Keadaan rumah pagi itu cukup tenang untuk ukuran rumah yang diisi oleh tiga remaja SMA dan satu pria paro baya. Selepas membeli bubur yang baru saja lewat di depan rumah, Jihan meletakkan di atas meja dan memanggil Ayahnya yang masih di dalam kamar. Tidak lupa meneriaki nama dua saudara laki-lakinya dan yang pertama turun adalah Heri, suadara kembar yang lahir hanya beda 5 menit darinya.
"Makan dulu buburnya," komentar Jihan saat Heri baru saja sampai di lantai dasar.
Lelaki itu mendengkus. "Iya, astaga. Bawel bener lu kayak Emak, emak. Cocok nih dinikahin abis lulus."
"Bacot," perempuan itu tidak menggubris ledekan kembarannya dengan berjalan ke arah meja makan. Heri mendekat bersama Ayah yang sedang mengatur dasi kantornya dan satu tangan memegang tas kerja.
Pria itu duduk dan menerima mangkuk berisi bubur ayam yang telah dipesankan si anak tengah. Dia tersenyum kecil. "Eh, Ishak mana?"
"Masih molor kali," sahut Heri acuh, mulai makan sebelum kakinya merasakan tendangan kecil dari Jihan yang duduk di sampingnya. "Apa?" dia malah menantang Adik kembarnya itu.
Membuat Jihan kali ini mendengkus. "Ishak paling masih siap, siap."
Setelah mengatakan itu, satu menit kemudian remaja berumur 16 tahun itu datang dan duduk di hadapan Jihan. Menerima bubur ayam khusus untuk lelaki itu. Bubur tanpa daun bawang dengan suwir ayam yang banyak, tidak lupa dengan dua sate usus.
"Makasih, Kak Ji."
"Sama, sama."
Ayah melirik si bungsu, alisnya berkerut. "Rambut kamu ... kenapa? Tumben gak disisir," pria itu setengah heran melihat perawakan Ishak pagi ini yang aneh. Rambut acak-acakan, seragam tidak berdasi, dan raut wajah sedikit tengil.
Ishak baru saja tersenyum, lantas suara Rinai yang jelas membuatnya ingat salah satu langkah yang diberikan cewek itu.
Bersikap bandel dan tidak sopan.
Jadi cowok itu segera merubah raut wajah sopanya menjadi sengak. "Pengin aja," balasnya setengah jutek.
Jihan melotot, begitu pula Heri yang sejak tadi bahkan tidak menggubris kehadiran Adik laki-lakinya itu. Padahal biasanya Ishak akan menjawab perkataan Ayah mereka dengan tutur krama yang baik. Cowok itu akan tampil rapi di pagi hari bersama rambut hitam legamnya yang disisir klimis. Begitu pula seragam yang tidak acak-acakan seperti sekarang.
Namun Ayah sepertinya tidak tersinggung, beliau malah tertawa. "Kamu lagi puber, ya?"
"Puber apaan," ejek Heri merasa jengah. Dia telah menyelesaikan sarapannya dan mengenakan ransel. "Aku berangkat dulu, assalamualaikum!" cowok itu berdiri, melewati Jihan dan Ishak serta meninggalkan Ayahnya yang termenung.
Jihan adalah yang kedua setelah mendapat pesan masuk dari Samudera yang mengabarkan kalau cowok itu sudah di depan rumahnya. Maka sekarang tersisa Ayah dan Ishak yang selalu berangkat bersama.
"Ayo, Sak," Ayah berjalan lebih dulu setelah Ishak menyelesaikan sarapannya dan mengenakan ransel.
Remaja itu mengikuti, masuk ke dalam mobil, lantas menghentikan gerakan tangan Ayah yang sedang menyetir di tengah kemacetan Ibukota.
"Apa?"
Ishak tersenyum tipis. "Aku kayaknya butuh motor. Dulu, Ayah nawarin motor ke aku, kan?"
Pria paro baya itu tertegun, sebelum dia tertawa kecil. "Oke, mau motor apa? Ayah bisa beliin yang mana aja buat kamu, kok."
"Motor kayak Bang Her."
"Eh?"
Cowok itu kembali menekankan. "Aku mau motor kayak Bang Her, Yah. Aku ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Know It's Hurt
Novela JuvenilBrothership series 3# Hyunjeong ft Yeji Ketika Ibu meninggal, Ishak pikir dunianya telah berakhir. Tetapi kemudian Paman membawanya pada satu rumah asing, dan mempertemukannya dengan pria yang disebut sebagai Ayahnya yang dulu Ibu mengatakan bahwa A...