2. Saudara Bukan Saudara

120 18 1
                                    

Pagi itu rumah benar-benar sedang hening. Kak Jihan kalau Ishak tidak salah dengar, sedang menginap di rumah temannya yang bernama Lia, sedangkan Kak Heri semalam juga menginap tiba-tiba di rumah Mas Sam. Sehingga di Sabtu pagi rumah pun menjadi hening. Ayah mungkin selesai salat di mushola dekat rumah mereka telah masuk ke dalam kamarnya, kembali istirahat. Sehingga Ishak yang pagi itu berniat untuk pergi bersama ketiga temannya itu pun keluar dan melihat meja makan yang hanya menyisakan satu sterofoam berisi bubur ayam.

Ishak tersenyum tipis, menarik kursi lantas duduk dan membuka sterofoam itu. Mulai menyantap sarapannya dalam diam, sesekali berbalas pesan dengan Ilham ataupun Bobi. Ia melirik, mempercepat makannya dan melirik sekilas saat langkah kaki mendekat sembari dirinya melirik jam tangannya.

Pukul setengah 8 lewat 7 menit, Kak Heri pulang dimana pria itu mendatangi kulkas, melewati Ishak yang duduk di kursi makan. Dia tidak menyapa, tapi Ishak tahu bagaimana tajamnya tatapan pria itu padanya. Membuat Ishak menahan napas saat Heri sudah meninggalkan dapur, mengela napas lega namun bibirnya langsung mengatup saat Kakak laki-lakinya itu berkata.

"Kalo pergi, tutup pagernya yang bener. Jangan lupa kunci lagi. Rumah kita di pinggir jalan raya," ucap pria itu yang terkesan dingin.

Ishak mengangguk kaku. "I-iya, Kak."

Lantas Kakaknya itu benar-benar berjalan pergi meninggalkan dirinya yang langsung buru-buru membereskan bekas makannya. Menghancurkan sterofoam, mematahkan sendok plastiknya, lalu dimasukkan ke dalam tempat sampah sebelum keluar dengan tak lupa mengambil kunci motor milik Jihan—dia memang belum berkeinginan punya motor sendiri. Dia melirik sekali lagi ke arah tangga, mengulum senyum dan mengucapkan salam meskipun tau tidak ada yang akan menjawab salam pamitnya—karena Jihan yang tidak ada serta Ayah yang masih tertidur pulas sehabis subuhan.

Dengan jalanan Jakarta yang tidak begitu padat di Sabtu pagi, cowok itu dapat memberhentikan motor Jihan di lapangan parkir taman dimana ada Ilham yang memanggilnya, berjarak tiga motor dari tempat dia parkir, lantas dia mendekat. Tampaknya Ilham juga baru hadir, karena Ishak dapat melihat dengan jelas cowok itu yang baru melepas kunci motornya. Dia merangkul Ishak, bertanya.

"Lo abis makan bubur, ya?"

Ditanya seperti itu, Ishak jadi menjauh dengan wajah berubah cemas. "Kok lo tau?"

"Ck, di pipi lo ada bekas daun bawang!" ledek Ilham, lalu tertawa saat Bobi mendatangi sembari memeluk skateboardnya sedangkan Hendri menyusul sembari makan cilok.

"Apaan daun bawang?" Bobi pun bertanya bingung.

"Itu, Ishak kayak bocah SD. Makannya berantakan, Bob."

"Loh, Sak. Lo makan daun bawang?" Hendri sudah berada di dekat mereka, mengelap pinggiran bibirnya yang terkena saus cilok.

Ishak melotot. "Bukan, Dri. Gue makan bubur!" ia mengomel, lalu berjalan meninggalkan tiga temannya yang saling bertukar pandangan seraya tertawa ringan. Mengikuti langkah Ishak yang pelan ke area skateboard yang sudah ramai oleh para pemain papan beroda itu, mengikuti bentuk arena yang naik dan turun mengikuti lengkungan arena skate tersebut, dan Bobi sudah bergabung bersama dengan Ilham.

Ishak sendiri mengeluarkan kameranya, mulai memotret tiap Gerakan Bobi ataupun Ilham, sedangkan Hendri sudah melupakan ciloknya dan beralih dengan es cendol yang dia beli. Cowok ini emang doyan banget makan, makanya badannya juga yang paling bongsor di antara temannya yang lain.

"Lo tadi izin mainnya gimana, Sak?" Hendri bertanya, habis sudah es cendolnya dan Ishak selesai mengambil beberapa foto untuk keperluan majalah sekolah—cowok itu memang bergabung dalam klub majalah bersama Ilham dan ide menampilkan artikel mengenai skate merupakan usulan dari Ilham yang sekarang jatuh lantas tertawa bersama Bobi di depan sana.

I Know It's HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang