21 | i miss you

2.7K 282 14
                                    

I'm sorry I don't understand

Where all of this is coming from

I thought that we were fine (oh we had everything)


Adirama

Gue mulai mempertanyakan di mana semestinya gue harus memberikan perhatian penuh.

"Kira-kira masih bisa keep up sama schedule awal atau gimana?"

Pandangan gue tertuju ke depan. Or maybe not. Gue nggak bisa memfokuskan mata dan telinga kepada beberapa orang yang tengah sibuk berdiskusi. Begini jadinya kalau gue sudah selesai menyampaikan apa yang perlu dijabarkan. Nggak sekali atau dua kali Adit yang ada di sebelah harus menyikut atau menendang gue untuk menyadarkan, ditambah ketika jawaban gue diperlukan.

Know what distracting me is? None other than Alexa.

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian 'malam itu'. Satu hal yang sangat kentara berubah dari diri Alexa adalah...dia menggunakan kacamata.

Mungkin Alexa pikir, hal itu akan bisa menyembunyikan bagaimana matanya sangat jauh dari kata hidup. Oke, mungkin gue berlebihan. Setidaknya tidak ada semangat yang bisa ditunjukkan dari matanya. It's not the same with the deep brown that's so captivating I know.

"Saya kira cukup untuk bahasan rapat kali ini. Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk menghadiri rapat hari ini. Selamat siang."

Begitu Pak Yudi menutup rapat, kami semua langsung beranjak. Mungkin pengecualian dari Alexa yang gue lihat masih terduduk entah fokus pada apa. Hingga Mas Dani-rekannya sebagai senior arsitek-berkata sesuatu padanya.

Satu per satu dari kami berjalan keluar ruangan. Dengan posisi berada di belakang Alexa—diselingi beberapa orang—gue bisa leluasa mengamatinya. Just like I always do during this week everytime we had time together-work related.

Gue nggak pernah mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Hanya menyapa sebagai bentuk formalitas dan profesionalitas.

"Tumben nggak ngobrol dulu sama Mbak Alexa, Ram?"

Kira-kira siapa yang menanyakan hal demikian ke gue? Right, Pak Halim.

"Eh? Dia kayanya buru-buru, Pak. Nggak enak saya," jawab gue setengah berbohong.

Memang tadi Alexa tergesa-gesa berjalan menuju elevator. Tebakannya adalah gue yang menjadi penyebab terbesar. Entah memang begitu faktanya atau kepercayaan diri gue sedang terlalu tinggi.

Adit yang di sebelah gue hanya mendengus sarat cemoohan.

"Ohh." Pak Halim menganggukkan kepalanya. "Baik-baik aja, kan, kalian?"

Adit mengeluarkan batuk yang bisa gue jamin seribu persen dibuat-buat.

"Baik, kok, Pak." Gue menampilkan senyum.

"Ya udah kalau gitu." Pak Halim kemudian beberapa kali menepuk bahu gue pelan dan memberikan senyum.

Pada saat itu juga pintu elevator terbuka.

"Saya duluan, ya. Mari Adit," pamit Pak Halim.

"Mari, Pak," sahut Adit sambil tersenyum dan mengangguk.

Gue dan Adit mengikuti langkah Pak Halim—yang sudah jauh di depan kami—keluar dari elevator untuk menuju area parkir.

"Shut up."

Nggak sampai satu detik gue menyelesaikan kalimat tersebut, tawa Adit sudah mengisi area parkir Gama Property.

"Pak Halim aja sampe ngeh. Boleh ketawa nggak sih gue," pekiknya di sela tawa.

not an option [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang