14. Perkara Ban Motor Bocor

71 13 3
                                    

Mungkin Ishak dapat menipu dunia bahwa dirinya baik-baik saja tinggal di rumah Tirtayasa selama 1 tahun terakhir sambil mencoba untuk mengambil hati Heri agar dapat menerimanya sebagai Adik. Karena ketika lelaki itu sendirian, melewati lorong sekolah yang kosong, lantas bertemu dengan motornya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa bertahan lebih jauh untuk saat ini, sore ini, di parkiran motor sekolah yang sepi dan hanya menyisakan beberapa motor anggota ekskul Publikasi.

"Sak, duluan!" Ilham muncul setelah cowok itu tadi pamit ke kamar mandi lebih dulu, menyuruh Ishak sendirian ke parkiran. Saat cowok itu sedang menyalakan mesin motornya, ia melirik Ishak lagi yang masih diam di samping ninja berwarna hijau tersebut. "Sak, lo kagak—taik!" sahabatnya itu mengumpat saat menemukan ban motor Ishak bocor lagi—terhitung ini sudah kelima kalinya dia membantu Ishak mendorong motor ke arah tambal ban yang memakan jarak setengah kilometer dari sekolah.

Ishak nyengir. "Gue sendiri aja, Ham. Lo bukannya harus jemput Adek? Dia minta dijemput di rumah temennya, kan?" dia mengingatkan Ishak pada Adiknya yang katanya sedang main di rumah teman barunya—seorang siswi baru SMA Bela Negara.

Cowok itu menepuk jidat, dia hampir lupa soal itu. "Sak, sori ya. Lo beneran gak apa nih gue tinggal?"

Lelaki bermata kecil, melengkung seperti mata rubah itu mengangguk. "Santai, gue kuat," Ishak menunjukkan otot lengannya yang bahkan tidak seberapa untuk Ilham. Membuat sahabatnya itu lantas menjalankan motornya keluar meninggalkan parkiran juga Ishak yang kali ini benar-benar sendirian.

Mungkin memang benar bahwa sekuat apapun kita bertahan, segala pertahanan itu akan hancur. Cowok itu mendorong motornya keluar dari parkiran yang mulai kosong dan ditinggalkan para anggota ekskul publikasi. Beberapa dari mereka ada yang pamitan dengan Ishak, Kak Candra bahkan hampir turun dari motornya demi membantu si Adik kelas tapi Ishak menolaknya dengan sopan.

Entah sudah berapa meter dia mendorong motornya dengan sekuat tenaga, matanya mulai menangkap kafe dekat sekolah yang semakin ramai di saat langit sore mulai keunguan. Cowok itu tersenyum tipis. Cukup bodoh jika dia berharap menemukan salah satu Kakaknya berada di sana. Meskipun dia bertemu Jihan. Rasanya Ishak gak akan tega melihat Kak Jiji ikut mendorong motor. Kalaupun dia bertemu Heri, rasanya sangat tidak mungkin melihat Abangnya rela membantunya mendorong motor sampai tukang tambal ban.

Maka cowok itu mempercepat langkahnya sampai suara seorang perempuan membuatnya menoleh cepat.

"Tuh, kan, Her. Beneran Ishak!" seru Erina sambil memukul cowok di sampingnya dengan kuat dan setengah geregetan. "Kamu ini, Adik sendiri masa gak ngenalin," ejeknya.

Heri tersenyum tipis pada gadis itu, sebelum bola matanya berubah tajam demi menatap Ishak yang seperti rubah kecil menyedihkan. "Lo emang gak bisa hati, hati, ya? Udah lima kali denger ban motor lo bocor," kata cowok itu sambil memeriksa ban depan dari motor Ishak yang bocor.

Erina ikutan mengintip sebelum mengela napas pendek. "Ada yang jahatin kamu, Sak?"

Cowok berumur 16 tahun itu menggeleng cepat. "Eh, nggak, Kak. Semua temen Ishak baik, kok!" setidaknya Ilham, Bobi, Henderi, Rinai, dan teman-teman ekskul Publikasi beneran tulus padanya. Selebihnya, cowok itu tidak tahu.

Felix muncul dari belakang dengan ponsel yang masih tersambung.

"Iya, Pak. Di depan kafenya, ya. Ditunggu," ia melihat Ishak sambil tersenyum kecil. "Tinggal di sini aja, Sak. Nanti ada tukang bengkel ngangkut motor lo, paling telat besok pagi udah ada di rumah," kata cowok itu. Menjawab raut wajah penuh tanya Ishak mengenai telepon yang tadi tersambung.

I Know It's HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang