Bagian 4: Garis Batas

200 33 1
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤBandung, rumah kecil hangat dan pecel ayam.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ(Content Warning // Cigarettes, Smoking.)

ㅤㅤㅤㅤ
____________________
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Maaf ngerepotin sampai nganter pulang segala. Ayo, duduk dulu. Bunda bikinin pecel ayam buat kamu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤDari kalimat itu, jadilah motor Sangkara yang niatnya hanya berhenti sementara setelah mengantar kini berdiam lebih lama karena pemiliknya sekarang tengah duduk kursi sambil memakan pecel ayam di hadapan dengan lahap. Sebuah sambutan hangat dari rumah yang hanya diisi oleh dua orang tersebut.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro sendiri kini duduk di samping Sangkara dengan Bunda yang sedang memijat pergelangan kaki kirinya pelan-pelan menggunakan minyak tawon. Meski berulang kali berkata kalau sudah tidak apa-apa, tapi Bunda tetap melakukannya walau omelan juga kadang keluar dari mulut wanita paruh baya itu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Lain kali bilang ke gurumu, jangan ide buat anak orang olahraga lari naik tangga. Udah, ya. Bunda ke dapur dulu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤBunda berdiri, membersihkan tangan dengan lap kemudian tanpa segan memberi sebuah kecupan di kepala Neandro sebelum masuk ke dalam rumah untuk mengolah sayuran yang akan dibuat untuk makan malam. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah lepas dan Neandro juga tidak pernah protes seperti anak remaja lelaki lainnya. Dia akan dengan senang hati jika Bunda memberikannya kecupan atau pelukan sekalipun, karena dia termasuk anak yang manja meskipun luarnya dibungkus dengan tampilan cuek. Hanya pada Bunda, tidak kepada orang lain.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTapi sepertinya Neandro lupa akan keberadaan Sangkara kala itu dan terkejut kala mendapati Sangkara yang tengah memperhatikan ke arahnya dalam diam.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro lagi-lagi dibuat terpaku.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Deket sama Bunda?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Eh?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Haha, nggak apa-apa. Nggak aneh, kok." Sangkara berujar lagi sebelum meminum teh tawar yang disuguhkan untuk minum, kemudian mencuci tangannya dengan air kobokan dan mengeringkannya dengan tisu. "Jarang ada anak laki-laki yang mau kelihatan seakrab itu sama Bundanya. Takut dibilang anak mami."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Nggak peduli juga, sih." Sambil menuangkan teh tawar ke gelasnya sendiri, Neandro berujar pelan. "Bunda satu-satunya yang aku punya. Masa' aku harus nolak kasih sayang yang dikasih gratis cuma karena gengsi?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTerlihat Sangkara menjentikkan jari, memberikan gestur seolah setuju atas apa yang baru saja Neandro katakan, karena memang pada kenyataannya tak semua orang seberuntung itu untuk bisa mendapatkan kasih sayang yang didambakan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Mau punya orang tua kayak Bunda juga," gumam Sangkara pelan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤDari sini Neandro bisa melihat bagaimana sepasang mata yang berhasil mencuri perhatiannya sejak awal itu memandang jauh entah ke mana. Mungkin tengah berimaji tentang sesuatu dan sebuah senyum terbit di wajah Sangkara beserta dengusan kecil.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤKeheningan berhembus bagai angin dan menyusup di antara mereka. Neandro memilih diam dan tidak bertanya lebih jauh mengingatkan kalau jarak mereka belum sedekat itu untuk saling melewati garis batas masing-masing, tapi dari ekspresi kecil itu Neandro tahu kalau ada sesuatu yang dirinya miliki dan Sangkara menginginkan hal yang sama.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Udah cukup sore." Sangkara meraih tas slempang hijau yang dia letakkan di atas lantai berubin biru. "Izin pulang dulu, ya?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Oh, iya. Bundaaaa, ini Sangkara mau pulang dulu katanya!" seru Neandro dari kursinya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤDisambut dengan sebuah seruan juga dari dalam untuk menyahuti perkataan Neandro. "Hati-hati, ya, Nak! Makasih udah nganterin Chandra pulang."

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Chandra?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro menganggukkan kepala pelan. "Cara Bunda manggil aku. Lebih simpel katanya."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Lebih simpel dipanggil Nean, sih, harusnya," timpal Sangkara sembari bangkit dari kursi. "Ah, baru inget."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Hm?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Mau tukeran nomor, nggak?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤBertukar nomor. Bukan hal biasa bagi Neandro untuk membagikan kontaknya kepada orang lain. Jujur saja, dia tidak menyimpan banyak kontak di handphone-nya. Isi roomchat-nya juga hampir bersih dan hanya ada nama Bunda dan Cataka, itu juga karena Neandro merasa mereka adalah orang yang akan paling sering dihubungi untuk menanyakan hal-hal penting. Dia bukan orang yang suka komunikasi basa-basi.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTapi, kali ini Neandro mengangguk saja. Mengeluarkan handphone dari saku jaket birunya, menekan deretan nomor yang didikte oleh Sangkara sebelum memberitahukan nomor ponselnya sendiri. Tidak apa-apa, siapa tahu penting. Lagipula Neandro belum memberikan balasan untuk hari ini secara langsung.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Oke, aku balik beneran. See you?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Hm, see you."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤDan Sangkara kini sudah kembali duduk di motor, mengenakan helm hitam miliknya sedang helm yang satunya dia simpan di dalam bagasi jok. Tampak kemudian Sangkara mengeluarkan sebatang rokok, menjepit batang nikotin itu di antara bibir tipis dan membakar ujungnya perlahan. Sesuatu yang tidak Neandro duga sebelumnya, tapi seharusnya memang tidak mengejutkan karena anak seumur mereka sudah banyak yang mulai merokok. Mungkin di usia yang lebih muda lagi dari ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSangkara melambaikan tangan sesaat sebelum membiarkan mesin motornya menderu melintasi jalanan, meninggalkan Neandro yang masih duduk di kursi plastik sambil menatap kepergiannya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Anaknya baik banget, ya." Neandro menoleh kala mendengar suara Bunda. Sosok wanita itu kini sudah berada di depan pintu sambil. "Padahal kayaknya kalian belum saling kenal, tapi mau nolong dan nganter pulang. Orang sekarang kebanyakan cuma ngeliatin doang. Nolongin nggak mau."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤKekehan pelan Neandro membenarkan perkataan Bunda. Sangkara memang terlihat baik sekali sampai mau menolongnya seperti ini. Dan mungkin juga Sangkara akan menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan, sama seperti saat lelaki itu membantunya. Mungkin memang di balik wajah yang agak sangar itu tersimpan banyak kebaikan? Kita tidak bisa menilai seseorang dari luarnya saja, kan?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤJadi dari saat itu Neandro mewanti-wanti pada diri sendiri kalau dia tidak boleh salah paham pada kebaikan Sangkara sebelum perasaan kecil dan aneh yang ada di dadanya jadi semakin tumbuh.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤDia tidak spesial, juga ... belum tentu Sangkara akan menerima perasaan itu. Karena mereka 'sama'.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤJadi Neandro memilih untuk simpan rapat-rapat untuk saat ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
____________________

Kala Sang Surya Tenggelam | JubbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang