Sudah tiga hari ini aku ambruk karena tifus. Sudah tiga hari pula aku izin tidak mengajar.
"Makanya kalau ada kegiatan itu jangan lupa makan!" kata ibu sembari menjejalkan makanan ke dalam mulutku banyak-banyak sampai aku nyaris tersedak.
"Bu … ohok … Ibu … ohok … mau bikin aku mati?" raungku sambil berusaha menelan makanan yang dijejalkan ibu agar bisa bertahan hidup.
"Abisnya kalau kamu nggak disuapin begini mana mau kamu makan. Iya, nanti, Bu, makannya. Masih kenyang. Iya, nanti, Bu. Ini masih nanggung, dikit lagi kelar." Ibu menirukan ucapanku dengan gerak bibir yang dibuat-buat. "Macem-macem lah alesan kamu pokoknya."
Aku memutar bola mata.
"Ibu udah berapa kali bilang tempo hari. Nis, jangan lupa makan. Kegiatan kamu lagi banyak karena ada persiapan lomba Agustusan. Udah capek karena ikut persiapannya eh ternyata kamu juga ikut lomba-lombanya. Udah gitu tetep aja kamu cuma ha-ah ho-oh doang tapi nggak makan beneran. Ibu udah ngebatin kemarin-kemarin tuh. Ini anak kalau kumat lagi gimana. Eh, ambruk beneran dong," cerocos ibu.
"Ibu pake ngebatin sih jadi beneran, kan. Ucapan orang tua, kan, doa sekalipun dalam hati," dengusku.
Ibu menoyor kepalaku. "Itu bukan ngebatinnya yang bikin kamu sakit beneran tapi kamunya aja yang bandel," murkanya. "Dulu pas SMA sama kuliah udah pernah kejadian eh sekarang diulang lagi. Udah tahu kalau tipes itu bisa kambuh lagi kalau udah pernah sekali kena. Kamu udah dua kali kena masih bandel aja kalau dikasih tahu."
"Iya, iya." Aku memasang raut wajah menyesal.
"Nggih, nggih, mboten kepanggih¹ kamu itu," sembur ibu.
"Ya Allah, iya, Bu, iya. Aku salah. Orang sakit malah dimarahin mulu. Serba salah aku tuh."
"Sakit dibikin sendiri ya dimarahin biar kapok," sungut ibu. "Untung aja kamu nggak perlu opname. Coba kalau sampe harus opname apa nggak lebih repot tuh?"
"Iya, Bu, iya."
"Ya udah, tuh dimakan makanannya. Ibu udah bikinin kamu semur jengkol kesukaan kamu lho."
"Lah, siapa yang doyan semur jengkol sih, Bu?" protesku.
"Oh, bukan kamu ya. Berarti bapak kamu yang suka. Apa Oyong ya? Seinget Ibu di rumah ini ada yang suka semur jengkol deh."
"Ya Allah, pantesan aja aku makin mual pas disodorin makan sama ibu wong lauknya semur jengkol yang nggak aku suka," rajukku.
Ibu terkekeh. "Iya, maaf. Kamu sukanya apa deh? Nanti Ibu buatin."
Aku berpikir sebentar. Sebenarnya aku banyak sekali keinginan tapi aku sudah memutuskan satu. "Limo pizza deh. Ibu bisa nggak bikinnya?"
Ibu langsung melotot. "Kamu GoFood aja deh, Nis, kalau kayak gitu. Nyusahin Ibu aja."
"Lah, kan, Ibu nawarin sendiri tadi." Aku protes.
"Iya, tapi bukan yang kayak gitu juga makanannya. Kalau bikin sop, lodeh, pecak terong atau tempe, sayur bening, oseng atau tumisan Ibu bisa tapi kalau pizza gimana cara bikinnya, Nis?" sungut ibu.
"Kirain Ibu bisa, kan, biasanya emak-emak jago masak apa aja."
"Ibu tuh emak-emak biasa bukan Doraemon!" ketus ibu.
Aku terkekeh. Kalau sedang sakit begini melihat ibu sewot adalah hiburan tersendiri.
"Doraemon malah nggak bisa masak, Bu, bisanya main sulap," celetukku.
Ibu mengernyitkan dahi. "Itu Doraemon apa Pak Tarno?"
Tawaku meledak sampai-sampai aku memegangi perut dan rahangku yang mulai kaku karena terlalu banyak tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
KADREDA | Tamat
RomantizmPengangguran sempat menjadi nama tengah Ganis selama enam bulan lamanya sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah swasta bernama Republik Ganesha di bawah naungan yayasan yang sama. Di sanalah Ganis melihat sosok yang mirip aktor drama K...