16 | i'm the one who misses you

2.9K 315 19
                                    

You will never sleep alone

I'll love you long after you're gone

And long after you're gone, gone, gone


Alexandra

"Kemarin siapa yang nganterin, Lex?"

Saat ini aku sedang berada di rumah karena hari Minggu. Seperti biasa, Mama sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Lebih tepatnya untuk Papa karena Papa adalah seorang warga Indonesia tulen, alias belum makan kalau belum makan nasi—termasuk sarapan di pagi hari. Sedangkan untuk Mama dan aku biasanya cukup dengan makanan yang lebih ringan untuk sarapan, seperti roti atau pancake. Mungkin darah Belanda yang mengalir di Mama ikut berpengaruh. Sorry, I'm not good at Biology. Or is it included in developmental psychology? I don't know.

"Hmm?" Aku hanya meringis menjawab Mama.

"Belum mau cerita, nih?" Mama menoleh kepadaku dari depan kompor.

"Nanti, deh, ya, Ma?" Aku memberikan senyum lebar.

Mama menatapku dengan bibir yang tertarik datar dan mata yang memicing curiga.

Aku bukan anak yang tertutup dengan orang tua, tapi bukan juga yang terlalu terbuka. Aku bukan yang setiap hari menceritakan apa yang terjadi. Mau setiap hari pun rasanya juga tidak bisa karena orang tuaku tidak selalu setiap hari ada di rumah.

Aku akan bercerita kalau memang kejadian itu sangat berpengaruh dalam hidupku atau mungkin aku harus mengambil keputusan penting—seperti sesuatu yang tidak bisa kuputuskan sendiri. Papa dan Mama juga bukan orang yang memaksakan. Mereka akan menunggu hingga aku dengan sendirinya siap bercerita.

"Bukan Reiza, Lex?" tanya Mama saat meletakkan tempe goreng ke atas meja.

Aku mengernyit dan menggeleng pelan. "Hmm, no."

Mama menaikkan salah satu alisnya. "Bukan Bella juga?"

Aku membuang napas. "Ma."

"Oke, okee. Mama nggak maksa." Mama akhirnya duduk. "Pa!"

Papa dengan kaos kutang putihnya masuk melewati pintu kaca yang memisahkan dapur dengan halaman belakang.

"Pa, nggak bisa gitu, ya, ganti baju dulu," komentarku saat Papa duduk di kursi.

"Kenapa? Mama aja suka, kok," jawab Papa sambil mengambil nasi.

"Dulu, Pa, dulu," timpal Mama.

"Tuh!" tambahku.

Aku sejujurnya tidak paham dengan fenomena ini. Apakah kutang putih dan celana hitam itu semacam seragam wajib bapak-bapak? No offense, Papa bisa tergolong satu dari sedikit pria paruh baya tanpa perut buncit. Akan tetapi tetap saja outfit yang dipilih Papa tergolong ke dalam sekian banyak setelan bapak-bapak bersantai di rumah.

"Halah, nanti kalau Papa dandan rapi ada yang kepincut kalian nangis." Papa mengambil sayur sop di depannya.

Aku menjulurkan lidah.

"Pa, sekarang kan lagi jamannya apa itu...apa Lex namanya?" Dahi Mama berkerut mencoba mengingat. "Itu loh yang sukanya sama anak muda."

"Sugar baby?" jawabku.

"Nah!" Mama mengangguk. "Papa nggak ada itu, Pa?"

Aku tersedak susu yang sedang kuminum. "Kalau Papa ada, ya, nggak mungkin bilang, lah, Ma." Aku menyahut setelah terbatuk beberapa kali.

not an option [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang