Bagian 11: cinta yang cukup

26 4 0
                                    

I could make you happy, make your dreams come true
Nothing that i wouldn't do
Go to the ends of the Earth for you
To make you feel my love
To make you feel my love
-Adele; Make you feel my love

Juli 2016

Spektrum orange mulai menyebar di tiap kabar langit biru, keduanya masih sibuk mengukir kanvas. Sudut bibir Rahma tanpa henti menampilkan lengkungan indah, perasaan senang membuncah dari dadanya. Ia selalu memimpikan pergi ke tempat seperti ini, ditemani seseorang yang bersedia menunggu dalam keheningan. Karena ketika melukis, Rahma akan tetap diam sampai karyanya selesai. Meski begitu, ia tetap tak mau pergi sendirian.

Lukisan Ikhwan sederhana, hanya secangkir kopi dengan kepulan asap yang mengudara. Ia sudah menyelesaikan sejak lama, sisanya hanya menopang dagu sambil menatap wajah serius Rahma. Beberapa kali ia dibuat tersenyum kecil saat melihat gadis di depannya itu mengerutkan dahi, atau mencebikkan bibir. Sangat menggemaskan!

"Sentuhan terakhir." Rahma menggoreskan kuas pada benda pipih di depannya yang kini telah dipenuhi warna. Ia menaruh kembali kuas itu di atas meja, meletakkan jari di depan dagu sembari menelisik lukisannya. Dahinya menampilkan guratan aneh untuk sejenak, kemudian ia tersenyum puas.

Bagi Rahma melukis bukan hanya sebuah seni, lebih dari itu, melukis baginya adalah terapi. Ia pernah membaca tentang filosofi kanvas. Ada yang menyatakan bahwa hidup itu seperti kanvas kosong. Kita bebas menciptakan apapun dan menentukan akhirnya. Meski kenyataannya beberapa orang disetir paksa, meski beberapa harus menuruti kehendak yang lain, tapi tetap pelukis yang menjadi pengendali utama.

Kanvas adalah hidup kita, setiap warna adalah gambarannya. Entah itu suram, gelap, cerah atau penuh warna, semua tergantung pada pelukisnya. Bentangan kanvas putih selalu siap untuk digoreskan warna, seperti kehidupan yang selalu siap diisi coretan-coretan makna. Mau itu bahagia, sedih, bangga, sakit atau lainnya.

Rahma mengangkat lukisannya, menunjukkan benda persegi itu pada Ikhwan. "Gimana menurut lo?"

"Cantik."

Rahma mendelik, pasalnya Ikhwan sama sekali tak memandang pada lukisan di tangannya. Pemuda itu justru dengan intens menatap wajah Rahma, membuat gadis itu diam-diam merasakan desiran aneh di dadanya. "Liat lukisannya!"

Ikhwan terkekeh, mengalihkan atensi pada kanvas di tangan Rahma. Pemuda itu memiringkan kepala, seolah sedang melakukan penilaian menyeluruh terhadap mahakarya Rahma. Lukisan itu menampilkan suasana pantai, dengan pasir putih dan ombak yang meninggi. Langitnya di penuhi awan merah jambu dengan beberapa burung yang terbang. Indah, tapi tidak cukup untuk mengalahkan keindahan gadis di depannya. "Lukisannya juga cantik, seperti kamu."

"Bisa gak, gak usah gombal?" ujar Rahma sembari mendengkus sebal. Ia mengalihkan pandangan, diam-diam mengulas senyum. Manusia memang suka seperti itu, lain di mulut lain di hati.

"Saya bicara fakta, Rahma." Ikhwan tersenyum, Rahma juga. Sebatas itu saja, tapi mengeja sunyi tetap menguar rasa nyaman untuk keduanya. Mereka saling diam, sesekali menyeruput minuman yang hanya tersisa seperempat. Sesekali netra keduanya bersitatap pada satu titik yang sama, kemudian sama-sama menunduk karena salah tingkah.

"Rahma, kamu suka sekali dengan melukis?" Akhirnya setelah cukup lama tanpa bicara, Ikhwan mengeluarkan suara.

"Suka banget nget nget!" balas Rahma dengan semangat membara. Tapi wajahnya berubah lesu seketika, "tapi ibu gak suka. Jadi gue cuma bisa ngelukis diem-diem."

Ikhwan mengangguk mengerti, tidak berniat bertanya alasan dibalik ketidaksukaan ibu Rahma, takut gadis itu merasa tak nyaman. "Kalau mau melukis lagi, ajak saya! saya siap bawa kamu kemana pun kamu mau sambil numpahin banyak cat di kanvas itu."

"Ahh ... nanti lo bosen diajakin ngelukis mulu," sahut Rahma. Ia senang jika Ikhwan bersedia menemani, namun Rahma tak cukup percaya diri jika pemuda itu akan betah bersamanya. Sebab jika sudah melukis, Rahma akan terjun ke dalam dunianya sendiri tanpa mempedulikan sekitar.

"Tidak akan."

Rahma mengatupkan bibir, jari telunjuknya mengacung ke arah Ikhwan. "Bener ya, gue tandain!"

***

Pada usia berapa kamu merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya? lima belas? tujuh belas? atau delapan belas? Berapapun itu, Ikhwan yakin jika semua orang berhak merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai. Meski sering kali cinta tidak berujung bahagia, meski perpisahan selalu menjadi akhir ceritanya. Apapun itu, jatuh cinta akan menyenangkan jika kita bisa memaknai satu-persatu perasaan di dalamnya.

Ikhwan tidak ingat sejak kapan dia menaruh atensi pada Rahma. Entah ketika ia dan gadis itu bertemu pada masa MPLS atau ketika ia pertama kali memergoki Rahma yang hendak bolos dengan melompati tembok belakang sekolah.

"Kalau cinta jadi hal paling beresiko dan berbahaya di dunia, kakak tetap mau merasakannya?" Sebuah pertanyaan lolos dari kepalanya yang tidak berhenti bekerja, dengan penuh harap Intan menunggu jawaban apa yang akan keluar dari bibir sang kakak.

Ikhwan terdiam sebentar, kemudian terkekeh. Ia selalu dibuat takjub oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengudara dari sang adik, selalu tidak terduga dan membuatnya harus berpikir keras untuk merangkai jawaban yang sekiranya bisa diterima Intan. "Iya," balasnya.

"Kenapa?" Intan tidak akan puas jika hanya mendapat jawaban seadanya, ia selalu butuh alasan.

"Kita dilahirkan karena cinta, dibesarkan dengan cinta pula. Jadi menurutku, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak merasakannya. Sekalipun cinta akan jadi hal yang paling beresiko dan berbahaya nantinya. Sekalipun beberapa orang mati karena cinta." Ikhwan pernah membaca bahwa risiko kematian bisa meningkat 5 kali saat seseorang merasa kehilangan orang yang dicintainya. Kehilangan bisa menyebabkan detak jantung meningkat, aritmia, kecemasan dan fungsi jantung menurun. Meski begitu, manusia tetap bersedia jatuh cinta.

"Dunia akan jauh lebih menyeramkan tanpa rasa cinta. Tidak ada generasi berikutnya, tidak ada kedamaian yang tercipta. Hidup manusia akan jauh lebih datar dari seharusnya karena tidak ada rasa cinta." Bagi Ikhwan, jatuh cinta adalah naluriah. Semua manusia memiliki rasa cinta, meski dalam bentuk yang berbeda. Setiap yang mati rasa juga tidak benar-benar mati, mereka hanya memilih untuk mengabaikan hasratnya. Ikhwan percaya bahwa orang-orang tetap menaruh harapan untuk dicintai dengan tulus, mendapat pasangan yang terbaik - sekalipun mereka telah dihancurkan berulang kali.

"Resiko dan bahaya hadir sebagai tantangan, tapi bukan berarti kita gak bisa melewatinya kan? Beberapa pasangan harus merasakan sakit terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai di titik bahagianya. Beberapa harus terpaksa berpisah sebelum akhirnya bertemu dalam versi terbaiknya."

"Tapi, Kak -beberapa orang mungkin gak relate dengan pernyataan bahwa kita dilahirkan dengan cinta dan dibesarkan oleh cinta pula. Karena ada yang merasa lahir karena sebuah kesalahan, beberapa pula dibesarkan tanpa kasih sayang."

"Justru karena itu, mereka lebih butuh banyak cinta." Intan terdiam untuk sejenak, kemudian mengangguk mengerti. Benar juga, setiap manusia layak untuk mendapat cinta yang cukup. Mereka yang sejak awal tidak mendapatkannya adalah orang-orang yang perlu dicintai lebih banyak. Yang hancur karena cinta juga bisa sembuh karena cinta, seperti yang sudah-sudah.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang