"Mau ngerjain di mana jadinya?"
Naia tersentak saat sosok Jean duduk di depannya, meletakkan nampan berisi nasi campur dan jus leci yang dia pesan.
"Apanya?"
"Tugas kelompok kita, Naia."
"Oh iya ..."
Jean berdecak, masih nunggu jawaban gadis di depannya sembari menikmati satu porsi nasi campur untuk mengisi perutnya yang keroncongan sejak tadi. Untungnya dia nggak perlu keliling fakultas buat nyari di mana sosok Naia berada karena gadis itu sedang duduk di kantin sendirian.
"Café?" Naia bergumam ragu, sebenernya dia nggak punya opsi lain, nggak mungkin ngajak Jean ke rumahnya.
Dilihat dari sisi apapun, Jeandra nggak mungkin tau dunia hitam di mana dia tinggal selama ini. Dia berasal dari keluarga baik-baik, ayah dan ibunya adalah dokter di rumah sakit swasta terbesar di kota mereka.
Agaknya sedikit mustahil kalo Jean tau ada sudut penuh nikmat tapi menjerumuskan pengunjungnya ke neraka di kota ini.
"Oke, café mana?"
Nah ... masalahnya Naia nggak pernah nongkrong, selain karena dia nggak punya temen, dia juga nggak punya uang. Daripada dipake buat nongkrong, mending uangnya ditabung, kuliah di cover penuh oleh beasiswa nggak berarti dia nggak ngeluarin sepeserpun. Masih ada biaya ini itu yang harus dia bayar dan nggak mungkin untuk minta terus menerus ke ibu.
"Ada saran?"
"Starbucks?"
Dia tau kedai kopi kekinian yang harga minumnya bisa jadi biaya hidup dia selama seminggu, Naia menggaruk tengkuk, mau nolak tapi segan, mau nerima juga dia nggak enak.
"Ada yang lain?"
Jean menghela napas panjang, "Yaudah, lu tentuin aja."
"Hng ... gimana ya ... Je ... gue tuh nggak pernah nongkrong jadi beneran nggak tau ..."
Hadeeeeh.
Jean menahan diri untuk nggak ngamuk, untung aja jatah sabarnya sangat amat tak terhingga.
"Yaudah, ngikut aja, besok ya. Gue tunggu di parkiran."
"Oke! Maaf ya Je, nyusahin."
"No need. Gue duluan."
Lelaki itu berdiri setelah ngabisin makanannya, melangkah ke kerumunan mahasiswa yang kata Naia sih, sirkel mereka susah ditembus, gimana nggak susah kalo isinya pureblood semua, kalaupun ada yang nggak, udah pasti isi dompetnya setebal buku pengantar anatomi dasar.
***
"Gimana, Je? Udah dapet hasilnya?"
Jean bahkan belum duduk, tapi papanya udah nodong dengan pertanyaan yang bikin dia mengdengkus.
"Enggak, aku aja nggak tau rumahnya di mana."
"Loh, enggak diajak ke sana?"
"Enggaklah paaa."
Mamanya naro piring di depannya, lengkap dengan beberapa sayur dan lauk yang jadi teman makan malam mereka hari ini. Wanita itu menatap dua pria kesayangannya dengan kening mengerut.
"Ngomongin siapa sih?"
"Itu loh ma, yang kemarin papa ceritain."
"Oh, yang kamu curigain ... itu?"
Jean menatap kedua orang tuanya bergantian, kayaknya dibalik misi yang papanya kasih ini, ada rahasia yang mereka jaga dan Jean nggak dilibatin.
"Ada yang nggak papa jelasin ke aku?"