tw: divorce, selingkuh.
***
"Selingkuh itu ... pilihan, nduk." Mama masih duduk di kursinya, membuka buku-buku lama yang kertasnya sudah menguning, "Itu tidak dibenarkan sama sekali," sambungnya pelan, tanpa menatap Mbakku yang duduk di lantai dengan rambut dan wajah yang berantakan.
Semalam, wanita itu menggedor pintu rumah dengan keras, membuatku yang baru merebahkan tubuh di atas ranjang terpaksa bangun buru-buru.
"Ada apa sih? Ganggu aja. Kan bisa ngetuk pelan-pelan."
Mbakku itu tidak menjawab, dia justru menghambur masuk, membuka pintu kamarnya dan membanting pintu keras-keras.
Barulah tadi pagi, saat mama menyiapkan makan dan aku baru bangun, dia bercerita. Tentang suaminya yang ketahuan tidur bersama wanita lain yang juga adalah sahabatnya sendiri.
"Salahku apa sih, ma? Aku udah jadi istri yang baik, aku sayang keluarganya, aku nerima dia, bahkan saat dia di phk dan aku satu-satunya yang kerja, aku tetap nggak ninggalin dia. Aku sabar, aku jalanin takdirku. Tapi, kenapa dia milih selingkuh?"
"Faktor selingkuh itu ... macam-macam, nduk."
Aku mencuri dengar dari balik cangkir teh madu dan diktat kedokteran yang sedang kupelajari.
"Bisa jadi dia tidak bahagia lahir dan batin, ada kesempatan untuk melakukan itu karena kalian berjauhan, balas dendam, atau merasa tidak dihargai dan masih banyak lagi. Coba pikir, apa yang membuat suamimu main belakang?"
"Dia nggak pernah bilang apa yang salah sama aku dan aku nggak merasa kalo itu salahku! Dia yang selingkuh, kenapa aku yang disalahkan? Dia yang mendua, Ma! Dia yang khianati aku!"
"Itulah kenapa komunikasi itu penting, nduk." Mama masih duduk di kursi goyangnya, tidak gentar sama sekali menghadapi amarah Mbak Thal. "Iya, kamu ndak salah, mas-mu yang salah, wanita itu juga yang salah. Tapi, kamu perlu tau apa yang melatar belakangi perbuatan mas-mu untuk mengitropeksi dirimu agar jadi lebih baik tanpa dia."
Telingaku menajam saat langkah kaki terdengar disertai ketukan pelan pada daun pintu, mama melirikku, membuat kakiku seketika berdiri untuk membuka pintu.
"Ma ... ada Mas Je."
"Suruh masuk."
Kakak iparku terlihat lebih berantakan dari kakakku sendiri, wajahnya kuyu dengan kantong mata yang cukup tebal, pria itu masuk dan duduk di depan kakakku. Mama memberinya senyum kecil sebelum menyuruhku untuk membuat teh.
"Minum dulu, Je. Banyak yang harus kita bicarakan."
Aku melipir ke luar saat mama dengan halus memintaku belajar, meski beliau pasti tau bahwa diam-diam telingaku menempel di daun pintu, mendengarkan sekaligus berjaga, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Jadi, siapa wanita itu, Je?"
Suara mama terdengar halus namun tajam, persis saat memarahiku yang sering kali bengal.
"Syifa, Ma."
"Syifa ya ... apa yang ada pada dia dan tidak ada pada istrimu?"
"Ma ..."
"Mama butuh jawaban, Je."
Pria itu masih terdiam, aku tidak bisa melihat seperti apa ekspresi mereka tapi aku yakin betul bahwa udara begitu tegang dan menakutkan. Mama tidak pernah marah, hanya sering mengeluh atau menasehati. Beliau adalah wanita tersabar yang pernah aku kenal.
"Saat kamu meminta untuk menikahi Thalia, saat itu juga kamu sudah jadi anak mama, mas." Kepalaku menunduk, mendengar nada kecewa dan sedih di sana, "Mama perlu dengar dari dua pihak untuk kemudian memberikan nasehat. Ini rumah tangga kalian, mama tidak berhak campur tangan. Tapi, jika anak-anak mama tersesat dan saling menyakiti seperti ini. Mama rasa, saatnya mama untuk ambil bagian. Jadi, mas, apa yang tidak ada pada Thalia sehingga kamu memilih untuk mencari di luar sana?"