Hope #3

661 112 5
                                    

Malam di kota mereka emang selalu gemerlap, Naia menggigit bibir, sedikit panik pas Jean nanya di mana rumahnya, cowok itu masih seramah yang Naia ingat, masih ngajak dia ngobrol seolah mereka adalah teman yang udah lama kenal.

"Di depan belok kiri, Je."

Jean udah tau kalo Naia tinggal di kawasan ini, tapi masih rada kagok pas dia membelokkan mobilnya dan ngeliat beberapa perempuan udah berdiri di pinggir jalan, mengibaskan sapu tangan berwarna merah.

"Jean, di sini aja."

"Eh?"

"Iya, rumah gue masih rada ke dalam ... di sini aja."

Jean menepikan HRV-nya ngebuat beberapa perempuan di sana ngetuk kaca jendela, tapi ngeliat Naia turun dari kursi penumpang sontak mereka mundur dan bubar.

"Makasih ya, Je."

"Iya, sama-sama. Ini beneran gue nggak usah anter sampe dalem?"

"Gue udah hapal kawasan ini sejak kecil, Je. Santai."

"Okayy."

Jean masih di sana saat sosok Naia udah berjalan cepat, melintasi trotoar dan menghilang dibalik lorong gelap yang ramai oleh dentuman musik.

Tapi, bukan Jean namanya kalo dia nggak punya seribu akal, mobilnya dinyalakan, berbelok ke salah satu perempuan yang tadi ikut mengetuk kaca mobilnya.

"Mbak?"

"Gimana mas?"

"Saya mau nanya tentang Naia boleh?"

"Oh ..." perempuan itu mundur beberapa langkah, "Maaf mas, kita nggak jual informasi."

Nggak nyerah gitu aja, Jean ngeluarin beberapa lembar uang dan nyodorin ke perempuan itu.

"Saya cuma punya beberapa pertanyaan."

"Nggak mas."

Hadeh. Kuat juga solidaritasnya.

"Satu juta, tiga puluh menit."

Perempuan itu tampak berpikir beberapa saat sebelum mengangguk setuju dan membuka pintu belakang mobil Jean.

"Jadi, mbak tau siapa nama mamanya Naia?"

"Terlalu personal, Mas. Yang lain."

"Naia tinggal di mana?"

"Lurus dari lorong tadi, rumah susun tiga tingkat, di lantai paling bawah ada club dan karoke."

"Oke sip. Naia udah lama di sini?"

"Dari kecil, dia lebih lama dari saya."

"Naia ... kerja gini juga?"

"Saya berani jamin, enggak. Ibunya bisa ngamuk."

"Naia tinggal berdua sama mamanya aja?"

Perempuan itu mengangguk kecil, "Mas ini ada perlu apa toh? Pacarnya Nai?"

"Oh bukan, saya teman kampusnya."

"Mas," panggilnya pelan, tangannya udah megang pintu mobil, bersiap untuk keluar, "Kalo masnya masih berpandangan negatif dan buruk pada kami, coba masnya buka mata sebentar, liat dari dua sisi. Selalu ada sebab akibat dan faktor yang membuat kami berakhir di sini. Terima kasih, mas."

Jean meneguk ludah, agaknya dia ketemu sama salah satu pekerja seks yang cukup berpendidikan. Matanya yang sipit kembali menatap jalanan di luar yang semakin malam semakin ramai, ngebuat dia yakin kalo nggak semua orang berjalan dijalur lurus.

Dia bahkan bisa ngeliat plat merah, mobil anggota dewan perwakilan rakyat.

Hah. Dunia ini emang gila.

draftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang