Bagian 12: sesuatu bernama harapan

37 4 3
                                    

No hope, just lies
And you're taught to cry into your pillow
But I survived
I'm still breathing, I'm still breathing
- SIA; Alive

Rahma tidak ingat, kapan terakhir kali ia merasakan dekapan hangat sang ibu - pun tepukan lembut dari si kepala keluarga. Bisa jadi saat dirinya mulai memasuki usia sepuluh, atau ketika naik ke bangku sekolah menengah pertama. Memang benar, semakin usia bertambah semakin banyak hal yang berubah.

Seperti ambisi-ambisi besar yang terpotong kecil-kecil bak cheese cake yang Rahma makan sore tadi. Seperti jam tidur yang makin hari makin berantakan, atau emosi yang kian hari kian tak terkendali. Pun suasana rumah ini yang semakin sunyi. Satu keluarga - satu darah tapi seolah orang asing yang terjebak dalam sebuah labirin.

Jika boleh jujur, Rahma masih menaruh harapan besar agar keluarganya kembali hangat seperti dulu. Seperti saat kakak-kakaknya belum menikah, seperti saat dirinya masih menggunakan seragam putih merah. Rahma ingin kembali melangkah mundur, mengulang masa-masa harmonis keluarganya. Makan bersama, berkumpul di ruang keluarga untuk sekedar menonton televisi, atau mengobrol di teras saat sore hari. Rahma ingin kembali bisa bercerita banyak hal dengan gamblang, ingin mendengar kisah-kisah menarik yang dibawakan ayah atau gosip-gosip terbaru yang ibu dapat dari tetangga. Ingin menjahili kakak yang tertidur dengan mencoret wajahnya menggunakan spidol permanen, atau adu mulut dan perang bantal. Semua kenangan itu kini berputar di kepalanya, sederhana namun sulit untuk diulang kembali.

Suara langkah kaki membuat Rahma tersadar dari lamunan panjangnya, wajah Jia - ibunya muncul dari balik pintu yang terbuka seperempat. "Cucianmu!" katanya mengingatkan, kemudian segera berlalu dari sana.

Rahma tersenyum tipis, kemudian bangkit menuju kamar mandi. Meski suasana rumah ini sering kali sedingin musim salju, tapi perhatian kecil dari ibu tidak pernah berubah. Rahma bersyukur akan hal itu.

Rahma mengangkat rendaman cuciannya, sudah diberi pewangi sehingga tinggal dijemur. Ia keluar dari kamar mandi menuju belakang rumah, diperahnya pakaian itu lalu menggantungnya di seutas tali yang ayah pasang untuk jemuran. Rumah ini memang hanya punya satu kamar mandi dan satu wc, mereka biasanya juga mencuci di dalam kamar mandi. Tidak ada mesin cuci, jadi meskipun sudah malam seperti ini Rahma tetap harus menggantung pakaiannya di luar rumah. Sebab jika digantung di dalam rumah, lantai pasti akan basah.

"Ayah dimana, bu?" tanya Rahma begitu melewati dapur setelah selesai mengurus pakaiannya. Jia sedang memotong buah semangka, warnanya merah sekali hingga membuat Rahma menelan ludah karena sudah tergiur.

"Keluar," balas Jia seadanya. Wanita itu mengambil sepotong semangka, lantas memakannya dengan nikmat kemudian menyodorkan potongan lainnya pada Rahma. Rahma yang dipersilahkan untuk memakan buah segar itupun tersenyum girang, tak menyia-nyiakan kesempatan ia langsung menyantapnya.

"Makasih, bu." Jia mengangguk sebagai jawaban, keduanya asik menikmati buah manis berwarna merah itu. Rahma sangat suka dengan semangka, ia bisa menghabiskan satu buah besar dalam sekali lahap jika tidak ada yang mengingatkan untuk berhenti. "Ini ibu beli?" tanya Rahma berusaha memperpanjang obrolan.

"Di kasih bu Nina," balas Jia. Rahma mengangguk mengerti, ia kenal betul siapa bu Nina. Tetangganya itu sangat suka berkebun, meski setiap rumah di gang ini memiliki halaman yang sempit tapi bu Nina pandai sekali memanfaatkan lahannya. Ia menanam berbagai jenis buah dan sayur, rata-rata subur dan berhasil panen. Ia sering membagikan hasil kebunnya itu ke tetangga sekitar, seperti buah semangka yang barusan Rahma makan.

Rahma terdiam, tidak tahu harus menggunakan topik obrolan apa agar ibunya lebih banyak mengeluarkan suara. Suasana dalam ruangan itu benar-benar canggung, membuat gadis itu menghela napas kasar.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang