta maaf karena nahan lo."
Lagi, dia memberikan senyumnya. "It's nice to see you again."
"Yes. It's...really nice."
"Then..."
Gue mengangguk mempersilakan dan Alexa berdiri.
"Bye, Ram." Dia mengembangkan bibirnya sekali lagi. Mungkin bisa jadi yang terakhir untuk gue lihat. Lesung pipi terakhir yang dia berikan.
"Bye, Alexa."
Gue masih terus memperhatikannya hingga figur Alexa hilang dari pandangan. Bayangannya melebur bersama rintik hujan di sore hari yang terang.
From the minutes I saw her, she's still the same. Or maybe not?
Dia masih menjadi Alexa yang canggung. Alexa dengan senyum yang agung. Alexa dengan wajah yang dapat membuatmu tertenung.
She's still the same, but not really the same.
~~
so, what do you think? kira-kira kalian bakal gimana kalau nggak sengaja ketemu mantan yang telah putus kontak lama?
buat yang ngeh, iya, ini ada di epilog serein. tapi dari perspektif Rama wkwk
but worry not, buat yang nggak baca serein, kalian bakal masih bisa ngerti ceritanya alias you can read it as a standaloneyuk, pencet bintangnya lalu skrol ke bawah
thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
not an option [completed]
ChickLit"She was special to you, dude. Bukan, bukan. She is special to you." "Ngada-ada lo." "Dih! kalau nggak spesial, mana mungkin lo dulu mau digantungin satu semester. Satu semester woy! Setengah tahun!" "Lo nggak tahu? Someone wise once said, if you co...