25. Hari yang Canggung

72 10 0
                                    

Perdebatan sore menjelang magrib itu ditutup oleh pelukan haru dan tangis yang membuat mata mereka memerah hingga bengkak. Karena hal itu pula, esoknya anggota keluarga Tirtayasa tampak canggung sampai-sampai Jihan cegukan sewaktu mereka makan bersama di ruang makan bersama nasi goreng yang terasa hambar—Jihan sepertinya cukup eror pagi itu sewaktu buat sarapan.

Heri menjadi orang pertama yang meninggalkan rumah, dilanjut oleh Ayah dan terakhir adalah Jihan bersama Ishak yang menunggu Kakaknya selesai meletakkan piring di wastafel yang akan dibersihkan oleh asisten rumah tangga mereka. Biasanya Bu Sukma baru datang saat Ayah berangkat, namun sekarang malah Jihan yang menyambut wanita itu.

"Ayah kalian tumben berangkat pagi," kata wanita itu waktu Jihan dan Ishak yang menyambut kedatangannya—ditambah Samudera yang turut hadir pagi ini, karena dia mau jemput sang kekasih buat pergi ke sekolah bersama.

Jihan tersenyum tanggung. "Ada urusan penting di kedinasan, Bu."

"Oalah. Iya, iya. Kalian hati, hati, ya," kata Bu Sukma terakhir kalinya sambil melepas dua orang itu pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Ishak mengendarai motornya dengan pelan dan pikirannya yang penuh. Dia bahkan tidak berani menatap mata sang Ayah selama sarapan, atau setidaknya melirik Bang Her yang buru-buru berangkat padahal baru makan dua suap nasi goreng hambar buatan Jihan. Cowok itu mengela napas beberapa kali selama motornya terpaksa tersendat akibat lampu merah, lalu akhirnya sampai tepat saat Ilham yang tumben datang siang di hari Senin.

"Muka lo, Sak," Ilham terkekeh melihat wajah Ishak yang tampak kusam—mungkin karena pikirannya yang penuh, bikin wajahnya malah buruk alih-alih bersih di pagi hari dan dia jelas sudah mandi.

Ishak meliriknya. "Mata gue aneh?"

"Lo abis nonton apa?" Ilham sepertinya terlalu positif atau dia mencoba untuk bergurau. Padahal normalnya, hal pertama yang patut dipertanyakan adalah;

"Kenapa lo nangis?

Bukan.

"Lo abis nonton apa?"

Duh, sumpah. Erang Ishak dalam hati sebelum menjawab. "Semalam chaos banget."

"Filmnya?"

Ishak beneran jengkel sekarang. "Keluarga gue."

Sedangkan sahabatnya itu mengatupkan bibir, dia tahu. Jelas lah. Ishak yang buruk, Ishak yang sedih, aneh, atau apapun. Pasti ada hubungan konflik dengan keluarganya—paling sering sih, sama Abangnya sendiri.

"Kenapa lagi?" cowok itu menatap Ishak dengan dalam dan khawatir. Sahabatnya satu ini seperti anak kecil yang sangat polos di luar meskipun begitu kuat di dalam. Dia mungkin dipandang sebagai cowok lemah, padahal kemarahannya bahkan bisa melumpuhkan senior mereka waktu itu sampai pingsan setelah adu pukul dengan Ishak.

Siapa yang kaget? Semuanya. Bahkan Bobi malah tepuk tangan, bukannya menahan Ishak biar tidak lepas kendali. Bener-bener deh hari itu.

Mereka masuk ke dalam kelas selagi Ishak menjawab pertanyaan Ilham. "Ceritanya ... panjang."

"Apanya panjang?" Bobi muncul bersama Hendri yang ikutan menyembulkan kepala dari belakang Bobi. Menatap dua sahabatnya itu penasaran.

"Burung?"

"WOI!"

"Loh, kan, emang burung kakak tua punya Pak Satpam badannya panjang," cowok itu menjelaskan dengan polos. "Eh, lo pada lagi bicarain apa, sih?"

I Know It's HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang