"Kamu jadi deket dong sama anaknya si oppa?" tanya Hanny setelah kuberitahu tentang Yuna.
Ini pertama kalinya kami bisa hangout berdua lagi setelah satu semester penuh kami disibukkan dengan kegiatan mengajar kami. Biasanya kami hanya bisa saling sapa di lobi resepsionis kalau kebetulan kami bertemu saat melakukan presensi atau saling bertukar kabar lewat Telegram. Namun, jelas kehebohannya tidak sebanding kalau kami bertemu langsung.
Aku mengangguk sembari menusuk chicken cordon bleu yang kupesan dengan garpu lalu memasukkannya ke mulut. Untunglah akhirnya aku bisa sedikit hedon lagi setelah sekian lama tidak punya uang karena gaji di Republik Ganesha lebih dari cukup buatku. Kami memilih hangout di Solaria Transmart agar kami bisa sekalian jalan-jalan mengitari mal terbesar di kotaku itu.
"Tapi aku merasa dia kayak menyembunyikan sesuatu. Inget nggak yang aku waktu itu pernah bilang kalau Yuna nggak tahu papa mamanya siapa?"
Hanny mengangguk. "Kalau misalkan si oppa itu bukan papanya kenapa dia manggil si oppa papa. Iya, kan?"
"Nah, itu dia."
"Tapi seenggaknya ada titik terang soal status si oppa, Nis. Dia jelas bukan bapaknya Yuna. Jadi mungkin kamu masih bisa gebet dia," goda Hanny.
"Ah, kamu. Dulu aja kamu bilang jangan deketin si oppa karena dia begini, begitu. Sekarang malah berbalik seratus delapan puluh derajat," cibirku.
"Lho, aku nggak salah, kan? Aku, kan, waktu itu nggak tahu kalau si oppa bukan bapaknya Yuna makanya aku bilang jangan deketin suami orang. Kamu bisa digeprek sama istri sah nanti. Nama baik kamu juga jadi tercoreng kalau naksir suami orang. Tapi kalau dia masih single ya monggo kerso¹."
Aku tidak menanggapi perkataan Hanny dan malah lanjut menghabiskan sisa steik milikku sambil asyik dengan pikiranku sendiri.
"Aduh." Hanny melihat ponselnya dengan wajah panik.
"Kenapa, Han?" tanyaku.
"Aku lupa kalau aku disuruh ibuku nganter-nganterin pesenan. Ini ibuku nge-WA nyuruh aku balik sekarang karena ibuku lagi repot jadi nggak bisa anter-anterin sendiri. Yang pesen udah pada nungguin katanya."
Ibu Hanny mulanya membuka usaha warung makan. Namun, sejak pandemi melanda dan peraturan PSBB serta PPKM sering diberlakukan dan bahkan terus diperpanjang tanpa ada kejelasan kapan berakhirnya, warung makan milik ibu Hanny terpaksa harus sering tutup. Demi bisa terus mendapat penghasilan di tengah gempuran masalah ekonomi akibat pandemi, akhirnya ibu Hanny membuka jasa katering yang dijual pada para pelanggan warung makannya. Syukurlah dengan cara ini keluarga Hanny tetap dapat bertahan hidup meski uang yang didapat tak sebanyak kalau warung makan dibuka.
Aku jadi ikut panik. "Y-ya udah kalau gitu. Sana kamu pulang. Bisa gawat kalau pelanggan ibu kamu kabur gara-gara pesenan mereka telat dianterin."
"Tapi kamu—"
"Udah nggak usah pikirin aku. Nanti aku bisa pulang naik ojek." Aku berusaha meyakinkan.
Saat ke Solaria tadi aku dijemput oleh Hanny sehingga kami berboncengan dengan naik motor Hanny.
"Ya udah deh. Maaf ya, Nis." Hanny jadi tak enak hati tapi dia tetap mengepak barang-barangnya yang tercecer di meja.
"Santai aja. Titip salam buat ibu. Semoga dagangannya makin laris."
Hanny mengangguk. "Amin. Makasih ya, Nis. Nanti kalau kamu udah di rumah kabarin aku ya."
Aku mengiyakan sembari melihat punggung Hanny menghilang dari pandanganku. Selepas kepergian Hanny, aku jadi merenung dan menyadari bahwa aku tidak memiliki banyak teman selama ini. Hanya Hanny-lah teman dekatku. Sayangnya, sekarang kami juga jadi tak sedekat dulu. Tidak seperti dulu saat kami masih menganggur, kini betapa sulitnya kami bertemu untuk sekadar mengobrol sejak kami bekerja padahal kami bekerja di tempat yang sama. Dulu Hanny sering main ke rumahku, aku pun sering main ke rumahnya. Kami sering bertukar pesan di Telegram atau saling telepon hanya untuk membicarakan gosip terbaru soal teman kuliah kami atau cowok ganteng yang tak sengaja kami lihat di jalan. Namun, kini semua itu bagai sebuah kemewahan. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk suatu tingkat kehidupan yang baru dan yang lebih baik. Aku mengembuskan napas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KADREDA | Tamat
RomancePengangguran sempat menjadi nama tengah Ganis selama enam bulan lamanya sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah swasta bernama Republik Ganesha di bawah naungan yayasan yang sama. Di sanalah Ganis melihat sosok yang mirip aktor drama K...