Potongan percakapan di halte bus bersama Naya mengalir begitu saja dalam benak, membuat senyum patah terbit di bibirnya. Hannah mendesah, Mark tidak pernah sekalipun menyakitinya. Hubungan yang mereka jalani selama ini benar-benar membuatnya bahagia.
Tidak pernah sehari pun Hannah berpikir bahwa hari seperti ini akan tiba. Saat di mana ia harus melepas cinta yang telah ia jaga bertahun-tahun. Lagi-lagi bibirnya digigit keras, mengalihkan rasa sakit yang bersemayam dalam dada.
Perih. Sangat perih. Namun, ia tak punya kuasa.
"Kuantar pulang."
Suara Mark terdengar begitu dekat, kepalanya menoleh dan menemukan tangan pria itu terulur ke arahnya.
"Jangan begini, Kak," keluhnya lemah. Bagaimana hatinya bisa beranjak sedangkan Mark sendiri menahannya seperti ini?
"Untuk kali terakhir, Hannah. Kau sendiri yang bilang begitu."
Ada sakit dalam lirihnya kalimat Mark, Hannah bisa merasakannya. Maka dari itu, ia menyambut tangan besar yang langsung menyelubunginya begitu hangat.
Keduanya berjalan menyusuri jalanan beton, malam semakin tua, bintang di atas bentangan tirai hitam berkedip sedih melihat sepasang sejoli yang tengah berusaha melepas cinta mereka.
"Jaga dirimu. Tetap sehat, tetap ceria, jangan biarkan sedih merenggut cahayamu. Kau adalah matahari, Hannah, kau akan tetap bersinar sekalipun malam terbit dan menutupimu dengan rembulan," ujarnya saat gerbang rumah Hannah sudah terlihat.
Tawa kering mengalun dari bibir Hannah. "Apa aku harus mengatakan hal serupa?"
Mark menggeleng. "Tidak perlu."
"Ya, karena tanpa kukatakan pun kau akan tetap bahagia bersama istrimu nanti."
"Hannah." Mark memegang kedua bahunya, menatap tajam ke bola mata hangat yang kini berselaput bening, "Kau segalanya."
"Berhenti mengatakan hal itu saat kau akan menikah minggu depan." Ia berusaha menepis lengan Mark. Namun cengkeraman lelaki itu teramat kuat.
"Kalau saja aku bisa melawan orang tuaku."
"Iya, Kak. Dunia juga tahu seberapa sayang kau pada orang tuamu." Hannah tersenyum lemah. "Pulanglah. Mari untuk tidak bertemu lagi."
Ia berbalik, berusaha membuka pintu gerbang dengan air mata tertahan. Mark menatapnya sendu, punggung sempit yang selalu jadi sandarannya kala rapuh kini terasa begitu jauh. Tangannya terulur, meraih bahu Hannah dan mendekapnya hangat dalam lengan.
"Aku mencintaimu, Hannah. Sangat mencintaimu."
"Jangan begini Kak. Kasihan calon istrimu."
Hannah memutus pelukan di antara mereka tepat saat pintu terbuka dari dalam, menampilkan Jeno dengan kening berkerut bingung.
"Pulanglah. Semoga pernikahan kalian selalu dalam kebahagiaan."
Lelaki yang lebih muda menerobos masuk, membuat Jeno bingung setengah mati. Ia meneliti penampilan Mark dari ujung kaki hingga ujung rambut, sama berantakannya dengan Hannah.
"Kau dengar kata adikku, kan? Pulang sana. Terima kasih sudah menyakiti Hannah, dia pasti akan mendapat yang jauh lebih baik darimu."
Gerbang ditutup keras, membuat Mark mundur selangkah, suara gembok terdengar diiringi langkah Jeno menuju ke dalam. ia menarik napas panjang, menatap ke arah kamar Hannah yang masih gelap.
Seperti hatinya yang sudah mati malam ini.
***
Jeno menatap perih pintu jati yang baru saja menelan sosok ringkih adik tirinya, dengan gontai ia menuruni tangga, mengambil sebotol air dingin dalam kulkas lalu menegaknya rakus.