10 - Tiga Kata Keramat

123 26 0
                                    

Notifikasi pesan di Telegram-ku berbunyi.

Hanya ada tiga kata di pesan masuk itu: saya sudah sampai. Namun, setiap tiga kata keramat itu masuk ke ponselku, aku langsung panas dingin karena efek dari tatapan mata ibuku yang panas diiringi dengan ucapannya yang dingin.

"Pergi lagi kamu, Nis?" Begitu tanya ibu ketika melihatku keluar kamar dalam keadaan sudah berdandan rapi sambil mencangklong tas.

"I-iya, Bu."

"Naik Brio merah itu lagi?"

Aku mengangguk.

Sudah lima kali hari Sabtu aku dijemput Brio merah kepunyaan Ryu yang berarti sudah lima pekan berturut-turut Brio merah itu berhenti di depan toko sembako milik bapak dan ibuku karena mobilnya tidak bisa masuk ke dalam gang. Ryu hanya akan mengirimiku pesan berupa tiga kata tadi agar aku berjalan menuju depan gang karena Ryu masih tidak tahu yang mana rumahku di antara banyak rumah yang berderet-deret di dalam gang itu dan dia juga tidak tahu bahwa tempat parkir mobilnya selama ini adalah toko milik orang tuaku. Aku bukannya tidak mau memberitahu rumahku yang mana karena malu atau memberitahu bahwa selama ini dia parkir mobil di depan toko milik orang tuaku karena gengsi tapi semata karena aku tidak ingin Ryu punya kesempatan bertemu dengan orang tuaku jika menjemputku sampai ke rumah. Ya, aku ingin memperkenalkan Ryu memang tapi bukan sekarang. Tidak, sebelum ada kejelasan dalam hubungan kami. Aku tidak ingin dianggap GR atau baper walau sebenarnya memang iya.

"Memangnya itu siapa sih, Nis?" cecar ibu yang membuatku sampai salah mengenakan sepatu; aku mengenakan sneaker di kaki kanan dan flat shoe di kaki kiri (untung saja aku tidak terlambat menyadarinya).

Nah, ini juga jadi alasan lain kenapa aku tidak membolehkan Ryu mengantarku sampai ke rumah. Aku tidak ingin Ryu menghadapi interogasi dari kedua orang tuaku terutama ibuku. Bisa gawat akibatnya.

"Temen," jawabku singkat.

"Temen yang mana? Bukannya temen kamu yang sering main ke sini Hanny doang? Tapi itu jelas bukan Hanny, kan?"

"Nah, itu Ibu tahu," ucapku mencoba mencairkan suasana. "Udah ya, Bu, aku—"

"Cowok ya, Nis?"

"Siapa?"

"Temen kamu itu."

"Bu, aku buru-buru—"

"Pacar kamu ya, Nis?" desak ibu.

Aku menggeleng cepat— terlalu cepat— sehingga membuat ibu makin curiga padaku. Ibu memicingkan matanya.

"Bukan, Bu, beneran. Sumpah," yakinku sembari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan sehingga membentuk huruf V. 

"Masa?"

"Demi Allah, Bu," ucapku keras, "setidaknya untuk saat ini," kemudian lirihku.

"Berarti beneram cowok, kan? Dia beneran lagi pedekate, kan, sama kamu?" cecar ibu yang rupanya mendengar gumamanku tadi.

"Y-ya … Nggak tahu."

"Kok bisa nggak tahu?"

"M-maksudnya aku nggak tahu dia lagi pedekate atau cuma hubungan profesional aja karena kita masih ngobrol biasa aja gitu. Nggak ada yang mengarah ke sana."

"Tapi kamu tahu dia siapa, kan? Asal-usulnya dari mana, dari suku dan ras mana, dia asli mana, rumahnya di mana, pekerjaannya apa, agamanya apa, orang tuanya bagaimana, hobinya apa, status perkawinannya apa," berondong ibu. 

"Bu, aku tuh cuma temennya bukan pegawai kecamatan atau petugas Disdukcapil," dengusku. "Lagian masa temenan aja harus pilah pilih suku dan ras dan agamanya segala sih? Itu nyari temen apa nyari anggota partai politik yang mementingkan kepentingan golongannya sendiri?"

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang