Bagian 11: Imaji Masa Depan

137 26 1
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Apakah di masa depan nanti, kita masih akan bisa seperti ini?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
____________________
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Pagi itu Neandro terbangun dengan pemandangan yang tidak biasa. Seseorang tengah berbaring di kasur sambil memeluk erat pinggangnya. Ah, bisa-bisanya dia lupa kalau Sangkara menginap tadi malam dan Neandro lah yang tidak melepaskannya sampai pagi ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Tanpa ada niatan membangunkan Sangkara lebih dulu, Neandro beranjak dari kasur untuk menghampiri bunda mumpung masih pukul enam. Biasanya, pagi bunda akan disibukkan dengan memasak sarapan sekaligus makan siang, dan Neandro biasa membantu mencuci piring bekas bunda memasak sebelum lanjut menghabiskan hari liburnya dengan menonton televisi, atau pergi ke warnet.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Pagi, Bunda," sapa Neandro pada Bunda yang tengah menata piring di meja makan yang letaknya berada di belakang sofa ruang tamu. Kepalanya disandarkan di pundak bunda yang langsung dihadiahi dengan usapan pelan di rambutnya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Udah cuci muka belum? Mau mandi?" tanya bunda.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Neandro mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan kedua. "Mau cuci piring dulu baru mandi, sambil masak air panas," katanya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Ya, udah. Sana masak dulu air panasnya."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Lagi-lagi Neandro hanya menganggukkan kepala, namun langkahnya tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri saat itu. Buat bunda juga terheran akan sikap Neandro pagi itu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Bunda tahu kalau Neandro itu memang pendiam. Lebih sering memendam semuanya sendiri dibanding untuk menceritakannya, namun hari ini bungkamnya Neandro tampak sedikit berbeda dan itu buat bunda sedikit gelisah juga.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Bunda ...," panggil Neandro pelan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Posisi bunda yang tadi masih membelakangi Neandro langsung berubah saat mendengar panggilan itu. Tangan bunda terulur untuk mengusap rambut anaknya pelan. "Kenapa, sayang?" tanya bunda lembut.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Bukannya mendapat jawaban, Neandro malah terlihat buru-buru menggelengkan kepala kemudian menunjukkan sebuah senyuman pada bunda.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Nggak apa-apa, Bun. Lagi linglung kayaknya Chandra," katanya cepat sebelum beranjak ke dapur untuk memasak air panas dan mencuci piring seperti niatannya tadi. Meninggalkan bunda yang tampaknya makin kebingungan melihat tingkah anaknya pagi itu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Lagipula, rasanya Neandro bodoh sekali. Bisa-bisanya dia berpikir untuk mengatakan pada bunda tentang hubungannya dengan Sangkara. Hubungan yang pastinya akan ditentang habis-habisan karena melanggar apa yang mereka sebut sebagai norma. Sebuah kenyataan pahit yang harus dirinya dan Sangkara simpan, entah untuk sampai kapan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤSetelah selesai dengan kegiatan awalnya—mencuci piring dan mandi—Neandro kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu. Sangkara masih betah dibuai oleh khayal alam mimpi, tapi Neandro malah ingin sekali mengusili.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Neandro duduk di tepi kasur. Pelan-pelan tangannya terulur untuk memberi usapan lembut pada helaian rambut Sangkara, kemudian perlahan turun untuk menyentuh pipi Sangkara. Pelan, halus, sebelum memberikan sebuah cubitan pelan di pipi yang membuat Sangkara perlahan membuka kelopak matanya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Sayang ...."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Suara serak Sangkara terdengar menggelitik telinga, tangan yang tadi memeluk selimut Neandro terulur untuk menyentuh pipi Neandro yang dingin karena baru saja selesai mandi.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Bangun," bisik Neandro, tapi tubuhnya menunduk hingga jarak mereka hampir terkikis sepenuhnya. "Bunda masak sarapan enak."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Perkataan Neandro seperti tidak didengar sepenuhnya oleh Sangkara. Malah remaja lelaki itu kini tengah sibuk memandangi Neandro dalam-dalam. Dan senyuman terkembang di wajahnya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Seneng banget kalau tiap bangun bisa lihat muka kamu terus."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Ujaran Sangkara yang tiba-tiba itu dihadiahi dengan pukulan pelan di dada, tapi Sangkara hanya memberikan tawa dan fokusnya tidak lepas dari wajah Neandro. Tangan yang tadi berada di pipi Neandro perlahan turun sampai ke leher, membawa jarak di antara mereka semakin menipis karenanya. Degup jantung Neandro, mungkin Sangkara bisa merasakan itu saking dekatnya posisi mereka saat ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Tanpa aba-aba, Sangkara mendaratkan sebuah kecupan lembut di permukaan bibir Neandro. Hanya sebuah kecupan kecil yang berhasil buat Neandro buru-buru sembunyikan wajah di dada Sangkara karena tidak ingin dilihat seberapa merah semburat di sana. Terdengar juga tawa usil Sangkara meluncur yang buat Neandro kesal namun tidak bisa tunjukkan kekesalannya. Jadi Neandro hanya meremat erat kaus tidur miliknya yang melekat di tubuh Sangkara saat lelaki itu memberikan sebuah pelukan erat di tubuhnya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤKalau saja setiap hari mereka bisa seperti ini. Setiap pagi dia membuka mata dan melihat sosok Sangkara yang masih terlelap di sampingnya seperti tadi. Neandro pasti merasa sangat bahagia. Sayangnya saat ini Neandro hanya bisa berandai-andai, tentang masa depan yang masih belum pasti.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Kemesraan singkat pagi itu harus berakhir dengan suara ketukan pintu. Suara bunda memanggil mereka untuk segera keluar dan sarapan karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Terburu-buru Neandro menjauhkan diri dari Sangkara, namun lelaki itu tetap berhasil mencuri satu kecupan lagi sebelum menjawab panggilan bunda dan beranjak keluar kamar lebih dulu.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤNeandro ditinggalkan sendiri, terduduk di pinggir kasur sambil menyentuh bibirnya yang dikecup dua kali. Ah, bagaimana bisa dia berhadapan dengan Sangkara di depan bunda setelah ini. Degup jantungnya benar-benar berada di luar kendali.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ "Sangkara kurang ajar ...," umpatnya, tapi wajahnya terus menunjukkan senyuman.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Neandro menyusul Sangkara setelah berhasil mengatur degup hati. Dilihat kekasihnya itu tengah lahap memakan nasi goreng dengan telur dadar yang tadi sudah dibuatkan bunda. Berkali-kali juga dia memuji bunda atas makanan yang katanya terasa enak, padahal itu hanya sekadar sarapan sederhana. Sarapan sederhana yang tidak pernah Sangkara dapatkan di rumahnya, Neandro ingat sekali karena Sangkara sering mengatakan kalau orang tuanya sibuk bekerja.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Saat Neandro duduk di samping Sangkara, bunda yang tadi menemani Sangkara sarapan beranjak menuju sofa di depan televisi. Menyalakannya dan mencari acara berita pagi.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Merasa fokus bunda sedang berada pada layar televisi, Neandro beranikan diri untuk mencuri satu kecupan di pipi Sangkara yang kemudian dibalas dengan cubitan kecil di pinggang yang membuat Neandro meringis. Sesekali tangan mereka bersenggolan saat mulut mereka tengah mengunyah sambil bercerita tentang game yang biasa anak seumur mereka gandrungi, menjadikan sarapan pagi itu sedikit lucu sekaligus menegangkan bagi mereka.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Sedikit berharap semoga bunda tidak menyadari interaksi mereka yang terlalu intim untuk disebut sebagai teman atau sahabat.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ Dan saat itu Neandro kembali terbayang tentang sebuah kebebasan. Di mana dia bisa menumpahkan seluruh cintanya pada Sangkara tanpa perlu takut pada cemooh manusia. Sebuah kebebasan yang mungkin tidak akan pernah mereka dapatkan. Tidak untuk saat ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

____________________

Kala Sang Surya Tenggelam | JubbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang