11. Keluarga yang Hampir Hancur

73 12 1
                                    

Pagi itu keluarga Tirtayasa tampak kaku untuk pertama kalinya sejak pertama kali hubungan itu kaku karena awal kehadiran Ishak. Si bungsu kembali terakhir yang turun dan Januhari buru-buru pergi ketika Ishak baru saja duduk. Jihan juga demikian. Gadis itu langsung pamit pada Ayah dan Ishak. Meninggalkan remaja berusia 16 tahun itu dalam diam bersama nasi uduk yang sudah tidak lagi hangat di piring.

Ayah melirik anaknya, tersenyum. "Motor kamu nanti sore dateng, Sak. Kayak punya Bang Her, kan?" pria itu bertanya dengan nada ramahnya. Nada yang bahkan tidak membuat Ishak bahagia.

Lelaki itu rasanya ingin menangis dan berteriak.

Kenapa pula dia harus ada dalam perut Ibunya?

"Hm," balasannya agak dingin dan nasi uduk di dalam piring hanya berhasil dia makan dikit. "Aku berangkat naik angkutan umum hari ini. Assalamualaikum, Yah."

Ayah menatap si bungsu dengan tersenyum. "Waalaikumsalam."

"Oh, iya," Ishak menghentikan langkahnya, membuat Ayah yang sedang melanjutkan sarapan itu pun berhenti sejenak. Melirik anaknya lagi. "Nanti, aku mau nginep di rumah Om Aji selama beberapa hari. Gak apa, kan?"

Ayah tersenyum, mengangguk. "Iyaa, senyamannya kamu."

"Lebih nyaman aku gak di rumah ini," gumaman Ishak yang pelan seakan tidak mampu untuk tidak didengar oleh Ayahnya. Membuat pria paro baya itu kini mengela napas panjang. Mengingat kembali beberapa bait ingatan yang tidak pernah lepas dalam otaknya.

Sekitar 10 tahun lalu, ketika rumah ini akan melakukan renovasi panjang. Hari dimana pertama kalinya dia bertengkar hebat dengan istrinya.

"Tiga? Kamu mau buat kamar di lantai dua jadi tiga? Anak kita cuma dua!"

Pria itu mengusap keningnya, dia tahu akan seperti ini. Tapi cepat atau lambat, kedua anak kembarnya akan tahu bahwa ada seorang Adik laki-laki yang tinggal jauh dari mereka.

"Bu, aku tahu kamu benci wanita itu dan aku. Benci saja aku dan wanita itu, tapi tidak dengan anaknya, Bu. Dia ... dia pasti akan tinggal di sini suatu saat nanti—"

Plak!

Wanita itu menatap suaminya dengan benci. "Kamu beneran ingin lihat aku mati, Mas?" dia menunjukkan sebilah pisau yang berada di dekatnya. Menatap suaminya dengan tajam. "Kalau kamu sekali lagi sebut anak itu, aku bakal potong tanganku!"

"Ibu!"

Teriakan seorang anak laki-laki membuat dua orang itu menoleh dan mendapati si sulung yang sudah menangis tersedu-sedu dengan seragam berantakan. Dia memeluk Ibunya dengan erat sambil berkata untuk wanita itu jangan pergi. Sedangkan si pria dewasa hanya bisa mengalihkan pandangannya.

"Aku tetap akan buat tiga kamar, Bu."

Wanita itu tersenyum miris, melirik suaminya sebelum menatap Heri yang mendongak dengan wajah kebingungan.

"Heri ... mau ikut Ibu?"

Pria itu tersadar, lantas menangis dalam rumah yang senyap dan bayangan yang ingin dia lupakan.

***

"Sepet, sepet, ikan sepet."

Ocehan Zidan di pagi hari tidak mampu membuat Januhari tersenyum. Hari itu tidak ada pelajaran jam pertama, tapi ada tugas kelompok dimana Heri sudah balik arah dengan Samudera untuk membentuk kelompok bareng Felix dan Zidan. Ketiga temannya itu sejak tadi hanya melihat Heri yang tampak dingin sejak kehadirannya di pagi hari. Apalagi Samudera yang menjemput Jihan pagi tadi saja, melihat dua saudara yang kadang suka saling meledek itu tau-tau acuh.

I Know It's HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang