Prologue

372 59 3
                                    


Hi, this is Aletta.

Cerita ini begitu hangat sekaligus dingin tentang keluarga, persahabatan dan kisah cinta. Bersama cerita ini aku ingin mencoba menerima diri sendiri, menerima luka di masa lalu dan juga memaafkan setiap kesalahan yang terus membebani anak kecil di dalam diriku (inner child) yang akan diwakili oleh setiap tokoh yang ada.

Semoga teman-teman yang punya lukanya, bisa sedikit terobati.

Ini akan sedikit hangat sekaligus dingin tentang keluarga. Tentang para anak-anak, para orangtua, tentang seorang kakak dan juga seorang adik. Serta tentang orang lain yang sudah seperti keluarga.

Selamat menikmati cerita.

Terimakasih sudah berkunjung.


____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____


"Cobalah untuk memaafkan, Nak."

Barangkali yang mendiang ibunya katakan ada benarnya juga. Sebab seingat dirinya tak pernah ada badai dahsyat ataupun gelombang ombak yang mampu melukai dirinya ataupun mendiang ibu saat sang ayah selalu berada di sisinya. Ayah itu memang tegas, tapi tidak pernah mengandalkan kekerasan. Ayah itu sangat kaya, tapi ia tak pernah mengajarkan bahwa dunia yang luas ini dapat tunduk hanya dengan uang. Singkatnya, Ayah itu bukan tipikal lelaki bajingan yang melakukan KDRT, berbisnis ilegal, bermain wanita ataupun hal-hal buruk lainnya. Ayah jauh dari itu semua. Ayah itu nyaris sempurna.

Benar-benar sempurna.

"Ayah dan ibu harus berpisah."

Setidak begitu hingga memori yang masih sehangat sup rumput laut di hari ulang tahunnya buatan mendiang sang ibu membawa kalimat yang nyaris membuat Jungkook mati tersedak.

Jungkook dapat merasakan dunianya berhenti berputar detik itu juga. Bahu lelaki itu luruh, membuat ransel yang tersampir di bahunya jatuh menyentuh karpet berbulu lantai kamar. Mundur beberapa langkah, terhuyung ke belakang sebelum terduduk di bibir ranjangnya, kebingungan luar biasa menghantam kesadaran Jungkook yang mengabur.

"Kami sudah berdiskusi tentang dirimu," lirih sang ibu mengacuhkan keterkejutan luar biasa yang menumbuk batin sang anak. "Kamu akan tinggal bersama Ibu."

"Jadi Ayah meninggalkan kita?"

"Tidak, Jung. Ayah tidak meninggalkan kita."

"Lalu apa?" Meski tak meninggikan suaranya, lelaki itu jelas sedang mencoba untuk mengutarakan angkara yang hendak meledak detik itu juga. Ketidakmengertian atas apa yang tengah terjadi masih menguasai separsial jiwa Jeon Jungkook. Bak dihantam badai salju di musim panas, kisah kali ini lebih tidak masuk akal daripada bualan bocah TK yang melihat alien datang menculik anjing milik Tuan Choi di pojok perumahan. Menarik napas dalam, mencoba untuk tidak menyerang sang ibu yang juga adalah korban, dengan napas besarnya lelaki itu lantas melanjutkan, "Apa dia bertemu perempuan lain yang lebih cantik dan lebih sehat dari Ibu di luar sana? Apa itu alasan yang membuatnya kalap mata dan membuang ibu dan diriku seperti ini?"

Yang bisa Jungkook ingat sekaligus yang paling ia benci adalah gelengan ibunya yang terus menyangkal setiap prasangka buruk yang Jungkook pikirkan tentang ayahnya. Pun di dalam hati terdalamnya, dimana ia menyimpan rapi-rapi kekaguman pada sosok sang ayah yang sempurna, faktanya, Jeon Jungkook juga menyangkal pikiran buruknya sebab kekuatan citra sang ayah yang tak pernah ternodai di matanya.

