Ku suka dirinya, mungkin aku sayang
Namun apakah mungkin, kau menjadi milikku
-Vierra ; Rasa iniSejak dulu, jatuh cinta merupakan perkara besar yang menakutkan bagi Rahma. Ia butuh banyak waktu untuk mempertimbangkannya, butuh alasan besar mengapa bisa jatuh cinta dan mengapa harus orang itu yang menjadi pilihan hatinya.
Jika terburu - buru, Rahma takut akan terlalu cepat kecewa. Takut hanya mendapat bagian jatuh saja. Takut jika cintanya hanya besar di awal saja, lalu berakhir dengan sia - sia.
Sebab itu pula Rahma tidak bersedia menjawab ungkapan cinta Ikhwan kemarin sore. Meski sadar jika dirinya juga memiliki perasaan yang sama dengan pemuda itu, tapi ia butuh waktu dan alasan yang besar untuk memulai hubungan.
Ia harus berpikir lebih dalam apakah Ikhwan memang orang nya. Bukan maksud menilai kelayakan seseorang, karena Ikhwan jelas lebih dari sekedar layak untuk mencintai atau dicintai manusia lain. Tapi manusia bisa saja berubah dan menyakitinya, karena setiap hati punya tenggat kadaluwarsa.
Sebab cinta bukan hanya perihal senang nya saja.
Sebab jika sudah siap jatuh cinta berarti siap pula untuk dikecewakan secara suka rela.
Rahma mendesah pelan, selain takut jatuh cinta, ia juga merasa tidak pantas untuk dicintai. Rahma tak punya apa - apa, tidak ada hal yang menurutnya bisa dibanggakan dan membuatnya layak untuk seseorang.
Dering ponsel di atas nakas membuat lamunan gadis itu buyar, ada sebuah panggilan dari Ikhwan.
"Saya di depan rumah kamu," ujar pemuda itu to the point saat panggilan tersambung.
"Ehh?" Rahma sedikit kaget mendengarnya. Ia melirik jam berwarna putih yang menempel di dinding, lalu dengan segera menyambar tas dan berjalan keluar kamar. Terlalu larut dalam lamunan hingga ia tak menyadari jika sekarang sudah pukul setengah tujuh. "Gue keluar sekarang."
Suasana sepi menyambut Rahma begitu melewati ruang tengah, tidak ada suara juga tak terlihat figur dari kedua orang tuanya. Ia membuang napas asal, meski sudah sering terjadi namun Rahma tak pernah terbiasa dengan rasa kosong yang perlahan menggerogoti hatinya ini.
"Bu, Yah, Rahma berangkat," pamit Rahma sedikit berteriak. Bisa ia pastikan jika kedua orang tuanya itu tengah menikmati sarapan di dapur sebab ruang makan mereka menyatu dengan tempat memasak itu. Rahma sudah berhenti sarapan di rumah semenjak dua tahun lalu, lebih tepatnya sengaja berhenti. Ia tidak suka suasana di sana, tidak suka dengan isi percakapan mereka yang tak jauh - jauh dari pencapaian Rahma dan perbandingannya dengan saudara - saudaranya.
Tidak ada jawaban dari mereka, Rahma juga tidak peduli dan terus melanjutkan langkahnya.
"Pagi," sapa Ikhwan begitu Rahma menghampirinya.
Rahma tersenyum, memasukkan ponsel yang tadi ia genggam ke dalam saku seragam. "Pagi, kok tau rumah gue?"
"Tinggal tanya orang sekitar sini," balas Ikhwan sembari mengulurkan helm. Rahma mengangguk, menerima helm tersebut dan memakainya. Ikhwan membuka hoodie biru yang ia kenakan lalu melilitkannya pada pinggang Rahma, gadis itu sedikit terkejut namun hanya diam menurut.
"Buat nutupin kakinya," kekeh Ikhwan menjelaskan, membuat Rahma tersenyum salah tingkah. Pemuda itu lalu menurunkan pijakan kaki penumpang untuk Rahma, telapak tangannya terbuka ke arah gadis itu. "Yuk, berangkat."
Rahma menggenggam tangan Ikhwan, lalu naik ke atas motor pemuda itu. Pipi gadis itu merona, Sial, gue diserang pakai act of service, batinnya.
Keduanya melaju menyusuri gang kecil itu, lalu membelah jalanan kota. Ikhwan beberapa kali melirik gadis di jok belakang itu secara diam - diam lewat spion, rasanya begitu membahagiakan padahal hanya sekedar berangkat sekolah bersama. Untungnya pemuda itu sudah membaik, rasa pusing di kepala nya juga sudah sedikit mereda sehingga ia bisa menepati janjinya untuk menjemput Rahma.
"Ikhwan," panggil Rahma begitu motor yang ia tumpangi berhenti di pertigaan, lampu merah sedang menyala.
"Iya, ada yang mengganggu pikiranmu?" Rahma terperangah, kenapa pemuda di depannya ini seolah selalu tahu dengan apa yang ada di kepalanya? Atau apakah ekspresi wajah gadis itu yang terlalu kentara?
"Kenapa bisa suka sama gue?" Sebetulnya hal ini sudah sejak awal ingin ia tanyakan, semenjak Ikhwan dengan tiba - tiba mengungkapkan perasaan.
"Memang nya semua perlu alasan ya?" Ikhwan balik bertanya, menatap lekat netra hitam kecokelatan milik perempuan yang ia cintai itu lewat kaca spion. Rahma mengangguk, sebab sering kali hal - hal terjadi karena sebuah alasan yang pasti. Bahkan semenjak duduk di bangku sekolah dasar, setiap pertanyaan uraian dimintai sebuah alasan sebagai jawaban. Jadi bagi Rahma, semua hal perlu alasan yang jelas termasuk perihal jatuh cinta.
"Manusia bisa benci sama manusia lain karena sebuah alasan. Bisa jadi karena orang itu bicaranya kasar, bisa juga karena dia bukan orang yang baik. Seperti alasan seseorang membenci, jatuh cinta juga pasti ada sebabnya kan?"
"Saya juga gak tahu alasan pastinya. Tapi setiap melihat kamu, ada rasa aneh yang perlahan merayap di hati saya. Kamu menarik dan saya perlahan ketarik," tutur Ikhwan dengan tawa kecil di akhir kalimat, motor itu ia lajukan dengan pelan, toh jarak rumah Rahma ke sekolah tidak lah jauh. "Setiap melihat kamu, saya selalu punya keinginan untuk menjaga kamu, membantu kamu menjadi lebih baik. Saya selalu merasa senang cuma dengan berinteraksi ringan dengan kamu."
"Tapi gue gak punya apa - apa buat bikin orang lain jatuh cinta," ujar Rahma lirih.
Ikhwan terkekeh, "memang untuk di cintai harus punya apa? harus punya syarat seperti apa?"
***
Rahma duduk sendirian di sebuah bangku kantin, ia mengunyah nasi goreng dengan tak berselera. Gadis itu menatap geli pada sejoli yang kini asik suap - suapan di meja seberang, tepat berhadapan dengannya.
"Pengen banget gue lempar!" dumal Rahma. Tidak, ia sama sekali tidak iri. Rahma hanya muak, muak melihat tingkah mereka yang seolah - olah pasangan paling romantis dan akan bersama sampai akhir hayat.
"Kamu kenapa?" Suara seseorang tepat di sebelah telinganya membuat gadis itu terkesiap hingga hampir terjungkal. Ikhwan terkekeh, untung saja dengan sigap menangkap lengan Rahma.
"Sialan lo," umpat Rahma sembari memukul Ikhwan sedikit keras, sementara pemuda itu malah semakin keras tertawa melihat wajah kesal Rahma.
Ikhwan menghentikan tawanya, kemudian mendaratkan bokong di sebelah gadis itu. "Lagi liatin apa sih? sampe segitunya."
"Tuh," kata Rahma sembari menunjuk sepasang kekasih di depan sana dengan dagunya. Ikhwan mengikuti arah pandangan gadis itu, kini sang perempuan justru terlihat merajuk, sementara pasangannya berusaha membujuk berulang kali sampai hampir bersimpuh. Rahma semakin bergidik geli, "kenapa ya manusia jadi bodoh saat sedang jatuh cinta?"
Ikhwan tertawa secara tiba - tiba, membuat Rahma mengerutkan dahi bingung. "Jadi sekarang saya juga terlihat bodoh ya?"
"Enggak lah. Lo mah selalu pinter dan punya pemikiran hebat," puji Rahma.
Ikhwan menopang dagu, kali ini menatap gadis di sampingnya itu dengan seksama. Tatapan yang membuat Rahma berdebar seketika. "Tapi sekarang saya lagi jatuh cinta ... sama kamu."
Rahma membelalakkan mata, rasanya ia ingin berteriak sekarang juga. Ia tak bisa berkata - kata, semburat merah timbul di kedua pipinya. "Tai lu!" kesal Rahma kemudian menelungkupkan wajah di atas meja, ia benar - benar malu sekaligus salah tingkah.
Benar, cinta memang membuat manusia menjadi bodoh! Seperti dirinya sekarang.
_tbc_
guys, jangan lupa follow tiktok/instagram aku ya (ktyuniex)
karena aku selalu ngasih spoiler duluan di sana sebelum update cerita inidan, bantu share cerita ini ya
terima kasih
kalian baik, aku sayang kalian
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to December
Teen FictionMaybe this is wishful thinkin' Probably mindless dreamin' But if we loved again, I swear I'd love you right I'd go back in time and change it, but I can't ~Taylor swift - Back to December "Beberapa orang gak move on bukan karena gak bisa, tapi gak m...