Bagian 09: bukan teman

27 5 1
                                    

Ikhwan Mahanta :

Selamat pagi, tuan putri

Saya sudah di depan

Jangan terburu - buru, saya bersedia menunggu lebih lama.

Kurva bibir Rahma tertarik ke atas begitu membaca pesan yang Ikhwan kirimkan. Entah datang dari mana, ada rasa hangat yang menguar dari dalam dadanya. Meski di malam hari kepalanya sering kali gaduh, setidaknya ia masih punya satu alasan untuk tersenyum setiap pagi. Setidaknya ada Ikhwan yang selalu bersedia menghiburnya setiap hari.

Rahma memilih tak membalas pesan itu, ia menyimpan ponsel ke dalam tas lalu menggendongnya di punggung. Langkahnya kali ini terasa ringan, walau suasana sunyi selalu menyambut setiap kali melewati ruang demi ruang rumah ini. Rahma tak peduli lagi, ia hanya akan peduli pada sosok yang kini menunggunya di luar. Yang menyambut kedatangannya dengan senyum paling hangat.

"Selamat pagi," kali ini Rahma yang menyapa duluan, membuat senyuman Ikhwan semakin merekah.

"Pagi. Sudah sarapan?" Ikhwan mengulurkan helm kepada gadis di depannya.

Rahma menggeleng, sudah setahun penuh ia menghindari sarapan di rumah. "Belum."

Ikhwan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian menurunkan footspet untuk Rahma. "Masih ada waktu. Sarapan bareng saya ya?"

"Boleh," balas Rahma kemudian menaiki kuda besi berwarna putih milik pemuda itu. Sepertinya bukan ide yang buruk untuk sarapan bersama Ikhwan, lagipula Rahma sudah terlalu sering melewatkan sarapan.

Keduanya melaju, angin sejuk yang bertiup membuat siapa saja bergidik jika tak memakai pakaian tebal. Mungkin efek hujan semalam, aspal dan pepohonan juga masih basah pagi ini. Motor yang mereka tumpangi berhenti di sebuah warung kaki lima, terdapat sebuah gerobak di sampingnya dengan tulisan 'Bubur Ayam Tarjo'.

"Pagi, Mang." Ikhwan menyapa sang penjual yang kini sibuk menyiapkan pesanan. Terlihat sangat akrab, senyum penuh menghiasi wajah keduanya.

"Pagi, pesen apa nih?" tanya pria paruh baya pemilik warung itu, Tarjo namanya.

"Bubur ayam sama teh hangat dua," jawab Ikhwan.

"Siap, cari tempat duduk aja dulu. Abis ini tak bikinin."

Ikhwan mengangguk, memberi kode lewat gerakan mata pada Rahma agar gadis itu berjalan terlebih dahulu. "Agak dicepetin ya, mang. Takut telat soalnya," pinta pemuda itu.

Setelah melihat acungan jempol Mang Tarjo, ia segera menyusul Rahma. Mata gadis itu melahap habis pengunjung yang ada disana, sedikit ramai tapi belum bisa dikatakan padat. "Lo udah sering ke sini ya?"

Ikhwan menggeleng, "jarang. Sepertinya baru lima kali. Biasanya saya kesini pas hari libur."

Rahma membelalakan mata, sedikit tak menyangka dengan jawaban Ikhwan. "Serius? Tapi kok kayaknya akrab banget sama penjualnya?"

"Ohh, orang nya baik dan ramah. Dulu pas saya pertama kali datang kebetulan warungnya agak sepi, jadi saya ajak ngobrol. Dari situ setiap saya datang kami jadi sering membahas banyak hal," jelas Ikhwan sembari tersenyum menatap Mang Tarjo yang masih sibuk di gerobaknya.

Warung ini kecil, hanya dilengkapi kursi dan meja kayu serta beratapkan terpal, tidak ada tembok yang menutupi. Buka dari jam enam sampai sepuluh pagi saja. Rumah Mang Tarjo tidak jauh dari sini, ada di dalam sebuah gang yang penduduknya tidak ramai. Jadi setiap pagi, Mang Tarjo akan mendorong gerobaknya kemari untuk berjualan.

"Itu mah lo juga yang cepet akrab sama orang gak sih?" kata Rahma. Sebab jika itu dirinya, seberapa seringpun ia berlangganan makan di suatu tempat, Rahma tak mungkin bisa akrab dengan penjualnya. Pasti penjual itu hanya sekedar mengenalinya sebagai seseorang yang sering datang, sebatas itu.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang