Bagian 15: bagian menyebalkan dari jatuh cinta

7 1 0
                                    

Tinggalkan sejenak lalumu
Beri sedikit waktu
Kepadaku 'tuk meyakinkanmu
~Dewa 19; Selimut Hati

Rahma duduk sendirian di teras rumah, sewaktu langit kian gelap dan cahaya lampu semakin berkuasa mengambil alih penerangan tempat itu. Banyak pertanyaan yang bercokol di benaknya, “kenapa manusia harus selalu dihadapkan pada hal-hal yang membuatnya takut?”

Biasanya di saat kepalanya penuh oleh caruk-maruk pertanyaan, Rahma akan berkirim pesan pada Ikhwan, sebab lelaki itu selalu berhasil memberikan jawaban.

Kenapa manusia lebih punya banyak rasa takut? Kenapa manusia tidak hidup dengan penuh keberanian saja? Yang tidak takut gagal ; yang tidak takut mencoba dan memulai ; yang tidak takut ketinggalan atau ditinggalkan.

Sejak dulu Rahma takut dengan sebuah perpisahan, sebab itu pula ia memilih sendirian. Untuk meminimalisir rasa sakit ditinggalkan, meski beberapa bagian hidupnya jadi terasa kosong.

Rahma menghela napas panjang, meraih secangkir teh dengan kepulan asap yang masih menguar. Menyeruput minuman itu dengan mata terpejam, sebelum suara adzan mengalihkan perhatian.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar ....” Dengan itu Rahma memilih bangkit, kembali ke dalam rumah dengan cat berwarna biru muda. Perkataan Anna sore tadi masih terus menghantuinya, membuat Rahma berpikir berulang kali apakah akan menuruti saran Anna atau tetap pada pendiriannya.

Tapi Anna bener, gue gak akan pernah tau nantinya bakal kayak gimana kalau gak mencoba. Ikhwan baik, dan mungkin gak ada salahnya kalau gue nerima dia.

***

Ikhwan merapikan kerah seragamnya, untuk beberapa saat ia terpekur menatap pantulan diri dalam cermin. Untuk pertama kalinya ia merasa tidak cukup berani, semua kepercayaan dirinya menguap entah kemana.
Mungkinkah dia terlampau buru-buru untuk dikaitkan dalam variabel jatuh cinta? Sebab sang gadis membuka hati saja belum bisa.

Ikhwan menghela napas, melirik jam sebentar sebelum akhirnya melangkah keluar kamar. Ia menuruni tangga perlahan, air mukanya berubah senang begitu tiba di hadapan Mala dan Intan. “Selamat pagi,” sapanya.

“Pagi, Kak,” balas Mala dengan senyum cerah, sementara Intan yang sibuk mengunyah roti hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ikhwan terkekeh melihat Intan yang begitu menggemaskan dengan mulut penuh dan pipi menggembul, ia melabuhkan tangan di atas kepala gadis itu; mengacak-acak rambut sang adik.

“Kak ... ihhh!” rengek Intan. Ia mencebikkan bibir, matanya memicing menatap Ikhwan.

Ikhwan tertawa hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit, tangannya beralih merapikan rambut Intan yang sempat berantakan karena ulahnya. “Adu du duh ... Maaf maaf, sini dirapihin.”

“Hari ini kamu anter Intan ke sekolah ya, Kak. Ban sepedanya bocor, ayah udah berangkat duluan,” kata Mala. Wanita paruh baya itu mengoleskan selai sarikaya pada roti tawar, kemudian menyodorkannya pada Ikhwan. “Sarapan dulu, kamu akhir-akhir ini gak pernah sarapan di rumah.”

Ikhwan mengangguk, menarik kursi di sebelah Intan lalu memakan roti yang ibu berikan. Semenjak berangkat sekolah bersama Rahma, Ikhwan memang melewatkan sarapan bersama dengan keluarga kecilnya ini. Ia memilih pergi lebih awal lalu sarapan bersama Rahma di warung-warung pinggir jalan atau kantin sekolah. Mengingat itu membuat pikiran Ikhwan kembali tertuju pada sang gadis pujaan.

Beberapa menit berlalu, keduanya segera berpamitan pada Mala setelah sarapan. Ikhwan memasangkan helm pada Intan, lantas mengambil alih tas gadis itu untuk ia bawakan. Kuda besi yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan sedang.

“Yah ... jadi hari ini gak bisa jemput Kak Rahma dong?” Suara Intan menyusup telinga Ikhwan bersamaan dengan deru kendaraan.

“Abis nganterin kamu,” balas Ikhwan.

Intan menatap wajah sang kakak dari balik spion, ia menganggukkan kepala mengerti. “Tapi ... yakin dia nungguin? kayaknya udah berangkat duluan deh, Kak.”

Bersamaan dengan itu, Ikhwan menghentikan laju kendaraan roda dua nya. Jarak rumah mereka ke sekolah Intan tidak lebih dari 200 meter, karena itu biasanya Intan hanya mengendarai sepeda kemari.

“Belajar yang rajin,” pesan Ikhwan sembari menyerahkan tas sang adik. Intan mengangguk, mencium punggung tangan Ikhwan kemudian berlari memasuki gerbang sekolahnya.

Di sisi lain, Rahma baru saja memijakkan kaki ke luar pintu rumah. Ia terdiam untuk sejenak, merasa ada bagian yang hilang begitu tak mendapati Ikhwan di sana. Biasanya begitu pintu rumah itu ia buka, senyum cerah Ikhwan lah yang menyambut kedatangan Rahma.

Rahma menarik langkah perlahan, menyusuri jalan ini terasa lebih berat karena biasanya ia akan duduk diam di jok belakang motor Ikhwan. Gadis itu sedikit menyesal, sebab mungkin meminta Ikhwan menjauh adalah keputusan yang salah. Ia mulai terbiasa dengan segala hal menyangkut pemuda itu dalam hidupnya, Rahma juga lebih senang melakukan banyak hal ditemani Ikhwan.

Rahma menghentikan langkah di pinggir trotoar, menunggu angkutan umum untuk ia tumpangi. Rahma memperhatikan sekeliling, berharap sosok Ikhwan muncul diantara lalu-lalang pejalan kaki yang fokusnya pada diri masing-masing.

Sebuah motor dengan suara nyaring mengambil alih seluruh perhatian Rahma, ia mengerutkan dahi begitu sang pengemudi berhenti di hadapannya.
“Ngapain lo celingak-celinguk di sini?”

Rahma mendengkus begitu melihat siapa yang ada di depannya itu, Tino Tenggara – teman sekelas Rahma yang suka sekali menjahilinya. “Menurut lo? Ya, gue lagi nungguin angkot lah.”

“Lah? Gak bareng Ikhwan? Kenapa? Udah asing ya? Yah ... Kasian, padahal belum jadi apa-apa,” ledek Tino.

“Wah, minta digebukin,” ujar Rahma sembari menggulung lengan baju, siap sedia untuk memukul pemuda menyebalkan di depannya itu. Bagi Rahma, Tino tidak lebih dari seorang pemuda yang usil. Bagaimana laki-laki itu berusaha merecoki hari-harinya selalu berhasil memantik kekesalan Rahma.

Bukannya merasa takut, Tino justru terbahak di tempatnya. Baginya mengganggu Rahma adalah hal yang menyenangkan. Alis mengkerut dan mata menyipit gadis itu terlihat lucu menurut Tino.

“Bareng gue aja yok? Ntar telat, upacara kan hari ini,” tawar Tino setelah meredakan tawanya.

Rahma melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih tersisa tiga puluh menit sebelum upacara dimulai. Ada hening yang ia biarkan mengisi, sebelum suara Tino mengalun kembali. “Udah ... gak usah kebanyakan mikir. Lagian gue udah di sini, sekalian aja bareng. Lumayan, hemat ongkos lo. Mumpung gue lagi baik juga.”

“Ya udah, lo yang maksa ini,” ujar Rahma. Wajahnya berubah tengil, membuat Tino ingin sekali mendorongnya ke selokan yang tidak jauh dari tempat gadis itu berdiri. Pemuda itu mengapit leher Rahma dengan lengannya lalu mengacak-acak rambut gadis itu hingga Rahma berteriak kesal.

“Tai lu! Rambut gue!” Rahma berusaha melepaskan diri, ia menyentak tangan Tino kemudian memukul kepala bagian belakang pemuda itu. Tino mengaduh kesakitan sembari mengelus kepalanya yang berdenyut karena pukulan Rahma yang cukup kuat, namun tawanya masih mengudara.

Di sudut lain jalan itu, seseorang tengah memperhatikan keduanya sedari tadi. Ada variabel asing yang menyapa di balik dada, kabut pekat di matanya berarak. Mungkin memang perasaannya tak akan menemukan pulang pada seseorang yang ia tuju, bentuk cinta yang ia rangkum setiap hari tampaknya tak berujung temu.

Ikhwan tak menyalahkan siapa-siapa atas rasanya yang tidak berakhir sama. Sebab perasaan itu miliknya, Ikhwan bertanggungjawab penuh pada turunan lain dari jatuh cinta termasuk cemburu dan patah hati yang dia alami. Meski hatinya terasa terbakar, meski semua menyesakkan.

Waktu membeku cukup lama, tapi dengan satu hela napas panjang ia berhasil mendapatkan kembali ketenangan. Memang benar, bagian menyebalkan dari jatuh cinta adalah dipatahkan dan cemburu seperti yang Ikhwan alami sekarang.

Tapi dia telah bertekad untuk mengejar Rahma satu kali lagi, jadi Ikhwan tak akan berhenti di sini. Karena pada perempuan itu Ikhwan telah mengajukan cinta tanpa syarat apa-apa. Ia telah mengajukan kesediaan untuk membersamai perjalanan Rahma.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang