Engkau yang hatinya terluka
Di peluk nestapa tersapu derita
Seiring saat keringnya air mata
Tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnyaHanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti~Last child; pedih
Rahma mendengar kalimat-kalimat tidak menyenangkan ketika berjalan menyusuri koridor. Banyak yang membicarakannya, banyak yang menarik kesimpulan tanpa mengetahui lebih jauh bagaimana dirinya.
"Itu yang deket sama Ikhwan ya? kok biasa aja."
"Ya, kan! gue bilang juga apa. Gak cakep-cakep banget, gak yang pinter sampe juara kelas juga."
"Ikhwan kan pinter ya, kalau dia prestasinya apa?"
"Gak tau, populer juga enggak di sekolah ini. Kemarin namanya sempet rame gara-gara berantem deh kalau gak salah."
"Ihh, kok Ikhwan mau deket sama cewek begitu. kena pelet kali ya."
Rahma menarik napas dalam, berusaha menahan gejolak amarah dari dalam dirinya. Ia menulikan telinga, berjalan cepat menjauh dari sana. Niat awalnya yang hendak ke kantin kini berubah, Rahma justru berbelok menuju toilet.
Rahma membanting pintu dengan keras, memasuki sebuah bilik lalu menguncinya. Dadanya sesak dengan tarikan napas yang berantakan, diiringi genggaman tangan yang kuat dan gigi yang gemeretak. Saat itu juga, ia telah kalah melawan monster dalam dirinya sendiri.
Rahma mengibaratkan amarah seperti sebuah monster. Bentuknya kecil dengan warna merah, berkobar seperti barak api yang menelan banyak jiwa. Jika tidak bisa merawatnya, dalam hitungan mundur monster itu akan meledakkan berbagai amarah tanpa henti.
Amarah adalah monster kecil yang punya pengaruh besar. Sebab bila ia meledak tanpa persiapan, bukannya merasa lega justru menyebabkan penyesalan. Karena itu, Rahma memilih mengurung diri sendirian. Takut jika amarahnya akan menyakiti orang lain, lalu dirinya akan dianggap jahat sekali lagi.
Rahma tidak pandai mengendalikan diri ketika marah menguasai, ia cenderung akan meluapkannya pada apa saja bahkan benda sekalipun. Ritme pernapasan gadis itu sudah tak seberantakan tadi, matanya terpejam rapat agar lebih tenang. Rahma tidak marah pada orang-orang yang membicarakannya tadi, tapi ia marah pada dirinya sendiri. Rahma marah pada dirinya yang biasa-biasa saja tapi berharap dicintai tanpa syarat. Ia marah pada dirinya yang tidak punya keunggulan untuk membuatnya merasa pantas bersanding dengan seseorang. Marah pada dirinya yang mudah terhasut dan terbebani oleh ucapan serta pandangan orang lain. Marah pada ekspektasinya sendiri.
"Rahma, lo di dalem?" Rahma membuka mata begitu mendengar seseorang memangil namanya, mengenal suara itu sebagai milik Anna. Sepertinya gadis itu mencarinya kemari karena ia yang tak kunjung datang ke kantin seperti janji mereka.
Rahma berdiri, menarik napas sebentar sebelum akhirnya melangkah keluar. Monster merah kecil dalam dirinya sudah berhasil dikuasai, meski begitu hatinya tetap dongkol mengingat ucapan orang-orang tadi.
"Gue tungguin dari tadi di kantin, malah nongkrong di WC," gerutu Anna sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia menelisik menatap wajah Rahma, kemudian mengernyitkan dahi. "Lo kenapa? kayak kucing yang diambil ikannya."
"Diem! Gue lagi kesel!" pekau Rahma kemudian berjalan cepat mendahului Anna.
Anna menatap punggung sahabatnya itu melongo, ia berkacak pinggang sambil berdecak. Sudah repot-repot mencari Rahma hingga kemari, tapi justru berakhir ditinggalkan. Benar-benar! Untung saja sahabatnya, kalau bukan sudah Anna cakar-cakar dia!
***
Ikhwan menyeret langkah panjang menyusuri jejeran bangku, kemudian berhenti di sudut ruangan. Bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu, namun gadis di depannya ini masih setia menelungkupkan kepala di atas meja. Pemuda itu membenarkan posisi tas yang menyampir di sebelah bahunya, kemudian mengambil alih tas milik Rahma.
Rahma mengangkat kepala setelah merasakan pergerakan dari balik punggungnya, mendapati Ikhwan yang tersenyum manis sambil menjinjing tasnya di tangan kanan."Yuk," ajak Ikhwan sembari memberi kode lewat gerakan kepala agar Rahma segera bangkit dan pergi dari sana. Perempuan berkuncir kuda itu mengangguk, keduanya keluar dari kelas itu dengan beriringan.
Beberapa orang yang tersisa di koridor menyapa Ikhwan begitu mereka lewat, pemuda itu membalas dengan tak kalah ramah. Rahma tersenyum pahit, melihat bagaimana orang-orang menyanjung dan menyukai Ikhwan sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia alami tadi siang.
Terlalu banyak perbedaan diantara keduanya, membuat Rahma berpikir sekali lagi apakah mereka bisa melanjutkan hubungan yang bahkan belum di mulai ini. Mereka punya latar kehidupan yang jauh bertolak belakang, seperti air dan minyak yang coba disatukan. Rahma kesulitan memiliki teman bahkan cenderung dibenci sementara Ikhwan sangat mudah bergaul dan punya banyak orang-orang yang menyukainya. Rahma suka bubur yang diaduk sementara Ikhwan lebih suka yang tidak diaduk. Rahma suka indomie sedangkan Ikhwan lebih suka mie sedaap. Rahma tidak suka belajar tapi Ikhwan sangat aktif dalam hal pelajaran. Ikhwan sangat teratur sementara Rahma urakan dan ceroboh. Ikhwan suka membaca buku tapi Rahma lebih suka mendengarkan.
Mungkin ada benarnya yang dibilang orang-orang, bahwa beberapa hal tercipta sebagai penyeimbang - sesuatu yang tidak untuk disatukan. "Kita sudahi saja, ya?"
Ikhwan menghentikan langkahnya, menatap penuh tanya pada gadis yang kini menundukkan kepala. Terdengar helaan napas berat dari Rahma, ia mengambil alih tas nya dari tangan Ikhwan kemudian menatap pemuda itu dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Untuk apapun itu, yang berusaha lo mulai diantara kita. Kita sudahi saja," sambung Rahma.
Ikhwan terpekur untuk waktu yang lama, menatap manik hitam kecokelatan gadis di depannya sembari berusaha mencerna kata demi kata yang baru saja Rahma utarakan. "Apa yang salah?" Suaranya rendah, terlihat tenang seperti biasa. Namun nampak jelas raut terkejut sekaligus penuh tanya di wajah pemuda itu, tatapannya juga perlahan berubah sendu.
"Gak ada yang salah dari lo. Masalahnya ada di gue, gue yang gak siap buat yang namanya jatuh dan cinta." Rahma menarik napas dalam, ia menunduk sebentar sebelum akhirnya menatap manik pedar kelam di depannya. "Maaf. Gue pamit lebih dulu."
Ikhwan tak bergeming, hanya mampu menatap punggung Rahma yang mulai menjauh. Ia paham betul, kata 'pamit' yang gadis itu ucapkan bukan hanya perihal kepergiannya dari hadapan Ikhwan saat ini - tapi pamit dalam artian undur diri dari segala macam hubungan dan perasaan yang melibatkan keduanya. Hari itu pada kepulangan menuju senja di akhir bulan juli, untuk pertama kalinya Ikhwan Mahanta patah hati.
Ada beberapa senyawa kimia yang datang di tubuh manusia ketika sedang patah hati: cortisol dan epinephrine. Efek kompilasinya luar biasa, manusia jadi merasakan nyeri yang intens di dadanya - seperti tengah dijatuhi oleh batu besar.
Amigdala - bagian otak yang bertugas untuk memproses emosional akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Hipotalamus - bagian otak yang bertugas memberikan perintah, akan mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggungjawab atas respon ketahanan tubuh, mempercepat detak jantung dan pernapasan. Sedangkan sistem saraf parasimpatis bertanggungjawab atas tubuh saat istirahat. Otak dan hati yang merespon menjadi bingung karena menerima pesan yang campur aduk. Lalu, hormon cortisol dan epinephrine datang untuk memperkenalkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to December
Teen FictionMaybe this is wishful thinkin' Probably mindless dreamin' But if we loved again, I swear I'd love you right I'd go back in time and change it, but I can't ~Taylor swift - Back to December "Beberapa orang gak move on bukan karena gak bisa, tapi gak m...