Episode 41

163 11 0
                                    

Dengan langkah ringan Faeyza melangkahkan kakinya memasuki rumah, di tangannya terdapat laptop baru serta cetakan hasil kerjanya bersama sang Suami.

" Kenapa kau begitu bahagia? Apakah kau tidak takut menjadi janda?"

Gadis itu menghentikan langkah kakinya, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya." Za, kau boleh senang sekarang, karena kak Zein masih belum meninggalkan mu. Nanti kau pasti akan merasa sedih kalau Kak Zein sudah meninggalkan mu." Tanvir berdiri angkuh di belakang gadis tersebut.

Faeyza membalikkan tubuhnya, ia menatap pria itu dengan alis bertaut." Maksudmu? Aku percaya kalau Suami ku orang yang setia, dia tidak akan pernah meninggalkan ku. Mas Zein adalah orang yang setia dan berbudi luhur, kamu jangan fitnah!"

Tanvir menyerngit, tidak ada yang mengatakan bahwa saudaranya itu akan berkhianat, atau tidak setia tapi pria itu memang sedang sakit keras dan mungkin juga tidak akan berumur panjang.

" Siapa yang fitnah? Kak Zein itu ..." Ucapannya terhenti saat melihat Zein berdiri tidak jauh dari mereka, pria itu seperti sedang membicarakan sesuatu dengan Ayahnya. Tanvir menyeringai, lebih baik kalau gadis itu mendengarnya secara langsung dari pada dari mulutnya.

" Za, lebih baik kamu dengarkan saja apa yang dikatakan Suami mu pada Ayah. Baru kau akan percaya pada ku."

Faeyza menoleh ke samping, tidak jauh darinya sang Suami sedang ngobrol dengan mertua, ia pun segera melangkah kaki menghampiri kedua pria tersebut.

" Ayah tahu, rasanya memang sangat sakit. Tapi ... Sebagai manusia kita harus sabar selain berusaha dan berdoa."

" Siapa yang sakit?" Faeyza menyela pembicaraan Maulana, ia penasaran maksud ucapan mertuanya tersebut.

" Sakit?" Zein membisu, dia khawatir kalau sang Istri akan tahu tentang kondisi tubuhnya yang semakin buruk dan harus segera mendapatkan donor. Ia tidak tega kalau harus membiarkan wanita itu bersedih dan ketakutan akan kehilangan.

" Ayah, Ayah sedang menceritakan tentang penyakit Ayah dulu. Penyakit kerusakan pada jantung itu sangat sakit ketika kambuh, tapi selain berusaha dan berdoa kita juga harus sabar, pasrah semua pada Allah. Tapi ... Kenapa kamu tidak memiliki sopan? Kamu menyela ucapan Ayah, apakah Zein tidak mengajari mu dengan baik," sahut Maulana melirik anak pertamanya.

"Maaf, Ayah. Mungkin Iza hanya khawatir saja, sepertinya ada orang yang membuatnya berpikir aneh aneh," balas Zein melirik Tanvir.

Faeyza merasa bersalah, karena dirinya sang Suami mendapatkan teguran dari orang tuanya." Maaf, Ayah. Tadi Tanvir..." Ucapannya terhenti karena selaan Adik iparnya.

" Kakak Ipar, kenapa kakak ingin melemparkan kesalahan pada ku? Aku kan hanya menanyakan tugas sekolah." Tanvir berjalan angkuh menghampiri gadis itu.

Faeyza memandang pria itu heran, sangat jelas kalau tadi yang dibicarakan bukan masalah tersebut, tapi kenapa sekarang berubah.

" Iza, mas sudah menyuruh orang untuk membereskan perlengkapan mu. Sekarang kita pergi ke rumah Nenek, lalu pulang ke rumah yang sudah mas siapkan untuk Istri mas." Zein meraih tangan Istrinya, bibirnya tersenyum lembut tapi matanya memberikan peringatan pada sang Adik, dia tahu kalau Tanvir akan menfitnah gadis itu.

" Iya, mas. Tapi tadi Tanvir." Faeyza masih ingin menjelaskannya, dia tidak ingin kalau sampai sang Suami salah paham terhadapnya.

" Mas percaya pada mu, kamu Istrinya mas, mana mungkin kamu berbicara omong kosong. Mas juga yakin kalau kamu tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan, jadi Faeyza tidak perlu menjelaskan apapun lagi." Zein mengalihkan perhatiannya pada sang Ayah.

" Ayah, Zein dan Faeyza pamit dulu. Assalamualaikum..." Dia mengambil tangan Ayahnya lalu mencium telapak tangannya. Diikuti oleh Faeyza melakukan hal yang sama, setelah itu mereka berdua meninggalkan Tanvir dan Maulana.

Maulana melangkahkan kaki melewati anak keduanya, dia tahu kalau buah hatinya itu hendak menjadikan Faeyza kambing hitam, untuk sementara dia akan diam tapi bukan berarti akan membiarkan begitu saja. Tanggung jawab anak ada pada orang tuanya.

Tanvir mengangkat kedua bahunya tidak perduli, sedetik kemudian pandangan matanya berubah menjadi sendu, hatinya menyesal karena telah menfitnah seorang wanita yang sangat dicintainya.

" Maafkan aku, Za."

***

Faeyza duduk dengan gelisah di dalam mobil, sesekali menoleh menatap sang Suami, khawatir kalau pria itu tidak percaya padanya. Perlahan ia menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan perlahan." Mas." Berusaha memberanikan diri untuk berbicara dengan Suaminya.

Zein mengalihkan perhatiannya pada sang Istri, ia selalu memandang gadis itu penuh kasih sayang."Iza masih ingin menjelaskan tentang Tanvir?"

Gadis itu mengangguk." Iya, Mas. Aku sungguh tidak mengatakan dusta, aku berani bersumpah kalau tadi Tanvir mengatakan bahwa suatu saat, Mas akan meninggalkan ku. Aku sudah bilang padanya bahwa aku yakin Mas bukan orang yang seperti itu, aku percaya, Mas tidak akan berkhianat pada ku." Suaranya bergetar karena menahan gejolak yang ada dalam dadanya.

Zein tersenyum lembut, dia mengerti kekhawatiran gadis itu. Ia bahkan tidak sedikit pun merasa curiga, tapi mungkin yang dimaksud Adiknya adalah mengenai kondisi tubuhnya yang semakin buruk." Istri ku, bukankah tadi Mas sudah bilang? Mas percaya pada mu, Mas tidak curiga sedikitpun. Iza tidak perlu khawatir, Mas akan selalu setia bersama Iza." Pria itu mengulurkan tangannya meraih kepala Istrinya lalu di sandarkan di dadanya.

" Sayang, Mas sangat senang karena kamu percaya pada, Mas. Mas juga akan selalu percaya pada kamu, lagi pula ... Kenapa Mas harus tidak percaya pada Istri Mas sendiri?" Lembut dan penuh kasih sayang, tangannya juga membelai puncak kepala yang ditutupi kerudung gadis tersebut.

Faeyza tersenyum, hatinya merasa hangat mendengar ucapan pria itu, bahkan dekapannya pun menenangkan.

" Mas, aku ini masih gadis lo. Tapi ... Kalau mas ingin menjadikan ku wanita, aku tidak keberatan kok. Aku percaya sama, Mas." Malu rasanya saat mengatakan kalimat tersebut.

" Iza, Mas tidak akan memaksamu. Mas tahu kamu masih sangat muda, tapi kalau Iza memang ikhlas mengizinkan mas melakukan itu, Mas akan sangat senang dan berterima kasih." Zein semakin mengeratkan pelukannya.

" Mas, kita sudah sampai." Supir memberi tahu setelah mereka tiba di tempat tujuan.

Zein menoleh keluar jendela mobil, ternyata memang benar mereka sudah sampai." Iza, kita turun. Ini rumah Neneknya Mas, beliau sudah tua tapi tetap tidak cerewet."

" Iya, Mas."

Ketika mobil dibuka oleh supir, Zein turun terlebih dahulu, ia mengulurkan tangannya meraih tangan sang Istri lalu membantunya turun.

Deg ...

Mendadak dadanya kembali nyeri, ia tetap berusaha tersenyum lembut seakan tidak terjadi apapun padanya. Keringat dingin sudah membajiri pelipisnya." Hati-hati." Masih sempat dia mengkhawatirkan sang Istri.

Faeyza mendongakkan kepalanya menatap paras sang Suami, pria itu sangat pucat seperti sedang menahan sakit." Mas, kamu kenapa? Kok wajah Mas sangat pucat?" Khawatir dan takut kalau sampai terjadi sesuatu pada pria itu.

" Ah, Kak Zein tidak apa-apa. Dia hanya kepanasan." Tiba-tiba seorang gadis cantik menghampiri pria rupawan tersebut dan memeluk lengannya.

Rania memberi isyarat pada sepupunya itu agar kedokter, sangat berbahaya jika terus seperti ini.

Faeyza menatap tidak suka pada gadis itu, ia pikir bahwa sang gadis adalah orang yang akan merebut Suaminya." Mas, dia siapa?" Tanyanya tidak suka.

"Dia..." Zein mencoba untuk menahan nyeri yang semakin tajam hingga akhirnya dia tak mampu lagi dan pingsan.

" Kak/Mas Zein ...!!!" Teriak Rania dan Faeyza bersamaan.

Calon Imamku ( Syehan Tanvir Mizan) TAMATWhere stories live. Discover now