Bagian 16: semoga, kita selalu punya kesempatan

8 4 0
                                    

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa
~Dewa; Risalah Hati


Rahma menatap sebungkus roti yang baru saja diberikan oleh seorang adik kelas, selembar sticky note kuning menempel pada bungkusnya. "Saya tahu kamu belum sempat sarapan, makan ini saja dulu ya."

Meski adik kelasnya tadi tak menyebutkan dari siapa roti itu, Rahma dengan pasti mengetahui sang pelaku dari angka delapan-satu yang tertulis di pojok kanan bawah sticky note tadi.

"Gue pikir dia beneran bakal menyudahi semuanya kayak yang gue minta kemarin," monolog Rahma. Ia mengulas senyuman di bibir, tidak tahu datang dari mana, tapi suasana hangat menguar dari dalam hatinya.

Katakan saja jika Rahma plin-plan, meminta Ikhwan berhenti mendekatinya tapi kemudian menyesal dan berharap pemuda itu tetap di sini bersamanya.

Rahma juga bingung dengan perasaannya. Di satu sisi ia merasa tidak pantas untuk Ikhwan, tapi di sisi lain Rahma juga mulai menaruh hati pada lelaki itu dan ingin merasakan dicintai.

Ia membuka bungkus roti tersebut, melahapnya dengan cepat karena tinggal beberapa menit lagi akan turun ke lapangan melaksanakan upacara.

Kepalanya kini penuh dengan nama Ikhwan. Tentang mengapa pemuda itu tak menjemputnya jika memang dia belum berniat berhenti mengejar Rahma, tentang bagaimana perasaannya setelah Rahma mengajukan penolakan hari itu.

Derap cepat langkah kaki mengambil alih seluruh perhatian Rahma, Irma berlari memasuki kelas itu dengan ritme pernapasan acak-acakan. "Kenapa lo?"

"D-duh, g-gue kira udah telat makanya lari-lari. Ternyata masih ada waktu, asem!" kata Irma setelah berhasil menguasai diri. Ia dengan lesu duduk di bangku sebelah Rahma, kepalanya mendarat ke atas meja. "Btw, lo punya minuman gak?"

Rahma menggelengkan kepala, ia tidak pernah membawa minuman dari rumah. Jika haus, Rahma akan membelinya.

"Gue ketar-ketir karena Ikhwan dan anak osis lain pada stay di gerbang," adu Irma.

"Ikhwan jaga di gerbang depan?"

Irma mengangguk, raut wajahnya masih menunjukkan rasa lelah. "Iya, gue juga kaget sih liat dia di gerbang depan. Dari dulu kan biasanya di belakang ya, nyiduk yang mau bolos. Ikhwan tuh kalau udah mode anak osis kok mukanya keliatan galak gitu ya."

Rahma terkekeh, dalam hati menyetujui perkataan Irma. Sebab dulu setiap kali Ikhwan memergokinya yang hendak bolos, lelaki itu sangat tegas dan tak dapat dirayu dengan apapun. "Punya dua kepribadian kayaknya."

"Cowok lo tuh," cibir Irma.

"Bukan weh. Jadian aja enggak," seru Rahma.

"Lo sih sok jual mahal, gengsi di gedein." Rahma mendengkus mendengar penuturan Irma. Hubungan ini tidak dimulai bukan hanya karena ia yang masih belum bisa menerima Ikhwan sepenuhnya, tapi juga sebab Ikhwan hanya mengungkapkan perasaan tanpa embel-embel apa-apa.

Tapi dengan itu Rahma bersyukur, setidaknya dia punya cukup waktu untuk meyakinkan diri, punya cukup ruang untuk memahami rasanya menyukai dan disukai. Karena bagi Rahma, jatuh cinta butuh waktu yang lama.

"Udah yuk, turun ke lapangan."

***

"Mampus lo, Ikhwan beneran ngejauh."
Kalimat itu masih terus bergema di telinga Rahma, dadanya terasa semakin sempit. Sudah beberapa jam sejak Anna mengatakannya, tapi seluruh kalimat itu masih terus terngiang. Pikirannya melayang, menyeret Rahma kembali pada saat ia berhadapan dengan Anna.

"Lo turunin gengsi lo sekali aja. Lupain hal-hal yang bikin lo takut buat buka hati. Yakinin diri lo kalau Ikhwan itu orang yang tepat."

Rahma menatap lurus ke depan, pada padatnya kendaraan yang nyaris tak menyisakan ruang. Gadis itu berdiri di pinggir trotoar, menunggu angkutan umum yang lewat.

"Ya meskipun sebaik-baiknya orang, setepat dan secocok apapun dia -bakalan ada resiko terluka juga, tapi kan gak ada salahnya mencoba. Setiap manusia itu bakal nyakitin, tapi sama Ikhwan -mungkin bisa meminimalisir itu." Kalimat yang Anna paparkan kembali terngiang di telinga Rahma, membuat gadis itu kembali menarik napas panjang. "Lo gak takut nyesel ngelepasin cowok sebaik Ikhwan?"

Rahma mendongak, menatap matahari yang mulai ingkah dari atap-atap awan. Ia jelas takut, takut melewatkan seseorang yang benar-benar tulus mencintainya. Rahma juga dengan jelas menyadari, bahwa tidak ada yang memperlakukannya sebaik Ikhwan. Sejauh ini pun tidak banyak yang mendekati Rahma, tak banyak yang menyukainya.

"Lagi mikirin apa?" Suara yang amat familiar memasuki gendang telinga Rahma, dengan cepat gadis itu menoleh. Matanya terbelalak, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut.

"Ikhwan?"

Pemuda di sisi kanan gadis itu menaikkan sebelah alis bingung karena respon Rahma, lalu ia mengulas senyum. "Kenapa? Seperti melihat hantu saja."

Rahma menggeleng kemudian mengalihkan pandangan, diam-diam ia mencubit punggung tangannya sendiri -takut jika ini hanya mimpi. Gadis itu meringis, lalu kurva bibirnya tertarik ke atas. "Gapapa, kok di sini?"

"Tidak boleh?" Ikhwan menatap tepat di manik mata kecokelatan Rahma, membuat gadis itu tenggelam pada iris pedar kelamnya. Rahma hanya menggeleng, dalam hati merasa senang karena kehadiran Ikhwan di sana.

"Mau pulang bersama? Naik motor saya atau naik angkot?" tawar Ikhwan.

Rahma mengulas senyum, suasana hangat menguar dari balik dadanya. "Jok belakangnya masih kosong?"

"Selalu kosong, untuk kamu," kelakar Ikhwan. Rahma tertawa mendengarnya, rona kemerahan muncul di pipi gadis itu. Ikhwan mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh Rahma, keduanya lalu berlari kecil kembali ke parkiran sekolah guna mengambil motor Ikhwan.

Seperti biasa, Ikhwan menyerahkan helm pada Rahma; menurunkan pijakan kaki untuk gadis itu; lalu mengambil alis tas Rahma. Hal sederhana, yang selalu Rahma suka. Perempuan itu tersenyum, jauh lebih manis dari yang sudah-sudah. Keduanya saling melempar tatapan lewat kaca spion, kemudian Rahma berpegangan pada tas punggung Ikhwan. "Yuk, balik!"

Sore itu jalanan lebih padat dari biasanya, tapi sama sekali tak membuat keduanya keberatan. Bising kendaraan menjadi latar, sebelum suara Rahma mengalun menarik perhatian. "Maaf untuk yang kemarin."

Ada hening yang Ikhwan biarkan mengisi, mata pedar kelamnya menatap Rahma dari balik kaca spion.

"Lo pasti sakit hati ya waktu itu?" Suara Rahma kembali mengalun, ada rasa bersalah yang menyeruak dari hatinya.

Kali ini Ikhwan tersenyum, serupa samudera yang luas wajahnya menggambarkan ketenangan. Selalu begitu, hingga Rahma sulit menebak bagaimana isi hati Ikhwan yang sebenarnya. "Sedikit, tapi masih bisa ditangani dengan baik."

"Gue minta maaf. Kemarin banyak hal yang bikin gue ngerasa gak pantas untuk dicintai, gue ngerasa kita jauh beda untuk dijadikan satu," terang Rahma. Ia bukan seseorang yang mudah menyampaikan perasaan, tapi kali ini pengecualian. Rahma harus mengungkapkan semuanya, agar baik dia maupun Ikhwan bisa saling mengerti satu sama lain, agar keduanya bisa mengambil keputusan yang tepat. "Gue bahkan belum bisa kasih cinta yang cukup buat diri gue sendiri, Wan. Gue takut gak bisa ngasih cinta yang sama kayak yang lo lakuin."

"Kamu mau kasih saya kesempatan? Saya gak akan nuntut kamu balas perasaan saya secepatnya. Tapi kasih saya kesempatan untuk bantu kamu belajar mencinta, entah itu cinta untuk diri kamu sendiri atau ke orang lain."

Kalimat itu seumpama mantra, ajaib - membuat dada Rahma terasa hangat. Seperti ada sekantong kecil kebahagiaan yang baru saja ia terima, gadis itu tersenyum penuh. Tidak pernah ada yang bersedia menunggunya, pun tidak pernah ada yang bersedia mengajarkannya seni jatuh cinta. Tapi kali Ikhwan mengajukan kesediaan atas semuanya, Rahma tidak punya jawaban lain selain "iya."

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang