I was a flight risk, with a fear of fallin'
Wondering why we bother with love, if it never lasts
Alexandra
"Jadi, lo ketemu Rama, nggak sekali, nggak dua kali, but three times and you don't even bother to tell me?!" cecar Bella saat kami keluar dari mobil yang telah terparkir rapi di PI.
"I'm telling you!" belaku. "Will be. Going to."
Bella memutar kedua bola matanya. "Ngeles mulu lo."
Aku menghembuskan napas panjang. "Gue nggak ngeles kali. Beneran gue hari ini mau bilang, keduluan aja sama Kak Adit. Lemes banget mulutnya dari dulu."
Iya, Bella tahu bahwa salah satu peserta tender proyek yang sedang aku kerjakan adalah Rama dari Kak Adit. She met him, when I was busy with my cousin's wedding. And, somehow, they're keeping on meeting each other.
Ia menggelengkan kepala dengan mata yang menyipit. "I doubt it," tolak Bella.
Gue menaruh telapak tangan di dada. "Lo nggak percaya sama gue? Temen lo? Your best friend? Yang udah lo kenal, wait, how long we've known each other?"
Bella memberikan lirikan. "Secara teknis, gue kenal lo hampir sama lamanya sama Adit. Bedanya, lo lebih tiga tahun, dan gue recently keep on contact with him."
Aku bersedekap. "Oke, sekarang siapa yang ngeles?"
"Satu sama," pungkas Bella.
Kami berjalan memasuki mall. Saat akan menuju level basement, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Karena aku bukan orang yang kepedean, aku tidak menoleh hingga seseorang menepuk bahuku.
"Lexa? Bella?"
Aku berbalik arah dan menemukan seseorang dengan panjang rambut sebahu. Dahiku mengerut. Sedetik kemudian memori di kepalaku memunculkan sebuah nama. "Dita?! Ini Dita beneran?"
"Iyaa!" pekik Dita dengan senyum lebar terulas di wajahnya.
Kami kemudian saling berpelukan untuk beberapa saat.
Dita adalah salah satu kenalanku ketika mengikuti UKM di kampus dulu, FORMAT—Fotografi Mahasiswa Teknik. Tempat yang sama di mana aku berkenalan dengan Rama untuk pertama kali—seperti yang telah kubicarakan tempo hari.
Aku dan Dita bisa dikatakan dekat dulu—jika level kedekatan diukur dari intensitas mengobrol. Kalau Bella, how should I explain it? Anggap saja dia terlalu mudah bersosialisasi, sehingga tidak jarang dia menghabiskan waktu di sekretariat kami. Karena itu jugalah ia mengenal beberapa anggota di sana.
Setelah berbasa-basi singkat, kami berpamitan untuk menuju tujuan awal kami masing-masing. Tidak lupa menyempatkan untuk bertukar kontak sebelum melangkah saling menjauh.
--
"So, where should I start?" tanyaku saat kami telah berhasil duduk di salah satu kursi Hakata Ikkousha.
"Nope. Nggak sekarang. You know I hate to talk about serious matters when I eat." Bella mengangkat tangannya.
Aku mendecakkan lidah. "Dih, siapa elo mengkategorikan ini serious matter. Kan cara-caranya, gue yang punya hajat."
"You wanna bet? Seperti yang lo bilang, you're my best friend. Apa perlu gue jelasin?" Dia memandangku bosan.
"Oke, you won." Aku mengangkat kedua tangan menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
not an option [completed]
ChickLit"She was special to you, dude. Bukan, bukan. She is special to you." "Ngada-ada lo." "Dih! kalau nggak spesial, mana mungkin lo dulu mau digantungin satu semester. Satu semester woy! Setengah tahun!" "Lo nggak tahu? Someone wise once said, if you co...