Bagian 8: Lembar Baru

159 31 1
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Memang sulit, tapi apa salahnya mencoba?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

____________________
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro turun dari motor begitu sampai di rumah Sangkara. Helm di kepala dibantu lepaskan oleh Sangkara sebelum si empunya mematikan mesin motor dan parkir di halaman rumah.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤUntuk sesaat, Neandro terpukau melihat rumah di hadapannya. Tidak besar dan mewah, karena memang Sangkara bukanlah termasuk jajaran orang berduit tak terhingga seperti Jayendra, tapi pemilihan warna membuat rumah itu terlihat artistik. Dinding putih dilukis bunga warna biru kecil-kecil, ada taman kecil di halaman yang buat rumah itu tampak semakin segar, walau mungkin perawatannya agak kurang. Maklum, yang tinggal di rumah itu adalah anak laki-laki dan orangtuanya sibuk bekerja, jadi mungkin Sangkara malas untuk sekedar merawat.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Bunganya aku sama Jayen yang gambar waktu gabut. Lucu, nggak?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤMerasa pikirannya seperti dibaca, Neandro alihkan pandangan kepada Sangkara sambil mengangguk dan berkata, "Bagus. Lucu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSatu langkah Neandro sampai di dalam rumah Sangkara setelah dipersilakan masuk lebih dulu, disusul Sangkara yang langsung mengunci pintu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Harusnya kita beli makan, ya. Lupa nggak ada yang masak di rumah," ujar Sangkara sambil melangkah menaiki tangga rumahnya perlahan. "Oh, kita ngobrol di kamarku aja. Biar bisa santai. Tapi maafin agak berantakan."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTidak ada masalah sama sekali dengan kamar berantakan, hanya saja yang bermasalah sekarang adalah degup jantung Neandro yang tiba-tiba tidak bisa dikendalikan. Mungkin pikirannya saja yang terlalu berlebihan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤKamar berantakan yang tadi Sangkara katakan sangat jauh dari ekspektasi awalnya. Malahan, kamar dengan cat dinding abu itu terlihat sangat tertata. Ada dua kasur busa ditumpuk jadi satu yang berlapiskan sprei bertema klub sepak bola,  beberapa poster dari animasi Jepang ditempelkan di dinding dekat kasurnya. Rak kayu berisi buku pelajaran berisisian dengan meja lipat yang mungkin digunakan untuk belajar. Penempatan jendela kamarnya juga bagus. Kalau saja hari itu cerah, mungkin Neandro bisa melihat bagaimana cahaya matahari yang jatuh menerangi. Tidak lupa juga asbak rokok diletakkan di kusen jendela, sisanya belum dibuang—mungkin bekas kemarin atau pagi tadi—tapi tidak ada bau rokok yang tercium dari ruangan itu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Sini tasnya digantung. Terus kalau mau duduk di kasur aja, soalnya di lantai dingin," ujar Sangkara yang tengah menggantung tas slempangnya di balik pintu. Neandro turut memberi ransel untuk digantungkan. Tapi dia tidak langsung duduk di kasur seperti yang Sangkara ujarkan, lebih memilih untuk berjalan mendekati jendela dan melihat pemandanga di luar sana.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTepat di samping rumah Sangkara ada sebuah lapangan kecil yang sekarang sedang dipakai oleh anak-anak kecil untuk bermain. Mereka berlari ke sana-ke sini sambil berteriak kencang. Terlihat sangat menyenangkan. Kalau dulu untuk bermain sebentar saja Neandro tidak bisa, anak-anak lain sudah mengejeknya karena tidak punya ayah. Jadi waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah, entah bermain bersama kakak atau membantu Bunda.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Tuh, bengong lagi."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Nggak kok. Nggak bengong kali ini," lirih Neandro. "Cuma asik aja lihat anak-anak itu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSangkara langsung alihkan pandangan pada lapangan kecil itu. "Mau main juga?" tanya Sangkara. "Eh, kamu 'kan mageran."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro tak bisa menahan tawa begitu dengar kata demi kata yang keluar dari bibir Sangkara. Seolah lelaki itu tahu betul tentang dirinya sampai detail sekecil itu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Kamu tahu, nggak? Ketawa kamu semanis itu."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤUcapan tiba-tiba itu membuat tawa Neandro seketika terhenti. Suasana hening menyelimuti bahkan sampai suara teriakan anak-anak yang bermain di lapangan bawah tidak terdengar lagi. Nafasnya tertahan kala netranya kembali bertemu pandangan dengan netra Sangkara. Rasanya persis seperti pertemuan pertama mereka. Berbinar, namun penuh dengan misteri.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Aneh, ya, kalau aku bilang aku tertarik sama kamu? Secara kita berdua ini 'sama'," tukas Sangkara, buat Neandro semakin larut dalam diamnya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤPunggung Sangkara yang bersandar pada kusen jendela kini berbalik. Kini mereka sama-sama menghadap ke luar, menatap ke langit yang entah mengapa sore itu makin kelabu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Sejak kapan?" Pada akhirnya Neandro beranikan diri untuk ungkapkan tanya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Kamu inget atau nggak? Di depan gerbang sekolah, aku minum es jeruk terus kamu lagi nunggu angkot. Kita lihat-lihatan. Dari sana aku mulai penasaran," jelas Sangkara. "Terus, waktu kamu jatuh dari tangga. Kamu yang cedera, aku yang ngerasain sakitnya. Aneh, ya? Aku awalnya mikir kenapa bisa, tapi lama-lama aku biarin ngalir gitu aja. Cuma aku takut kamu nggak bisa terima semua, jadi aku lakuin aja apa yang aku bisa. Kasih perhatian misalnya."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤYang membuat Neandro terus terdiam saat itu adalah kepalanya yang terus memutar tentang memori di mana Sangkara memberikan perhatian padanya. Mencari di mana letak perhatian yang dimaksudkan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤApakah itu dengan membelikannya kopi dan seblak? Mengantar-jemputnya ke sekolah? Atau ... bahu yang dipinjamkan kala Neandro ingin pejamkan mata sejenak?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Sangkara ...," panggil Neandro, suaranya setengah berbisik, "Sangkara nggak aneh. Kita nggak aneh."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤKita, kata Neandro. Kata yang tanpa sadar membuat kedua mata Sangkara terbuka lebar. Kali ini kebingungan berpindah ke wajah tampan Sangkara dan untuk mengatasi kebingungannya itu Sangkara hanya bisa tertawa pelan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Ini maksudnya, kita punya perasaan yang sama?" Sangkara bertanya pelan-pelan. Tatapnya masih betah memandangi Neandro pada kedua netra dalam-dalam.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤMeski sudah mengulum bibir rapat, Neandro tetap tak mampu untuk menahan senyuman. Tampaknya hari ini akan tercatat rekor baru di mana Neandro sudah tersenyum lebih dari dua kali. "Kalau aku bilang 'iya', selanjutnya kita bakal gimana? Maksud aku ... bakal susah buat kita ngejalanin 'kan?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSangkara mengangguk, paham sekali yang dimaksudkan oleh Neandro. Di sini, bumi di mana mereka berpijak saat ini, masih banyak orang intoleran. Pandang sebelah mata akan hubungan-hubungan yang katanya 'tidak natural' atau 'tidak normal'. Padahal itu urusan dapur masing-masing individu, tak perlu ada yang ikut campur tangan dan mendadak menjadi paling suci.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤPadahal masih sama-sama manusia, tapi sudah pandai mengecap manusia lain sebagai pendosa.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤAda sentuhan lembut yang Neandro bisa rasakan di permukaan telapak tangan, ternyata dari Sangkara yang tengah meraih dan mencoba menggenggamnya. Neandro berikan saja secara cuma-cuma.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Kamu tahu aku nggak akan peduli pada satupun kata orang. Udah terbukti dari yang selama ini kamu dengar, tapi aku nggak pernah ngerasa bermasalah soal itu," tutur Sangkara sembari mengeratkan genggaman tangannya. "Tapi kamu, gimana?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ"Aku sendiri juga nggak masalah. Lihat aja aku udah lama tutup telinga dari omongan orang yang bilang aku ini korban yang kamu palak, tapi aku betah-betah aja 'kan?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTak ada satupun kebohongan dari tiap kata yang Neandro ucapkan. Yakin dan bulat tekad akan keputusannya. Walau sudah tahu kesulitan apa yang akan mereka hadapi di waktu nanti, Neandro tetap pada keyakinannya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSelama Sangkara berada di sampingnya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤTidak akan apa-apa.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤYa, kan?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
____________________

Kala Sang Surya Tenggelam | JubbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang