I'd go back in time and change it but I can't
-taylor swift: back to december—juli 2023—
Suara petikan gitar menggema di ruangan dengan beton polos tanpa warna, beberapa lagu lama tersenandung dengan merdu. Petikan gitar itu tiba-tiba terhenti, jari-jari lentiknya menggantung di udara. Air bening menggenang di pelupuk mata, tangannya bergetar, dengan sedikit usaha menyimpan alat musik petik tadi di samping ranjang. Seseorang di sisi kanan gadis tersebut meraih tangannya, mengelus punggung tangan itu perlahan.
"Ada apa Rahma?"
"Ann ... A-aku ...." Gadis yang dipanggil Rahma itu berbicara dengan suara bergetar, menatap sendu pada Anna-sahabatnya. Rasanya begitu berat untuk mengeluarkan sepatah kata, air mata yang sedari tadi Rahma tahan pun kian mengalir deras di pipi tirusnya. Sudah bertahun-tahun, tapi rasa sakit itu masih sama.
"Dia lagi?" Rahma mengangguk, tangisannya kini pecah. Anna yang mengerti perasaan gadis itu dengan cepat menarik Rahma ke dalam pelukan.
Rahma Arunika, gadis yang kini terlihat rapuh itu awalnya adalah sosok tangguh yang tak gampang menitikkan air mata. Ia meraung, dengan kuat menekan rasa sesak di dada. Setiap hari Rahma berusaha menyibukkan diri untuk mengalihkan perhatiannya, namun ia tetap tak bisa lupa. Semua tentang pemuda itu sudah tertanam dalam pikirannya seperti sebuah tato permanen. Meninggalkan bekas meski sudah coba dihilangkan dengan keras.
Pemuda dengan sticky note yang selalu ia bawa, catatan kecil yang selalu dia berikan untuknya. Rahma tak punya cara untuk melarikan diri dari hal ini, sangat sulit untuk mengatakan selamat tinggal. Ia sama sekali tak siap tentang sebuah perpisahan.
Warna langit yang mereka lihat bersama.
Aroma jalan yang mereka tapaki bersama.
Kehidupan sehari-hari tanpa dia membuat Rahma tidak dapat mempercayainya, namun tak punya pilihan selain melanjutkan. Ia tak dapat meraihnya lagi. Hari itu - di balik air mata yang tersembunyikan oleh hujan, Rahma benar-benar kehilangan.
"Udah, Rahma. Berhenti mikirin dia!" Anna memegang kedua bahu Rahma, matanya menatap lurus netra cokelat kehitaman yang kini berkaca-kaca.
Rahma menggeleng berulang kali, kemudian menepis tangan Anna. Ia tak bisa melupakan Ikhwan begitu saja, pemuda itu adalah tawa sekaligus luka untuknya. Rahma menyesal, andai saja dulu dirinya tak egois. Andai dia mendengarkan Ikhwan, mungkin rasa sakitnya tak akan separah ini dan Rahma bisa melepas pemuda itu pergi.
"Rahma, Ini udah tahun keenam. Kamu gak bisa terus terpuruk kayak gini,dia juga gak bisa balik lagi sama kamu!" Perkataan Anna membuat Rahma mematung, kemudian memejamkan mata. Sekuat hati ia berusaha untuk menenangkan diri. Benar! Sudah enam tahun semenjak dia pergi tanpa sepatah kata dan salam perpisahan. Sudah enam tahun ia menjadi gadis pecundang karena hal ini. Sudah enam tahun! tapi segalanya tampak seperti mimpi buruk untuk Rahma.
"Sadar, Rahma! Kamu harus move on!"
Haruskah? Bagaimana caranya? Sementara semua kenangan usang itu masih tersimpan di tempat ini, juga hatinya. Rahma bangkit, berjalan menuju meja belajar. Ia duduk di bangku yang tersedia di sana, menatap dinding tak berwarna dengan beberapa kertas kecil warna-warni yang menempel. "Aku punya ratusan lembar sticky note ini, Ann. Ratusan catatan yang dia buat selama kami bersama, hal kecil ini yang buat aku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Kamu tahu hal itu, Ann. Apa kamu pikir aku bisa semudah itu move on dari dia setelah semua yang terjadi?"
"Rahma, kamu bis-"
"Bisa apa, Ann?" Rahma menyela ucapan Anna. Ia mengambil selembar sticky note itu acak, lalu mengangkatnya di depan dada sambil menghadap Anna. "Buang semua ini? Gak! Aku gak setega itu buat buang semua catatan dan pesan dia."
"Tapi kamu gak akan pernah bisa move on kalo terus-terusan kayak gini, Rahma!" Anna berdiri, kali ini menaikkan nada suaranya. Ia lelah dengan sikap keras kepala Rahma. "Semua yang lagi kamu lakuin dan pertahanin sekarang gak ada gunanya lagi!"
Anna berjalan mendekati Rahma, napas gadis itu sedikit lebih cepat dari biasanya. "Kalo kamu gak mau buang semua ini, biar aku aja yang buang!"
Anna menyambar sticky note yang Rahma pegang, lalu dengan kasar berusaha meraih tempelan lainnya di dinding belakang gadis itu. Rahma berteriak, sekuat tenaga menghalangi aksi Anna. "Ann ... Stop! Ann!"
"Apa? masih mau simpan sticky note sialan ini? Gak akan aku biarin! Apapun yang Ikhwan tulis di sana, aku gak peduli! Sebagus apapun kata-kata motivasi yang dulu dia buat, gak berguna lagi buat kamu sekarang! Semua ini cuma bikin kamu sedih dan stuck di tempat, Rahma."
"Itu satu-satunya hal tentang dia yang aku punya, Ann." Rahma berusaha membujuk Anna, ia sungguh tak ingin semakin kehilangan segalanya. Tapi sahabatnya itu tak peduli, Anna berjalan menuju kasur Rahma, mengambil sebuah kotak yang selama ini Rahma simpan di bawah sana.
"Ini juga bakal aku buang," kata Anna datar lalu dengan cepat berlari keluar kamar, meninggalkan Rahma yang hanya bisa terdiam kaku di tempat duduk dengan air mata yang membasahi pipi.
Bukan berniat jahat, Anna hanya tak ingin Rahma terus tenggelam dalam kesedihan. Sudah cukup enam tahun ini sahabatnya berpura-pura bahagia dan baik-baik saja.
_tbc_
Hai, salam kenal.
Panggil aku key.
Aku punya sesuatu untuk kalian👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to December
Teen FictionMaybe this is wishful thinkin' Probably mindless dreamin' But if we loved again, I swear I'd love you right I'd go back in time and change it, but I can't ~Taylor swift - Back to December "Beberapa orang gak move on bukan karena gak bisa, tapi gak m...