Selalu ada cerita
Tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita yang mengalir seperti air
—Utopia: HujanRahma baru saja menjajakkan diri di kantin, namun hal pertama yang ia lakukan adalah menghela napas berat. Ia tidak suka tatapan orang – orang yang melihatnya seperti baru saja berbuat dosa. Bisa ia dengar bisik – bisik beberapa siswi yang membahas kedekatannya dengan Ikhwan tadi pagi.
Anna yang semula berdiri di samping gadis itu dengan langkah angkuh menghampiri gerombolan siswi yang baru saja membicarakan sahabatnya. Ia berkacak pinggang, menatap mereka satu - persatu dengan tajam. "Sehari gak ngomongin orang, gak bikin mulut lo pada berbuih kok. Ngurusin hidup orang juga gak bikin lo kaya."
"Gak usah dipikirin omongan mereka." Suara yang tiba – tiba terdengar dari sisi kanannya membuat Rahma terlonjak, entah sudah sejak kapan Ikhwan berdiri di sana. "Lagipula mau bagaimanapun kamu, orang – orang akan tetap seenaknya menilai. Selama kamu gak merasa salah, lakuin semuanya sesukamu," sambungnya.
"Siapa juga yang mikirin," elak Rahma kemudian berjalan menuju salah satu meja yang kosong di pojok kiri kantin. Ikhwan terkekeh, kemudian menuju salah satu penjual makanan di sana. Anna menyusul Rahma setelah selesai mengomeli para siswi tadi, wajahnya menekuk karena kesal.
Tempat itu memang selalu ricuh, ada yang mengobrol, bernyanyi tidak jelas, sampai berebut memesan makanan. Tapi Rahma tak pernah keberatan dengan kebisingan, karena yang ia takutkan hanyalah kesendirian dan kesepian.
Ikhwan menghampiri mereka dengan membawa nampan berisikan tiga mangkok bakso, dan tiga gelas es teh. Membuat Anna dan Rahma menatapnya berbinar. "Kita belum pesen loh, kak. Baik banget deh, makasih," ujar Anna sembari menarik miliknya mendekat.
Anna ini seumuran dengan mereka, ia lahir akhir tahun sementara Ikhwan di awal tahun. Karena ia dan Ikhwan sepupuan, Anna sering kali memanggilnya dengan embel – embel "Kak" seperti yang dilakukan oleh Intan.
Ikhwan tersenyum menanggapi, "sama – sama."
"Kok cepet banget udah jadi pesenannya? itu yang lain masih lama ngantri loh," ujar Rahma penuh kebingungan. Ia menoleh ke belakang, melihat segerombolan siswa yang masih menunggu pesanan mereka sedari tadi.
"Ibu kantinnya baik, saya dikasih duluan," balas Ikhwan lalu menyeruput kuah bakso. Bola – bola daging di kantin ini memang sangat enak dan jadi menu favorit satu sekolahan, jadi tak heran jika banyak sekali yang mengantri untuk membelinya.
Rahma mengangguk mengerti, Ikhwan kan memang punya banyak relasi. Di mulai dari satpam sekolah, tukang kebun, ibu kantin, bahkan kucing yang selalu nangkring di koridor kelas IPA saja menjadi teman pemuda itu. Sekarang Rahma percaya dengan kalimat 'Orang baik pasti akan diperlakukan dengan baik pula', pasalnya Ikhwan sering kali mendapat kemudahan – kemudahan karena kebaikannya dibalas dengan baik juga oleh orang lain.
"Karna lo baik, makanya dia juga baik," ungkap Rahma setelah berhasil mengunyah mie dan menelannya.
"Menjadi baik itu standar, Rahma. Kita memang harus baik ke semua orang, masalah dia mau membalasnya seperti apa, itu jadi urusan mereka." Rahma terdiam sejenak, berusaha memahami semuanya secara perlahan agar tak ada paham yang menyimpang.
Menjadi baik itu standar, karena sejak awal manusia dilahirkan dengan baik, diajarkan tumbuh dengan baik, bergaul dengan baik dan bersikap dengan baik. Ikhwan percaya bahwasanya menjadi baik tidak akan pernah merugi. Rasanya menjadi baik itu luar biasa, Ikhwan dengan berani mengatakan demikian.
"Ini udah lo bayar kan, kak?" Pertanyaan yang Anna lontarkan membuat suasana serius di antara mereka pecah. Membuat Rahma mendelik tidak suka, padahal habis saja belum, Anna sudah menanyakan masalah pembayaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to December
Teen FictionMaybe this is wishful thinkin' Probably mindless dreamin' But if we loved again, I swear I'd love you right I'd go back in time and change it, but I can't ~Taylor swift - Back to December "Beberapa orang gak move on bukan karena gak bisa, tapi gak m...