lowercase
cerita ini disponsori oleh kak makeuya606 ❤️💕 terima kasih kakk^^
***
matahari baru ngintip malu-malu dari balik rindang pepohonan saat hestia buru-buru bangun, ketiga temannya masih terlelap, efek semalam kecapean buat ngurusin acara perpisahan yang bakal berlangsung hari ini. andai saja ini bukan jadwal piket terakhirnya, dia pasti masih meringkuk memeluk nalini.
"bentar ya, gue cuci muka dulu," katanya pada mars yang nunggu di ruang tamu, cowok itu ngangguk kecil kembali fokus nata kertas yang berserakan.
"mars, yuk."
hestia nggak sempat ganti piyama bermotif beruang miliknya, hanya ditumpuk cardigan tipis untuk menghalau dingin yang nusuk kulit.
"hari ini mau masak apa?"
"belum tau. liat nanti deh di pasar ada apa."
jalan desa yang baru selesai dirabat beton kayaknya udah dihapal di luar kepala, di mana permukaannya yang nggak datar kadang bikin kaki sakit bakal ngebawa mereka ke ujung kampung, menemui hiruk pikuk manusia yang melakukan transaksi jual beli.
tiga bulan di sini, dengan malam-malam penuh canda dan ketegangan yang mengisi, mereka saling mengenal, berusaha memaklumi satu sama lain, menerima dan memahami bahwa tidak mudah menyatukan delapan kepala dengan isi berbeda.
"tau-tau udah hari terakhir aja ya." mars bergumam pelan, menendang kerikil kecil di tengah jalan yang basah oleh embun.
"iya, nggak nyangka banget betah di sini tanpa ambil free day."
hestia, jeno dan dery emang jadi tiga orang yang nggak pernah ngambil hari libur untuk kembali ke kota atau ke kampus. mars pernah di saat sakit, yara pernah saat keponakannya lahir, nalini dan yang lain pun pernah.
"kok betah?"
kekehan gadis itu terdengar lembut, "soalnya di kampus juga nggak tau mau ngapain. toh, balik juga paling cuma di kostan, semua temen masih pada kkn, keluarga di jambi semua."
"udah nggak di asrama ya lo ..."
"hahaha enggak mars, kan tiap lo jemput juga di kost."
"iya, lupa."
mereka berbelok ke arah pasar yang udah rame banget, hestia menarik napas dalam-dalam, kalo pulang nanti, dia akan sangat merindukan saat-saat seperti ini. bangun pagi untuk membeli bahan masakan, kemudian berebutan tempat dengan canda dan tawa yang mengisi. ah, belum apa-apa, dia udah mellow aja.
"mau makan apa ya kita?"
"agak fancy buat perpisahan kayaknya nggak apa-apa deh," mars menyahut, "rein ngasih uang berapa?"
"lumayan sih."
"yaudah, lo bisa masak apa?"
"apa aja?"
"how cool."
"b ajaaaa."
satu hal yang paling mars tidak suka dari hestia adalah gadis itu yang selalu menolak semua pujian yang diberikan untuknya. bagi hestia, apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa, di mana semua orang juga bisa melakukannya.
mars tau itu, tapi baginya, apa yang orang lain lakukan belum tentu sebaik hestia.
"jadi, sehabis lulus, lo ada planning apa, mars?" hestia berusaha mencairkan suasana karena dia tau betul kalo mars lagi sebel.
"belum tau. ambil s2 palingan."
"nggak masuk ke kantor bokap?"
"pengen merintis karir sendiri, makanya gue belok ke HI."
dirgantara construction bukanlah nama yang asing bagi semua penggiat bisnis, nama mereka nggak pernah turun dari deretan perusahaan dengan finansial paling stabil dan laju perkembangan yang pesat, harga sahamnya selalu berada di sepuluh besar tertinggi dan ayah mars untuk saat ini adalah pemegang kepemimpinan tertinggi di sana.
"masih pengen jadi diplomat ya?"
"hahaha masih inget aja lo."
"masihlah. pbb terbuka lebar buat mars dirgantara."
"amen! doanya ya."
"selalu."
hestia tersenyum kecil, membuat cowok itu ikut melengkungkan kurva serupa. berbicara dengan hestia selalu menyenangkan karena gadis itu punya banyak sekali bahasan yang bisa mereka diskusikan, wawasan yang luas dan pembawaan yang ceria membuat mars-sekali lagi-terjerat.
"jadi, hari ini, mau masak apa?"
"nasi gemuk aja kali ya?"
"kayak yang pernah lo masakin pas waktu itu nggak sih?"
"yep."
"boleeeh. itu enak banget."
hestia berjalan pelan ke arah ibu-ibu yang jual bumbu dapur yang cukup lengkap, mars mengekor di belakang, cukup dekat sampe hestia bisa mendengar deru napasnya di telinga.
"kenapa?"
tau-tau, jaket cowok itu udah melingkar di pinggangnya, "lo ... dapet?"
rona merah menjalar di pipi hestia, "bocor ya?" bisiknya lirih.
"nggak banyak dan nggak terlalu kentara kok. mau gue beliin pembalut?"
"nggak malu?"
kening cowok itu mengerut halus, "kenapa harus?"
"yaudah, makasih ya?"
"don't mention it."
hestia menarik napas pelan-pelan, kembali menetralkan degup jantungnya yang masih kaget dengan perlakuan mars barusan, gadis itu berjongkok, memilih sereh dan beberapa perlengkapan lainnya yang sekiranya dibutuhkan untuk memasak nanti sambil nunggu mars yang entah beli pembalut di mana.
***