Miridical: Nalaya

716 107 5
                                    

London, 2022.

Saya bertemu seorang perempuan hari ini di kelas literatur, duduk sendirian di deret bangku paling belakang, tidak ada senyum yang terpatri di bibirnya, hanya terlihat mata muram yang penuh kekhawatiran. Saya ingin menyapa, tapi dosen sudah terlebih dulu mengambil atensi. Sesekali, saya meliriknya, menatap penuh ingin tahu, pada seorang perempuan yang nampak ... kesepian.

***

London, 2022.

Saya kembali melihatnya, kali ini di tengah diskusi mahasiswa tentang konflik timur tengah yang merembet pada perang saudara antara Korea Utara dan Korea Selatan, lalu bagaimana kami—para mahasiswa Asia—menanggapi kemunduran mental generasi selanjutnya.

Gadis itu terlihat bercahaya, dengan penuh percaya diri mengungkapkan kekhawatirannya, fasih berbicara tentang visi masa depan yang dia inginkan, tentang semua mimpi-mimpinya mewujudkan dunia yang lebih baik bagi para penerus.

Saya duduk di dekat taman, menatapnya yang berapi-api menjelaskan.

Kadang, memang sulit mendapatkan keberanian, terlebih berada dalam lingkungan asing nan jauh seperti ini. Namun, kesempatan menaklukan dunia terbuka lebar di sini, di mana semua orang dari belahan bumi berkumpul, membahu untuk saling membantu.

Mata sedih yang terlihat tempo hari berganti senyum cerah, seperti harap tentang hari esok yang lebih baik.

***

London, 2022.

Kami kembali bertemu.

Entah sesempit apa Cambridge University sampai kami hampir selalu bersua di beberapa kesempatan.

Kali ini, di antara gemuruh pementasan seni yang memang selalu menjadi tradisi sebelum liburan musim panas berlangsung. Dia berdiri di antara kawan-kawannya, cukup menonjol dengan kulit khas Asia yang cenderung sawo matang, juga tinggi yang tidak seperti ras kaukasian pada umumnya.

"Di negaraku, kalian bisa melihat banyak sekali tradisi seperti ini. Tidak hanya di universitas, tapi semua daerah memiliki ragam budayanya masing-masing."

Oh, suaranya mengalun cukup antusias, berbicara tentang tanah air yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun. Entah dorongan dari mana, tapi saya mendapati diri sedang duduk menatap gadis itu, memerhatikannya dari dekat kedai minuman di sisi taman.

***

London, 2022.

"Bagi saya," katanya suatu hari di kelas yang cukup lengang, hanya ada beberapa mahasiswa berkumpul sebelum menuju kelas selanjutnya, "Perempuan hanya punya tiga kodrat, mengandung, melahirkan dan menyusui. Selebihnya adalah tugas bersama, saya tidak mau membesarkan anak kami sendirian karena ayahnya pun punya andil. Saya tidak mau membersihkan rumah dan merawat taman sendirian karena itu rumah kami, bukan rumah saya. Saya tidak akan mau memasak sendirian atau menentukan bahan-bahan dapur karena bukan hanya saya yang akan makan, melainkan kami. Segala sesuatu di luar tiga hal di atas, harus kami lakukan bersama."

Pemikiran yang cukup menarik dan sebenarnya telah banyak diterapkan oleh beberapa keluarga muda yang tidak terikat aturan patriarki.

Sayangnya, masih sangat sulit untuk menjalani rumah tangga seperti itu di negara kami yang cenderung menuhankan laki-laki.

"Saya ingin menemukan teman hidup yang bisa menghargai dan menghormati saya."

"Apakah kamu akan segera menikah?"

Telingaku menajam.

"Tidak. Saya masih ingin belajar tentang banyak hal, agar saya bisa menjadi guru yang baik untuk anak saya kelak, pun saya tidak hanya bungkam jika suatu hari nanti saya dan partner saya bertengkar hebat dan dia merasa di atas angin karena dunia ini hanya berpihak pada laki-laki."

draftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang