Episode 7

542 37 0
                                    


"Assalamualaiku." Syehan Tanvir Mizan masuk ke dalam rumah neneknya, kosong tidak ada orang dan rumah itu selalu dibuka setengah. Dia merasa heran dengan rumah sederhana itu.

"Kemana nenek dan kakek pergi? Pintu rumah di buka tapi orangnya tidak ada," katanya sambil melanglahkan kaki masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan sebagai tempat tinggalnya.

"Tidak ada AC dan kemewahan di rumah ini, tapi tidak masalah. Bukankah kita harus selalu bersukur dengan apapun pemberian Allah." Pria itu melatakkan tas di atas meja, tak lama kemudian ia mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam rumah.

"Ghifari, aku akan membuatkan makanan yang enak untuk Tanvir. Fira bilang, dia paling suka makan ikan pedas." Seorang Wanita 65 tahun menjinjing sebuah daging ayam yang sudah dibersihkan.

"Iya, aku mengerti. Tapi kamu jangan terlalu lelah, Tanvir itu kan biasa hidup mewah. Kenapa Fira tidak menyuruh pembantu saja untuk membuatkan makanan, kenapa harus kamu?" Ghifari heran terhadap putri pertamanya tersebut, ketika suaminya mengusulkan memakai jasa pembantu malah dilarang.

"Tidak apa, Fira bukan tidak ingin. Dia hanya takut kalau anaknya tidak makan dengan baik, itu saja," balas wanita itu yang bernama Yasmin.

Cklek…

Tanvir membuka pintu, bibirnya tersenyum melihat nenek dan kakeknya sudah pulang."Kakek, Nenek. Sini, biar aku saja yang masak." Dia mengambil daging ayah dari tangan Yasmin lalu segera dibawanya ke dapur.

Ghifari dan Yasmin tersenyum melihat betapa baik dan berbaktinya cucunya itu,"Lihatlah cucu kedua kita, dia begitu sangat perhatian dan sopan," kata Yasmin bangga serta terharu.

"Apakah kamu lupa kalau Tanvir itu di didik oleh seorang yang sangat perhatian seperti Fira dan sopan seperti menantu kita, kamu lupa kalau dia adalah orang yang sangat alaihim," balas Ghifari juga tersenyum penuh haru.

"Nek, aku sudah meminta teman ku untuk membuatkan makanan untuk kita," kata Tanvir dari dapur, ia mulai memotong daging ayam tersebut hingga sesuai ukuran yang pas.
Yasmin berjalan menghampiri cucunya yang sedang membuat makanan."Tanvir, apakah sekarang kamu sudah memiliki seorang kekasih?" tanyanya menggoda.

"Bukan, Nek. Dia hanya teman sekelas, kalau orang yang ku sukai itu … tentu saja ada. Namanya Faeyza Farzan, tapi sepertinya dia menyukai kak Zein, katanya mereka bertemu dalam mimpi," balas Tanvir sedikit kecewa.

Yasmin merasa cerita cucunya ini sangat tidak masuk akal, seseorang bertemu dalam mimpi dan saling menyukai."Nak, apakah itu bisa terjadi? Apakah bukan karena yang dimimpikan itu adalah dirimu? Bukankah kalian sangat mirip? Dari mana dia tahu kalau orang yang ada dalam mimpinya itu adalah Zein, bukankah kakak mu sudah lama menghilang dan dikabarkan telah meninggal?"

"Nenek benar, tapi … sudalah, aku akan berusaha untuk mendapatkan cinta gadis itu. Manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukannya." Tanvir mulai membersikan potongan daging ayam.

"Benar, jika kamu memang menyukai gadis itu. Kamu berusaha saja untuk mendappatkan cintanya, kamu adalah seorang pria yang baik. Nenek yakin dia pun akan menyukaimu." Yasmin memberi semangat pada cucu keduanya tersebut.  

Tanvir menoleh sejenak, kemudian tersenyum  lalu kembali melakukan pekerjaannya, tidak akan ada orang yang menyangka kalau pria rupawan itu adalah seorang miliader.

##

Faeyza masih tidak percaya kalau  dirinya bertemu dengan orang yang memiliki wajah sama tetapi memiliki karakter berbeda, kalau bukan Zein yang ada dalam mimpi atau Tanvir lalu pria itu siapa?

Nita memperhatikan sahabatnya tersebut, semenjak dari butik gadis itu terus diam dan tidak mengatakan apapun. Pandangan matanya kosong terlihat seperti orang yang sedang melamun, tapi apa yang sedang dilamunkan?

"Za, apakah kamu masih memikirkan tentang pria yang mirip dengan Tanvir itu?" tanyanya  penasaran.

"Benar, aku hanya merasa … kenapa mereka sangat mirip? Hanya saja tatapan mereka sangat beda, dan … kelihatannya Tanvir lebih terlihat segar sedang pria tadi seperti orang yang sakit. Tapi …" Faeyza masih sangat tidak yakin dengan pemikirannya, hanya saja memang semua terihat begitu aneh dalam pikirannya.

"Tapi apa? Kamu ini sudalah, lagi pula … menurutku sebenarnya mereka satu orang. Tapi … Tanvir hanya pura-pura tidak mengenalimu, lain kali kalau bertemu dengannya, aku akan membuatnya mengaku bagaimana?" Nita mencoba untuk menghibur sahabatnya, sekali pun dia juga merasa aneh dengan pria yang baru saja dia temui di butik tersebut.

"Kalian berdua ini jangan suka menyimpulkan sesuatu tanpa berpikir, lebih baik kita cari tahu dulu. Apakah memang benar kalau pria yang kita temui tadi adalah Tanvir," sahut Rico.

"Aku setuju," kata Nita dan Faeyza bersamaan.

Di sebuah rumah sakit, Karina berulang kali menghela napas. Bagaimana tidak, hingga saat ini belum ada juga pendonor yang tepat untuk kakak sepupunya tersebut, rasanya tidak tega kalau ada seorang yang begitu baik harus menderita.

"Kak Zein, bagaimana kalau ternyata kakak tidak bisa diselamatkan?" tanyanya cemas.

"Kenapa harus berpikir seperti itu, bukankah ada Allah yang akan menyelamatkan setiap hamba yang dalam kesusahan selama hamba itu mau berusaha dan berdoa," balas Zein tenang, mereka berdua ngobrol sambil berjalan.

Gadis pirang itu sedikit melirik kakak sepupunya, pria itu terlihat sangat tenang bahkan seperti tidak takut apapun dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan Yang Maha kuasa tidak sama seperti manusia pada umumnya yang selalu ingin memberontak.

"Kak Zein, kakak adalah orang yang sangat baik. Aku akan selalu berdoa semoga kakak segera mendapatkan pertolongan, tapi … apakah kakak tidak pernah sekali pun menghubungi paman dan bibi?"

"Tidak, aku tidak memegang ponsel. Nenek juga melarangku, mungkin takut aku berhubungan dengan dunia luar," balas Zein tersenyum getir.

"Kalau begitu, aku akan meminjami kakak ponsel." Karina menyerahkan ponsel miliknya. Zein masih memandang ponsel itu antara menerima atau tidak, tapi niat baik seseorang tidak boleh ditolak, ia pun tersenyum lalu mengambil ponsel tersebut dan menggunakannya untuk menghubungi adiknya.

Drrt…
Drrt…

Tanvir menoleh pada ponselnya, ketika ponsel tersebut bergetar. Ia mengerutkan kening karena nomer itu adalah nomer keponakanannya, dia penasaran dan memutuskan untuk mengambil ponsel lalu menjawab panggilan telponnya.

"Apa?! kamu telpon di saat begini. Aku sedang di rumah nenek, kalau kamu ingin modus pada Ayahku tidak akan bisa, lagi pula kamu itu sudah punya orang tua sendiri masih saja suka merepotkan orang lain. Bukannya tidak ingin membantu, tapi kamu ini sungguh merepotkan orang saja."

Zein menjauhkan ponsel dari telinga mendengar adiknya mengomel tiada henti, pria satu ini sangat mirip dengan ibunya sangat suka mengomel hal-hal yang tidak perlu.

"Adikku."

Tanvir tercengang mendengar suara sang kakak yang sangat dirindukan dan telah menghilang selama 2 tahun.

Calon Imamku ( Syehan Tanvir Mizan) TAMATWhere stories live. Discover now