Naia berjingkat, melompati beberapa kubangan air yang menggenang, pakaian-pakaian dikeluarkan untuk dijemur di depan rumah, hujan yang turun sejak tadi subuh emang ngebuat cuaca jadi cukup mendung dan dingin tapi nggak lantas nyurutin niat untuk menjemur.
Sepatu kedsnya udah berubah warna jadi agak kecoklatan saat dia tiba di ujung gang, nungguin angkot untuk bisa ke kampus, map dipeluk di depan dada, menunggu dengan sabar seperti biasa, nggak jarang juga membalas sapaan tetangga yang baru pulang.
"Nai! Mau nebeng?"
Brio merah berhenti di depannya, Hanin nuruin kaca depan meminta Naia untuk mengisi ruang kosong di samping kursi supir.
"Makasih banyak, Nin!"
Mereka udah temenan—kalo bisa disebut temen—sejak SMA, Hanin adalah satu dari segelintir orang yang nggak memandang Naia sebelah mata atau mengolok-ngoloknya saat tau latar belakang gadis itu.
"Ada kuliah jam berapa, Nin?"
"Jam sepuluh nih. Lu?"
"Sama."
Naia adalah mahasiswa kedokteran yang udah menginjak semester tujuh sementara Hanin memilih ilmu komunikasi sebagai sekolah lanjutan.
Mobil yang gadis itu kemudikan berlalu, meninggalkan salah satu jalan yang paling terkenal di kota mereka, jalan yang katanya dipenuhi oleh wanita-wanita rendahan yang hanya dicari oleh mereka yang membutuhkan pelampiasan nafsu.
***
Ada banyak hal yang Naia bisa syukuri dari hidupnya.
Bisa tinggal walaupun di rumah yang pengap dan sempit, setidaknya menjauhkan dia dari sengatan panas atau dinginnya malam.
Bisa bersekolah sampai detik ini dengan beasiswa yang ditanggung oleh pemerintah.
Bisa makan dengan layak meskipun dia harus menelan pahit saat tau dari mana sumber uang untuk membeli makanan ini berasal.
Nggak ada yang perlu dikhawatirkan terlalu jauh, dia emang nggak punya banyak teman di kampus, apalagi sejak mereka tau bahwa dia tinggal di salah satu kawasan kumuh yang sering disebut sebagai surga dunia bagi para pria tapi neraka bagi wanita.
Tapi, Naia nggak ambil pusing. Ada atau tidak ada teman, baginya sama aja, nggak akan menjadikan dia tiba-tiba pindah tempat tinggal atau mengubah dari rahim siapa dia lahir.
Gadis itu selalu menghabiskan harinya dengan membaca buku yang menumpuk di perpustakaan, memperkaya diri dengan ilmu, berusaha mengubah takdir yang udah menjerat kakinya sejak lahir.
Sayangnya, dia nggak bisa terus menerus sendiri. Ada masa di mana dia harus mengerahkan seluruh skill sosialisasinya yang tersisa sekian persen untuk menjadi teman kelompok yang baik.
Dan hari inilah waktunya.
"Naia Sadira dan Jeandra Sembrani Nawasena."
Gadis itu menghembuskan napas paling panjang, berusaha untuk tidak menatap laki-laki yang juga teman kelasnya selama tujuh semester menuntut ilmu di fakultas ini.
"Baik pak."
"Saya tunggu selambat-lambatnya hari kamis depan. Sekian untuk hari ini. Terima kasih."
Naia tidak bergerak dari tempatnya, dia emang selalu gitu, datang paling awal dan keluar paling akhir, menghindari kerumunan juga keramaian.
Suara-suara berisik di sekitarnya udah bikin dia jengah, nggak jarang dia juga denger namanya disebut. Lagian, dia juga nggak pernah minta ke dosen untuk dipasangkan dengan Jean—ketua kelas mereka—semua keputusan ada di tangan Prof. Dhimas.
"Mau ngerjain kapan dan di mana?"
Suara bariton rendah itu membuatnya menengadah, menatap sosok pria yang berdiri menjulang, dengan wajah stoic nan dingin tanpa ekspresi.
"Dari lu aja, bisanya kapan dan di mana, gue ngikut."
"Nanti gue infoin."
Cowok itu berlalu dengan ransel hitam yang penuh, memeluk bahu Adrian buat keluar dari kelas. Naia mengembuskan napas panjang, nggak sadar kalo dari tadi dia dilanda gugup sampai ujung jemari kakinya mendingin.
***
"Nai, makan."
Sang ibu mengetuk pintu kamar, membuat gadis itu membuka headset yang dari tadi terpasang.
"Iya."
"Ibu ke bawah, jangan lupa kunci pintu dari dalam."
"Iya."
Dia melirik jam digital di nakas, pukul sebelas malam, lantai bawah rumahnya sudah ramai oleh musik yang terputar, buru-buru dia keluar kamar saat suara langkah ibunya udah nggak terdengar lagi.
Mengunci pintu yang menyambungkan lantai bawah dan atas sebelum para pelanggan ibunya yang mabuk menerobos masuk seperti tujuh tahun lalu saat dia berusia tiga belas tahun.
Meja makan selalu penuh oleh makanan, Naia tau dari mana ibunya mendapatkan uang untuk membeli ini semua tapi dia nggak punya pilihan selain menelan dengan terpaksa.
Sejak lahir, hanya figure ibulah yang dia kenal. Naia tidak pernah tau siapa ayahnya, tidak pernah tau di mana dia lahir, tidak pernah tau kapan tepatnya dia dilahirkan.
Akta kelahirannya tertulis nama kota ini sebagai tempat kelahiran, tanpa nama ayah sebagai pasangan ibu dengan tanggal tiga belas agustus sebagai ulang tahun.
Tapi, sependek ingatannya, mereka baru pindah ke kota ini saat dia masuk taman kanak-kanak, saat itu juga sang ibu baru menyadari pentingnya berkas administrasi pencatatan sipil agar dia bisa mengenyam bangku pendidikan.
Naia nggak pernah tau, dari sekian laki-laki yang pernah berhubungan dengan ibunya, siapakah yang punya kewajiban untuk memanggilnya anak?
***
"Papa kenapa masangin aku sama Naia?"
Jean menatap pria yang kata orang adalah copy cat-nya dengan alis terangkat, dia nggak marah kok, cuma rada penasaran aja sama alasan ayah yang juga dosennya ini.
"Pengen aja."
"Papa pengen aku nyari apa di Naia?"
Tawa Dhimas mengalun renyah, anaknya memang selalu kritis.
"Papa cuma penasaran, soalnya Naia termasuk yang berprestasi tapi nggak banyak data yang ditemukan tentang latar belakangnya."
"Papa tau desas-desusnya?"
"Yang dia anak pekerja sex?"
"Iya."
"Tau. Tapi, papa nggak mungkin ke sana, bisa-bisa pisau mamamu melayang."
"Jadi, papa mau aku ke sana."
Dhimas menghela napas panjang, menyatukan ke sepuluh jemarinya di atas meja, natap anak bungsunya yang makin hari makin mengambil wajahnya.
"Gini, Je, papa nggak ada maksud apa-apa selain ingin melindungi. Naia termasuk mahasiswa yang sangat pintar, sayang kalo yayasan nyabut beasiswanya karena latar belakang yang katanya bisa mencoreng nama baik kampus," katanya menjelaskan dengan panjang lebar agar anaknya ini paham.
"Maksudnya, yayasan udah tau gitu kalo Naia, aduh aku nggak enak nyebutnya, anak itu?"
Papanya mengangguk pelan, "Tadi ada rapat yayasan dan salah satu urgensi yang dibahas adalah anak-anak penerima beasiswa."
Jean berdecak, nyenderin punggungnya ke sandaran sofa, kedua tangannya bersedekap di depan dada.
"Aku aman nggak?"
"Aman, papa jaminannya."
"Oke."
Cowok itu akhirnya mengalah, lagian rasa penasaran juga udah menguasai sejak pertama kenal Naia.
Gadis itu sangat cantik, putih, tinggi, dengan senyum yang teduh. Jika saja, dia berasal dari kalangan menengah ke atas atau tidak dari lingkungan sehitam itu, Jean berani menjamin kalo laki-laki akan mengantri di belakangnya.
***
[Your Saturn, 2022]