23. Hari yang Kacau

61 13 2
                                    

Kegiatan kencan yang menyenangkan itu hampir berakhir kala Januhari mendengar panggilan ringan seorang cowok. Ternyata Eri, teman akrabnya semasa SMP 10 dulu. Cowok itu sedang bermain dengan tiga temannya sewaktu Heri tidak sengaja bertemu di salah satu restoran Jepang bareng Erina—gadis itu lagi ingi sushi dan ramen, katanya.'

"Gila, gila. Gue denger lo bakal kuliah di kampus A," kata Eri setelah mereka berjabat tangan ala cowok—entah, Erina tidak mengerti jabat tangan dengan gerakan saling memukul lalu dua kepalan yang menyatu itu. Dia tidak mengerti cowok dan segala tabiatnya.

Heri tersenyum. "Doain aja."

Sedangkan Eri tertawa. Nama mereka cukup mirip dan keduanya sering dikira kembar hanya karena sama-sama punya bibir tebal. Padahal kalau dilihat, Eri itu matanya lebar banget. Tidak seperti Januhari yang kalau tertawa tau-tau matanya hilang.

"Eh, Adek lo belum jomblo lagi?"

"Makusd lo?!"

"Yah, Her. Gue masih demen sama Jihan."

Heri tertawa, benar-benar menertawakan temannya itu dengan perasaan yang terus dipendam sampai akhirnya Jihan direbut sahabat Heri. Siapa lagi si kesayangan Abangnya, Samudera.

"Move on, goblok."

Eri mendengkus. "Sulit, sumpah. Instastorynya nongol terus, mana isinya sering bareng pacarnya."

"Ya, namanya juga masih bucin."

"Kapan ya kelarnya fase bucin tuh?"

Januhari melotot. "Lo doain Adek gue putus? No! Lagian gue udah bayangin punya Adik Ipar kayak Samudera, lebih baik daripada lo yang nilainya aja jeblok. Kasian keponakan gue nanti bego."

"Heh, kepintaran itu datengnya dari Ibu, nyet!" Eri membalas dengan dongkol.

Tampaknya obrolan itu masih berlanjut karena sekarang mereka sudah duduk di area kursi yang sama. Erina terlihat nyaman sekali melihat Heri yang mengobrol sambil bercanda bareng teman lamanya. Sudah lama mereka menikmati kencan yang tenang seperti ini, dimana Heri tidak akan mengacaukan hari mereka cuman karena hal yang tidak perlu ditakuti.

"Bang Heri—"

Ucapan Ishak terpotong saat menemukan tiga laki-laki asing di hadapan Abang dan Kak Erina. Cowok itu mengatupkan bibirnya cepat. Harusnya dia tidak menuruti Bang Jaka buat menyapa Bang Her siang ini.

"Sak, gimana? Abang kamu mau gabung—"

Bugh!

"GUE UDAH BILANG JANGAN MUNCUL DEPAN GUE, BANGSAT!"

Ishak terdorong hingga menabrak meja, sedangkan di belakangnya ada Bang Jaka sekaligus Rinai yang datang menghampiri cowok itu.

Namun Ishak juga sudah lelah. Dia sudah lelah menahan diri.

Ayah juga sudah bilang bahwa cukup sampai sini saja Ishak menahan dirinya. Dia sudah tidak memerlukan itu lagi.

"GUE JUGA GAK MAU KETEMU LO!"

Bugh!

Kali ini pertama kalinya Heri merasakan pukulan keras ke rahangnya dari seorang cowok yang bahkan waktu pertama kali datang saja, langsung takut saat bersitatap dengannya. Kemana perginya Ishak yang selalu diam saat disakiti?

"Lo berani?!"

"Masih mikir gue takut sama lo, Bang?! Ishak yang kayak gitu udah pergi! Ini gue yang sebenarnya," Ishak kembali menantang, di belakangnya Jaka berusaha menahan cowok itu tapi Ishak berontak dan tidak mau kalah di depan Bang Heri lagi.

I Know It's HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang