Setelah setengah tahun tinggal bersama Om-nya dengan berbagai alasan yang Ishak buat sendiri untuk menghindari 'Ayah' dan dua Kakaknya. Sepertinya Om Aji merasa lelah melihat keponakannya yang terlihat terus menghindari Ayahnya, padahal niat pria itu adalah mendekatkan Ishak pada orang tua kandungnya. Bukannya Aji tidak suka merawat Ishak, dia hanya ingin membalas apa yang selama ini Ayah Ishak tinggalkan, membuat Kakaknya menderita selama 15 tahun dan seorang remaja laki-laki yang tampak polos dan butuh kasih sayang selain Ibunya. Ishak memang bukan anak yang banyak menuntut, namun Aji tahu bahwa ada kalanya remaja itu menginginkan sosok Ayah di sampingnya.
Membuat Aji nekat menghubungi Theo setelah 15 tahun hilang dari kehidupan pria itu untuk menjaga hubungan Theo dan istri sahnya. Dia tahu bahwa hubungan pria itu dengan Kakaknya adalah kesalahan yang disertai nafsu, tetapi Ishak tidak pantas menjadi kambing hitamnya.
Remaja itu hanyalah bocah laki-laki polos yang bahkan tidak tahu mengapa dia harus merasa bersalah. Terlebih Aji tahu bahwa salah satu dari anak Theo membeci Ishak lebih dari apapun. Aji telah menduganya dari bagaimana wajah keponakannya itu yang selalu memasang senyum terpaksa setiap pulang sekolah padahal di sana dia merasa asing dan ketakutan.
"Sak," Aji menatap keponakannya dengan tatapan selembut rembulan, mengusap surai hitam yang ikal dari remaja berusia 15 tahun itu dengan senyum kecil. "Kamu harus tinggal sama Ayah kamu. Gimana pun rasanya, kamu berhak buat kenal dia. Dia Ayah kamu, Ishak."
Ishak menggeleng. "Aku gak punya Ayah, Om," rajuknya, memasang wajah sedih. "Aku gak enak sama Kak Jih dan Kak Her, mereka pasti aneh kalo tiba-tiba punya Adik. Umurnya beda 1 tahun doang lagi," jawab remaja itu dengan sedih. "Om, aku tetap tinggal di rumah ini, ya? Gapapa ngontrak, kecil, sempit, yang penting nyaman. Aku gak pengin jauh dari Om..."
Aji juga sebetulnya tidak ingin jauh dari keponakannya, tapi dia harus melepas Ishak pada wali sesungguhnya. Ishak berhak mendapatkan kasih sayang Ayahnya dan fasilitas pendidikan yang lebih layak daripada mengandalkan dirinya yang hanya menjadi karyawan swasta yang gajinya sebatas UMR.
"Kamu tetap bisa main sama Om, kok."
"Tapi—"
"Sak," pria itu mengusap rahang keponakannya, menatap remaja bermata kecil itu dengan tatapan hangat dan senyum lebar. "Kamu harus berani, ya? Ishak, kan, bukan anak kecil lagi. Bisa, kan?"
Meskipun sejujurnya Ishak tidak bisa, tetapi ketika Aji menyebutnya bukan anak kecil, remaja berumur 15 tahun itu akhirnya mengangguk. "Bisa, inshaAllah."
"Good," Aji mengacak rambut Ishak gemas, lantas kembali mengemasi beberapa pakaian remaja itu dan menyisakan sedikit di rumahnya untuk keperluan Ishak jika ingin menginap beberapa hari di rumah sewanya ini. "Bentar lagi Ayah kamu jemput, katanya Jihan ikut. Kamu siap-siap, ya—"
"Assalamualaikum!"
Pria itu mengerjap cepat, kemudian menatap keponakannya dengan senyum tipis. "Eh, udah datang, Sak. Kamu keluar, gih. Nanti tas besarnya Om yang bawain," suruhnya pada Ishak yang langsung berdiri, mengangguk pelan lalu keluar dengan menenteng ransel sekolah yang berisi buku dan alat tulisnya. Baju-bajunya ada di tas besar yang masih dirapihkan Om Aji, sehingga Ishak langsung keluar setelah mengenakan sepatunya serta menarik jaket hijau tua dari kakstop sebelum menatap perempuan dengan bola mata menukik tajam, namun bibirnya tersenyum lebar.
"Ishak!" Jihan tampak gemas mengacak rambut bocah itu. "Om Ajinya mana? Masih siapin barang kamu?"
Remaja itu mengangguk kaku, tersenyum tipis pada Jihan lalu Ayahnya yang berdiri di samping pintu penumpang yang terbuka. Menunggu Ishak naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Know It's Hurt
Teen FictionBrothership series 3# Hyunjeong ft Yeji Ketika Ibu meninggal, Ishak pikir dunianya telah berakhir. Tetapi kemudian Paman membawanya pada satu rumah asing, dan mempertemukannya dengan pria yang disebut sebagai Ayahnya yang dulu Ibu mengatakan bahwa A...