Ayah tak mungkin bersalah. Ibu juga tak mungkin bersalah. Mereka adalah orangtua hebat yang tak pernah salah. Mereka adalah sepasang manusia terbaik yang pernah Jungkook kenal seumur hidupnya. Lalu, jika demikia, siapa yang patut disalahkan? Lalu, pada akhirnya, Jeon Jungkook hanya bisa menyalahkan dirinya. Mengumpati eksistensinya dan menyesali seberapa tidak pekanya ia pada retakan kecil di istana megahnya.

Lelaki itu terpuruk. Mengurung presensi yang penuh potensi. Berakhir membenci diri sendiri. Hingga pada titik dimana semuanya terasa runyam, menyalahi eksistensi yang Maha Kuasa yang tampak tak bersudi hati untuk memberinya pencerahan untuk menerima kekecewaan yang perlahan memudarkan harapan, Jeon Jungkook benar-benar berpikir untuk mengakhiri seluruh masalah yang menggerogoti dirinya.

"Aku siap untuk pergi."

BRAK!!!

Tidak.

Jelas itu bukan suara kursi yang di dorong dengan kaki lalu menabrak meja belajar atau suara tali yang diatrik gravitasi sebab bobot tubuh Jungkook yang lumayan besar. Bukan itu. Malahan Jungkook yang tersentak hebat tatkala mendengar suara tersebut membuka matanya dengan cepat, melepas tali di lehernya dan kemudian melompat turun dari kursi gamingnya yang kemudian menabrak pintu kamar.

Arah suara itu dari luar rumahnya dan Jungkook segera beranjak ke arah jendela dan kemudian membukanya untuk melihat lebih jelas peristiwa apa yang sedang terjadi dan menggagalkan rencananya.

"Aw..." ringisan suara seorang gadis terdengar dari balik pagar rumahnya yang hancur.

Eh?

Tunggu!

Pagar rumahnya hancur?

Hancur?

Pagar yang melindungi taman rumahnya hancur?

Taman yang menjadi memorinya bersama sang ibu hancur?

Hancur?

Sekali lagi...

HANCUR?

HAN

CUR.

"HEI!!!" Jungkook berteriak marah. "Sialan," umpatnya kemudian dan segera keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga dengan langkah cepat, membuka pintu rumah dan berlari kecil ke arah kejadian peristiwa terjadi.

"B-bisa tolong aku berdiri? Sepertinya pantatku patah tulang," rintih gadis bersurai sebahu yang terkapar tak berdaya sambil menahan sakit di bokong yang ia pegang sedari tadi. Bahkan sayur mayur yang ia bawa dengan sepedanya berserakan di sekitarnya. Dan tentu sepeda yang menabrak pagar rumah Jeon Jungkook bagian depannya ringsek.

Namun, alih-alih mengulurkan tangannya untuk membantu gadis yang kesakitan di depannya itu, Jeon Jungkook malah melewati si gadis dengan ekspresi sedih, kecewa serta marah yang bercampur aduk menjadi satu. Kedua tangannya mengapai pot bunga hitam yang terbelah menjadi dua, membuat tanah kering di dalamnya tinggal separuh.

"Pot bungaku pecah!" soraknya.

Si gadis yang melihatnya menelan ludah tak habis pikir. Di dalam hati ia mengumpati Jeon Jungkook yang lebih mementingkan benda mati rongsokan daripada dirinya yang kesakitan di atas tanah.

"Hei, aku yang kesakitan disini."

"Pot bungaku pecah!"

"A-aku tahu. Tapi keadaanku lebih darurat sekarang. Tidak bisakah kau membantuku dulu?"

"Kau tahu betapa berharganya pot bunga ini?"

Sial! "Tubuhku juga sama berharganya sebab aku memiliki banyak manusia yang mencintaiku. Yang berharga bukan hanya potmu tapi diriku juga."

Tapi kendati demikian Jeon Jungkook tetap terpaku, menatap gadis yang masih merintih sakit itu dengan kepala miring dan pikiran kosong. "Sakit ya?"

"SIAL, TOLONG AKU DULU! BOKONGKU BENAR-BENAR SAKIT BERENGSEK!!!"

[]


Mengumpat adalah cara terbaik untuk menyembuhkan rasa sakit. wkwkwkwk.


Love,

Aletta.


A GIFT : SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang