I knew from the first time, I'd stay for a long time 'cause
I like me better when I'm with you
Alexandra
Belasan jam telah berlalu sejak peristiwa semalam. Saat ini aku dan Rama telah berada di dalam salah satu bangunan ikon Paris van Java, Museum Gedung Sate.
"Tahu nggak kamu kalau dindingnya ini tuh tebalnya sampai satu meter?" tanyaku pada Rama.
Kami tengah di hadapan bagian dinding yang terbuka, memperlihatkan batuan tertata rapi.
Rama terkekeh. "Tahu, dong."
Hidungku mengerut. "Ah, nggak seru!"
Tawa Rama pecah. "Oke, aku ralat, deh. Oh iya?" Rama memasang wajah pura-pura terkejut.
Aku memutar bola mata, kemudian menarik tangan kami yang bersanding untuk berjalan menyusuri ruangan.
Memang untuk bangunan pondasi dan dinding struktur lantai satu, digunakan semacam batu belah dan sebagai perekatnya digunakan campuran semen portland dengan agregat halus.
Kami beralih ke ruangan dengan gambar lukisan di dinding putih yang menggambarkan suasana kota Bandung. Kemudian kami sampai di teater 4D yang memutarkan film tentang tujuh pemuda zaman kolonial yang berjuang mempertahankan bangunan dari penjajah.
"Ayo, cobain," ajak Rama saat kami tiba di depan semacam keranjang seperti yang ada pada balon udara.
Aku mencobanya lebih dahulu. Sesaat setelah memasangkan perangkat VR, aku seperti terbang bersama balon udara di atas Gedung Sate. Berjalan-jalan melihat sekitar kota Bandung dengan sensasi yang berbeda.
Setelahnya, kami menghabiskan sore menyusuri Teras Cihampelas. Melewati puluhan ruko pedagang kaki lima yang menjual aneka macam. Sayangnya saat ini ia sudah mulai terabaikan dan sedikit kumuh.
Mampir sebentar ke Ciwalk, kami melanjutkan acara jalan-jalan ini menyusuri Braga. Mungkin sepertinya salah jika kusebut jalan-jalan, karena kami menggunakan mobil. Remang cahaya lampu menemani kami melihat Gedung Landmark—lambang sejarah Braga dan Bandung—taman Braga, De Majestic, hingga Museum Konferensi Asia-Afrika dengan jajaran tiang bendera. Diakhiri oleh Rama yang memberhentikan laju mobilnya di Alun-Alun Bandung.
"Look at your face!" pekikku dengan tawa saat layar LCD kameraku menunjukkan wajah Rama.
Di sana ia terlihat seperti menahan buang air besar. Koreksi. Bukan seperti, karena kenyataannya memang dia menahan untuk buang hajat saat kami berada di Teras Cihampelas.
Saat ini kami telah terduduk di rumput sintetis alun-alun. Membaur di antara ratusan manusia yang mengisi tanah lapang berbentuk persegi ini. Aku dan Rama duduk bersila menghadap megahnya Masjid Raya Bandung yang terapit menara raksasa.
Rama memutar bola matanya. "Ini kalo mau kuhapus nggak boleh pasti."
Aku menggeleng tegas. "No."
Kami melanjutkan melihat hasil jepretan kami satu hari ini.
"Eh, Dimas gimana?" celetuk Rama tiba-tiba.
"Masih sama temennya. Ini tadi barusan chat aku ngasih kabar," terangku. "Perhatian banget kamu."
Tadi pagi mereka berkenalan—tentunya aku yang mengenalkan. Rama langsung nyambung mengobrol dengan Dimas. Hingga akhirnya diputuskan agar Dimas membawa mobilku karena aku akan pergi dengan Rama.
"Yaa, kan, masih tanggung jawab kamu juga," jelasnya dengan nada ceramah sok bijak.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. "By the way, Ram. I forgot to ask you, kamu kenapa tiba-tiba minta maaf? It has been almost a month," tanyaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
not an option [completed]
ChickLit"She was special to you, dude. Bukan, bukan. She is special to you." "Ngada-ada lo." "Dih! kalau nggak spesial, mana mungkin lo dulu mau digantungin satu semester. Satu semester woy! Setengah tahun!" "Lo nggak tahu? Someone wise once said, if you co...