Bagian 10: yang penting dia ada di bumi

42 5 1
                                    

bukan karena make up di wajahmu
atau lipstik merah itu
lembut hati tutur kata
terciptalah cinta yang ku puja

tak peduli langit menertawakanku
kau mencuri hatiku, mimpiku, semua rinduku
- Lyla; kamu cantik kamu baik


Angin yang berhembus siang itu sama sekali tak dapat menghalau hawa panas, terik matahari yang tercurah membuat siapa saja meneteskan peluh. Ketiga anak manusia itu berdiri tepat di tengah taman belakang sekolah.

"Kalian kalau tidak bisa berbicara yang baik - baik, lebih bagus diam," tegur Ikhwan. Wajah pemuda itu terlihat santai, nada suaranya juga terbilang lembut, namun kedua gadis di depannya dapat merasakan ketegasan pemuda itu dibalik ucapannya.

"Kita cuma bicara fakta kok. Emang Rahma tuh gak ada apa - apa nya buat lo sukain, semua yang ada di diri dia gak ada yang istimewa," dalih Rina, masih tak mau disalahkan. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada, menatap tidak suka pada pemuda jangkung di hadapannya.

Ikhwan mendesah pelan, Rina dan Hanin ini benar - benar keras kepala. Ia meminta keduanya datang kemari setelah menerima informasi dari Irma bahwa mereka telah mencaci - maki Rahma dan itu tidak bisa ia biarkan. Alasan pertama karena ini termasuk tindak pembulian secara verbal, sementara alasan keduanya karena ia ingin melindungi gadis yang disukainya itu. "Justru karena dia biasa aja, saya jadi punya alasan yang manusiawi untuk suka sama dia."

"Siapa yang saya suka, atau siapa yang dekat dengan Rahma bukan jadi urusan kalian kan? Fokus aja ke diri kalian masing - masing, apa itu sulit?" sambung Ikhwan, kini gurat wajahnya berubah serius. Siapa yang suka urusannya secara berlebihan dicampuri? apalagi itu orang luar, jelas Ikhwan juga tidak senang. Terutama mereka sudah mengatakan hal - hal yang tidak enak di dengar dan berakhir membuat Rahma sakit hati.

"Urusan kita. Karena semenjak Rahma deket sama lo, dia jadi jauhin kita," terang Hanin. Jujur saja, ia tak rela tempat menyontek dan makan gratisnya itu pergi. Iya, begitulah Rahma dimata Hanin dan Rina. Mereka tidak lebih dari sekedar memanfaatkan tenaga dan uang gadis itu.

"Dia menjauh berarti ada yang salah dari kalian, bukan karena saya."

Rina berdecih, alisnya mengkerut tanda tak suka. "Mending lo gak usah deketin Rahma deh. Dia juga gak bakal balas perasaan lo, dia sadar kalo gak pantes sama lo."

"Ya saya mah gak masalah kalaupun perasaan saya gak dibalas. Yang penting dia ada dibumi, saya sudah cukup senang," ungkap Ikhwan.

"Dih bulol," celetuk Hanin spontan. Bukannya tersinggung, Ikhwan justru terbahak. Sebab memang benar jika dirinya sudah terlalu jatuh hati pada Rahma. Apapun itu asal membuat Rahma bahagia, Ikhwan bersedia melakukannya.

"Males gue sama orang bulol," kata Rina kemudian menarik Hanin pergi dari sana. Sebetulnya ia juga tidak punya hal lain untuk diperdebatkan dengan Ikhwan, tidak punya banyak kalimat juga jika harus melawan pemuda itu. Jadi lebih baik ia pergi dari sana sebelum malu karena kalah.

Sementara seorang gadis yang sedari tadi diam - diam menguping tak dapat lagi menahan senyuman, pipinya merona hanya karena mendengar penuturan Ikhwan barusan. Ia hendak berlalu dari tempat itu, namun seseorang yang memanggil namanya menghentikan pergerakannya.

"Gak usah ngumpet lagi, Rahma." Gadis itu meringis, dengan lesu menghampiri pemuda yang baru saja mengeluarkan suara itu.

"Kok tau? Padahal itu dua curut aja gak sadar kalo gue dari tadi di sini," ujar Rahma begitu sampai di depan lelaki itu.

Ikhwan terkekeh, memberi kode lewat tatapan mata agar keduanya duduk di bangku yang tersedia di sana. Setelah sama - sama mendaratkan bokong, barulah pemuda itu membuka mulut. "Kayaknya saya punya radar yang kuat kalau soal kamu," kelakarnya.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang