Bagian 06: jam 2 pagi dan overthinking

88 41 43
                                    

Mereka terlarut dalam ego
Hati tertutup terdengar kataku (kata berkata kepadaku)
Berkata tapi tak berkaca
Semua orang hanya angin lalu
—Tulus; tuan nona kesepian

Rahma menarik napas lalu membuangnya asal begitu sampai di depan pintu rumah berwarna biru muda itu, langkahnya selalu berat setiap kembali ke sini. Ia memutar kenop pintu, dengan perlahan melangkahkan satu kakinya masuk. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Rahma tak menangkap figur siapapun begitu seluruh kakinya menjajak di rumah itu, hanya ada suara Ibu yang menyambut kepulangannya. Bisa ia tebak jika Jia –Ibunya kini tengah bergulat di dapur.

Gadis itu menyeret tungkai panjangnya menuju suara di mana Jia berada, entah mengapa rasanya begitu berat setiap kali ia akan berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Bu, Rahma pulang," ujarnya dengan ragu.

Jia yang tengah mencuci piring itu menoleh sebentar, kemudian mengangguk sebagai jawaban. "Abis mandi bantu ibu, ayahmu minta bikinin cemilan."

"Iya." Hanya itu balasan yang Rahma lontarkan, kemudian segera beranjak dari sana. Percakapan mereka memang tidak pernah panjang apalagi menyenangkan, rumah ini sudah kehilangan kehangatannya sejak dulu. Atau mungkin hanya Rahma saja yang merasakan dinginnya tembok dan ubin di tempat ini?

Semenjak duduk di bangku SMA, ia memiliki banyak tuntutan dan harapan dari keluarga. Dan semenjak itu pula perasaan hangat dan dicintai di hatinya memudar. Memang benar kata orang, saat beranjak dewasa akan banyak hal yang hilang.

Rahma adalah anak bungsu dari 4 bersaudara, semuanya telah menikah kecuali dia dan mereka telah lama meninggalkan rumah ini. Rahma tidak pernah mempermasalahkan banyaknya tuntutan yang ia dapatkan, hanya saja orang–orang seringnya meminta keberhasilan tanpa melihat bagaimana proses yang sudah ia jalani. Atau kadang kala, orang tuanya akan membandingkan ia dengan ketiga saudaranya yang lain. Seperti rasa hampa di rumah ini, hatinya juga begitu.

Rahma merutuki pikiran–pikiran yang mulai menyebar dari otaknya, tentang hal–hal buruk yang mungkin akan terjadi selama ia membantu Ibu membuat cemilan di dapur. Tentang kalimat apa yang sekiranya akan Ibu lontarkan dan berakhir membuatnya merasa diremehkan. Rahma menggeleng pelan, berusaha mengusir kemungkinan – kemungkinan yang bersarang di kepalanya.

"Gue harus segera mandi kalau gak mau dimarahin karena terlambat bantuin Ibu."

Lalu pada jarak yang lumayan jauh dari keberadaan Rahma, ada seorang pemuda yang melangkah dengan riang, senyumnya tidak pernah luntur meski berkali – kali bersin di tengah perjalanan. Ia menyusuri komplek perumahan itu dengan perasaan senang, meski gerimis masih terus turun membasahi tubuhnya yang kedinginan. Bisa Ikhwan bayangkan bagaimana Ibu nya akan mengomel karena melihat ia yang pulang hujan – hujanan.

"Assalamu'alaikum," salam Ikhwan begitu kakinya tiba di rumah itu.

"Wa'alaikumsalam." Suara Mala terdengar dari ruang tengah, pemuda itu segera menuju ke sana.

"Ya ampun, Kak! Kok hujan – hujanan sih," tegur wanita setengah baya itu, ia mengangkat bokong, menghampiri Ikhwan sembari berkacak pinggang.

Ikhwan meringis, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada sembari nyengir lebar. "Minta maaf, ibu."

Helaan napas terdengar, Mala menepuk kepala putra nya itu dengan pelan. "Kamu loh, udah tau dari kecil tuh gak bisa kena hawa dingin apalagi ujan – ujanan. Masih aja suka ngeyel, nanti sakit kan kamu juga yang susah. Sana gih, cepet mandi air hangat terus minum obat."

"Kali ini pasti gak akan sakit kok, bu. Ikhwan juga sudah bes—" Ikhwan tak dapat melanjutkan ucapan, ia bersin beberapa kali.

"Gak sakit apanya kayak gini, sana cepet mandi!" Mala sedikit meninggikan suaranya, membuat Ikhwan segera berlari menuju kamarnya. Namun baru saja ia akan menaiki tangga, pemuda itu berbalik menghampiri sang Ibu.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang