Bab 4 : DATEE

122 24 7
                                    

Happy Reading!

Tak berapa lama setelah kelasnya selesai. Lava menghubunginya. Mereka memang sudah menyimpan nomor ponsel satu sama lain. Pertemuan keduanya, membuat percakapan mereka cukup mengalir. Mikha juga sudah tahu Lava adalah mahasiswa arsitektur yang usianya satu tahun lebih tua darinya. 

'Usia bukan masalah. Bukankah aku tinggal mendapatkan hatinya.' ucap Mikha dalam hati sambil membalas pesan Lavaris yang mengatakan sudah menunggu didepan fakultasnya.

***

Mereka berakhir untuk makan malam bersama. Pembicaraan mereka kemarin berakhir dengan Mikha yang membayar sebagai ucapan terimakasih. Namun Lava merasa ia harus berterimakasih juga karena Mikha mengembalikan jaket dan kartu kreditnya. maka disinilah mereka sekarang. Sebuah mall yang cukup besar dan cukup dekat dari kampus keduanya.

"Karena masih sore, aku sudah memesan tiket film untuk kita. Kau mau kan?" pertanyaan Lavaris hanya diberi anggukan pelan oleh Mikha.

'Jika sudah kau pesan, ya sudah. Mau bagaimana lagi. Tapi bukankah ini terasa seperti kencan.' Mikha ingin berteriak. jantungnya belum berdetak dengan normal sejak mereka bertemu tadi. Ditambah dengan mereka yang akan menonton film membuatnya tidak bisa berfikir normal. Debaran jantungnya membuat Mikha sampai bertanya - tanya apakah tertarik pada seseorang dapat menyebabkan penyakit jantung?

Tapi entah sejak kapan Lava memperhatikan Mikha yang berjalan melambat. Jika tidak menoleh kesamping, mungkin Lava tidak akan sadar Mikha mulai berjarak dengannya. Mikha yang masih memegang pipinya khawatir kulitnya yang putih menjadi merona, mencoba untuk mengurangi panas dipipinya dengan menekan - nekannya sedikit.

"Kau akan hilang jika berjalan selambat itu. Aku hampir meninggalkanmu." Ucapan Lava membuat Mikha mendongakan kepalanya. 

"Ayo. Aku tidak mau mendatangi bagian informasi karena kau menghilang." Kali ini Lavaris mengulurkan tanganya membuat Mikha mau tidak mau menyambut tangan itu.

Mereka berjalan bersisisan sambil saling menggenggam. Tidak ada satupun percakapan yang mereka ucapkan hingga mereka sampai Teater. Mikha hanya bisa mendengar suara detak jantungnya yang semakin menggila. Mikha tidak bisa memikirkan apapun untuk berbicara dengan Lava. Pikirannya mendadak kosong saat  merasakan hangatnya tangan Lava mengenggam tangannya. Senyum yang terukir diwajahnya, sudah tidak bisa ia kendalikan. Mikha tidak perduli jika ia disebut gila karena tersenyum sesenang ini sambil memandang tangan Lavaris yang mengenggam tangannya.

***

Lavaris membeli tiket film yang memang sangat ingin ditonton Mikha, membuat Mikha tanpa sadar menjerit girang saat Lava mencetak tiketnya. Sehingga, pada saat film dimulai, dengan mudah Mikha hanyut dalam kisah drama romansa tersebut. 

Selama pemutaran film, Mikha dibuat tertawa dan menangis terus menerus. Cintanya pada film dan drama membuatnya dapat dengan mudah masuk dalam sebuah kisah dan mendalami perasaan karakter dalam cerita tersebut. Itu juga yang mejadi alasanya ia memilih masuk perfilman.

Lavaris yang melihatnya, tersenyum senang. Ia tidak menyesal membeli tiket film ini, jika dapat melihat wanitanya disampingnya menikmatinya seperti ini.

"Kau menagis terlalu banyak." Lava memberikan berapa tisyu makan yang tadi dibawanya saat membeli nacho dan popcorn. Mikha yang menerimanya mulai mengelap wajahnya dengan tisyu tersebut.

"Melihat mereka membuat hatiku sakit. Sangat menyedihkan."

"Tisyumu jadi menempel pada wajahmu, lihat aku." Mikha hanya menurut sambil sesekali meraba wajahnya yang terasa lengket karena tisyu. 

Mikha memejamkan matanya agar Lava bisa mudah mengambil jejak tisyu yang menempel di wajahnya. Tapi justru hal itu membuat Lava tidak fokus.

 Tapi justru hal itu membuat Lava tidak fokus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MIKHALAVA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang