Siapa sih yang pengen pernikahannya hancur dan menyandang status janda? Nggak ada satupun, termasuk Hesya.
Di awal perpisahan dengan Mark, hidupnya seperti di neraka, semua orang menatapnya dengan mata menilai, nggak jarang juga dia denger tetangga menggunjing, dibilang dia istri nggak becuslah, istri yang banyak nuntutlah, banyak banget julukan yang Hesya terima dengan lapang dada.
Kadang dia juga bingung, kenapa di setiap perceraian seperti ini, selalu pihak perempuan yang menerima bobroknya? Kenapa nggak ada dari mereka yang bilang, ohh cerai karena suaminya suka kdrt, karena suaminya begini, karena suaminya begitu? Kenapa yang mereka bicarakan adalah selalu perempuan yang salah?
Tapi, nggak apa-apa. Dia nggak perlu menjelaskan siapa dirinya ke orang-orang, yang terpenting adalah bagaimana dia sekarang bisa menghidupi anaknya, berhenti menyusahkan orang tua yang hanya bergantung dari uang pensiunan ayahnya juga pemberian Kak Jo dan Jeno setiap bulannya.
"Semua biaya hidup Cello, aku yang tanggung," kata Mark, di sesi sidang kesekian yang hanya menghadirkan mereka berdua, tanpa keluarga.
"Oke."
Hesya tidak ingin banyak berdebat, baginya hak asuh Cello udah cukup. Jika Mark ingin menanggungnya, tidak masalah, memang begitulah seharusnya.
"Kalian bisa tetap tinggal di rumah."
"Oh, enggak, makasih." Hesya buru-buru menolak, tinggal lebih lama di sana hanya akan memperlama proses pulihnya, rumah itu menyimpan banyak kenangan, meski belakangan lebih banyak buruknya tapi Hesya tidak menampik bahwa di sanalah, dia dan Mark pernah menjadi sepasang suami istri yang bahagia dan penuh cinta.
"Aku ... tetap bisa ketemu Cello, kan?"
"Hanya jika Cello mau."
Begitulah kesepakatan mereka, Mark akan mentransfer sejumlah uang setiap bulannya ke rekening Hesya untuk putra mereka dan Hesya tidak akan melarang jika Cello ingin bertemu ayahnya. Bagaimanapun juga, Mark tetaplah lelaki pertama yang anak itu jadikan panutan. Seburuk apapun perlakuannya akhir-akhir ini, tidak akan menghapus kenyataan bahwa darahnya mengalir dalam tubuh Cello.
"Besok sidang putusan, kalian benar-benar tidak berubah pikiran?"
Mark menatap istrinya dalam-dalam, mencari sisa cinta yang mungkin masih ada di sana, di matanya yang dulu selalu jadi favoritnya.
Namun yang Mark temukan hanyalah binar lelah dan ingin menyerah, dia tidak bisa lagi memaksa pun meminta. Yang bisa dilakukan hanya melepas agar bahagia yang dulu selalu terpantul di sana bisa kembali seperti semula.
"Tidak." Mark akhirnya menjawab, meski separuh hatinya berteriak bahwa itu adalah keputusan yang sangat salah.
"Baik. Sampai bertemu besok."
Hakim tersebut keluar dari ruang mediasi, memberi kesempatan bagi sepasang suami istri untuk mengucap perpisahan sebelum palu sidang mengesahkan perceraian mereka.
"Terima kasih, Sya."
Hesya tersenyum kecil, "Iya. Aku juga makasih ya Kak."
Mark menghapus jarak, memberikan pelukan terakhir sebelum mereka benar-benar selesai.
Hesya menyamankan kepalanya di bahu bidang pria itu, meresapi aroma parfum yang mungkin akan dia rindukan.
"See you?"
"Ya ... see you."
***
"Mama, ada yang cari." Cello mengintip dari daun pintu, sebenernya anak itu nggak mau ganggu orang tuanya yang nggak tau kenapa sejak semalam bikin dia tidur dengan senyum, soalnya kapan lagi bisa liat ada papa di sini.