Bagian 08: wishlist

37 5 1
                                    

Kita sempurna, mungkin sebaliknya
Mungkin kita takkan pernah menyesal
Kita bisa sedih, mungkin bahagia
Mungkin kita satu selama-lamanya
But maybe we should try
-TheOvertunes; mungkin

Bagian menyebalkan dari jatuh cinta adalah cemburu. Lebih menyebalkan lagi jika cemburu tapi tak punya hak apa–apa. Emosi–emosi negatif yang membuat tidak nyaman, menyebabkan hormon stress melonjak, tekanan meningkat dan detak jantung yang jauh lebih cepat.

Ikhwan menghembuskan napas kesal saat melihat seorang pemuda yang tiba–tiba berlari dan merangkul Rahma, ada gejolak tidak menyenangkan di hatinya saat melihat keakraban mereka. Ia berusaha membuang rasa tak nyaman, lalu menghampiri kedua insan yang kini berdiri di dekat motornya terparkir itu. Padahal ia sudah meminta Rahma untuk menunggunya di kelas saja saat pulang, tapi gadis itu memilih untuk ke parkiran duluan.

"Sekali lagi lo pegang – pegang gue, gue cincang lo!" Kemurkaan Rahma terdengar saat Ikhwan sudah berdiri tepat di samping gadis itu, wajah Rahma terlihat amat kesal, ia memukul pemuda yang tadi merangkulnya itu seperti penuh dendam.

"Etdah ampun, serem banget lo," ujar pemuda itu sembari berusaha menghindar berulang kali. Ikhwan berdeham, membuat keduanya menghentikan keributan yang sempat tercipta.

"Ehh, udah lama lo berdiri di situ?" tanya Rahma yang baru saja menyadari kehadiran Ikhwan di sana. Pemuda itu hanya mengangguk sebagai jawaban, ia lalu duduk pada kuda besi miliknya. Rahma mengerutkan dahi menyadari sedikit perubahan pada sikap Ikhwan, namun memilih tak terlalu mengubrisnya. Mungkin saja pemuda itu sedang badmood, pikirnya.

"Jadi kita kapan mau ngerjain tugas kelompoknya?" tanya Tino Tenggara – teman sekelas Rahma. Keduanya memang sering ribut akhir – akhir ini terutama saat di kelas, Tino selalu saja mengganggu Rahma hingga membuat gadis itu naik darah setiap harinya. Sialnya lagi, ia harus sekelompok dengan Tino sekarang.

"Kapan – kapan, tunggu gue rajin," balas Rahma lalu mendekat pada Ikhwan. "Yuk balik!"

Ikhwan menyerahkan helm kepada gadis di depannya itu, lalu mengikatkan hoodie biru kesayangannya pada pinggang Rahma untuk menutupi rok Rahma yang nanti tersingkap saat naik motor. Pergerakan keduanya tak terlepas dari tatapan Tino, laki – laki itu tetap berdiri di sana menyaksikan mereka. "Kalian pacaran kah?"

"Enggak," balas Rahma cepat.

Tino menaikkan satu alisnya, kemudian menatap Rahma mengejek. "Ohh ... friendzone atau hts?"

"Lo emang ngajak berantem ya," tutur Rahma sembari menggulung lengan bajunya. Keributan itu sepertinya akan kembali terjadi andai saja Ikhwan tak menahan gadis itu, Tino kemudian kabur dari sana sembari memeletkan lidah pada Rahma. Benar – benar menyebalkan!

"Itu siapa?" Ikhwan akhirnya buka suara. Ia bisa melihat tatapan berbeda dari Tino terhadap Rahma, laki – laki itu nampaknya juga menaruh rasa pada Rahma. Sepertinya Tino berusaha menarik perhatian Rahma dengan cara mengganggu dan mengerjai gadis itu.

"Temen sekelas sekaligus makhluk paling nyebelin," balas Rahma. Ia kemudian naik ke atas kuda besi itu, menepuk bahu kanan Ikhwan pelan. "Yuk jalan! Gak usah bahas dia."

"Mau langsung pulang? Kamu gak mau kemana dulu gitu?"

Rahma terdiam, berpikir sejenak tempat apa yang sebaiknya mereka kunjungi. Lagipula jika pulang ia hanya akan merasa sepi dan kosong, pergi bersama Ikhwan sepertinya bukan hal yang buruk. "Pantai, taman kota, danau, timezone, cafe, museum? menurut lo mana yang lebih oke?"

"Semuanya oke, asal sama kamu," kelakar Ikhwan.

"Dih," ujar Rahma spontan. Ia sedikit salah tingkah, namun berusaha keras menyembunyikannya. Lagipula, gombalan macam apa itu? Kenapa terdengar kuno? terlalu kuno tapi juga tiba – tiba hingga membuat jantungnya berdentum kencang.

"Besok catet wishlist kamu ya," pinta Ikhwan kemudian menancap gas. Keduanya berlalu membelah jalanan kota, semilir angin meniup wajah mereka.

"Buat apa?" Rahma menaikkan sebelah alis bingung.

"Ayo penuhin wishlist kamu, bareng saya."

***

Carik senja sore itu begitu memanjakan mata. Angin yang berhembus, orang – orang yang berlalu lalang. Dan seseorang yang disukai menemani menikmati lembayung kala itu menjadikannya moment paling menyenangkan meski hanya saling diam.

"Kenapa ya manusia lebih suka senja dibanding fajar?" tanya Rahma dengan mata yang masih terfokus pada angkasa di atas sana. Pertanyaan ini sering sekali memenuhi pikirannya setiap melihat senja, banyak kemungkinan – kemungkinan yang menjadi jawaban, tapi ia masih belum bisa menyimpulkan.

Mungkin karena perubahan warna langit di saat senja lebih membuat nyaman daripada saat fajar yang tiba – tiba terang? Atau mungkin karena terkadang manusia lebih banyak meratapi kepergian daripada menyambut kedatangan?

Ikhwan mengangkat bahu tanda tak tahu, ia juga tak menemukan jawaban pastinya. Sebab semua orang pasti punya alasan yang berbeda – beda. "Mungkin karena senja lebih tahu bagaimana cara pergi tanpa melukai," ujar pemuda itu.

"Kalau manusia, sebaik – baiknya dia pergi bakalan nimbulin kesedihan dan luka ya?" tanya Rahma, kali ini beralih menatap pemuda di sisi kanannya itu. Ia sudah terbiasa dengan sebuah kehilangan, beberapa hilang dikikis waktu dan beberapa lagi sengaja menghilang.

Ikhwan mengangguk setuju, ia menarik napas dalam. "Kehilangan itu menakutkan."

"Kehilangan apa yang paling lo takutin?"

"Kehilangan diri sendiri," tutur Ikhwan. "Manusia saat ini punya banyak standar dan ekspektasi, banyak juga dari mereka yang menghancurkan mental manusia lain. Beberapa menjadi kehilangan diri sendiri karena berusaha memenuhi standar orang lain."

Rahma kembali terdiam, kali ini menyimak dengan seksama. Ia selalu suka setiap kali membahas hal – hal semacam ini dengan Ikhwan.

"Setiap kehilangan, kita juga hanya punya diri sendiri. Kamu hanya bertopang pada kedua kaki sendiri untuk melanjutkan hidup. Kamu boleh kehilangan banyak orang di hidup kamu, tapi jangan sampai kamu kehilangan diri sendiri," sambung pemuda itu dengan senyum tulus di akhir kalimat.

***

Dahulu, Rahma selalu percaya bahwasanya untuk dicintai setidaknya harus punya satu hal yang menarik dan dapat dibanggakan. Sementara ia yang tidak punya apa – apa adalah manusia dengan peran menyedihkan yang tidak akan mendapat bagian apapun perihal cinta. Maka pada hari – hari biasanya, Rahma tidak pernah berharap ada yang menyatakan perasaan kepadanya.

Kemudian Ikhwan datang dan mengatakan cinta dengan lantang, hanya sekali, juga tanpa embel – embel untuk menjalin hubungan atau meminta Rahma segera membalas rasanya. Tapi lelaki itu mengejarnya, seolah Rahma pantas dicintai dengan luar biasa. Membuat gadis itu yang semula merasa kecil menjadi lebih percaya diri.

Ikhwan bersedia membersamai langkah Rahma, begitu katanya. Sebuah pernyataan yang mendikte detak jantung gadis itu berantakan. Membuat Rahma semakin yakin bahwa dirinya sudah terjebak dalam kurungan bernama jatuh cinta.

"Tapi gue gak boleh bikin semuanya semudah itu kan? harus liat usahanya lagi," monolog gadis itu. Rahma tidak ingin terlalu cepat menarik simpul atas semua sikap Ikhwan, takut jika hanya manis di awal saja.

Ia duduk di depan meja belajar, menempel secarik kertas kecil berwarna kuning di dinding, sticky note kesekian yang Ikhwan berikan.

Tetaplah nyaman menjadi kamu. Tidak perlu menjadi orang lain untuk disenangi, bahkan dengan segala kekurangan kamu. Begitulah tulisan yang tertera pada sticky note yang Ikhwan berikan saat kepulangan mereka diakhir senja. Rahma beralih menatap pemandangan luar yang sudah menggelap dari balik jendela yang terbuka setengah, hujan perlahan turun, sepertinya akhir – akhir ini langit sedang bersedih.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang