Episode 82

39 2 0
                                    

Episode 82

Faeyza duduk dengan gelisah di dalam kelas, ia sering mengecek ponsel. Biasanya Zein sangat suka kirim pesan walau hanya sekedar menanyakan hal yang tidak penting, tapi ini sudah setengah hari, pria itu masih belum ada pesan.

"Apa Maz Zein benar-benar marah ya?"

Nita dan Rico heran melihat ekspresi sedih juga gelisah dari sahabatnya tersebut. Nita bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri sang sahabat kemudian duduk di sampingnya.

"Za, kamu kenapa? Kok terus melihat ponsel?"

Faeyza menghela nafas panjang, ia menaruh ponsel miliknya di dalam tas lalu menoleh pada gadis itu.

"Nit, semalam aku sangat kesal dengan Maz Zein. Aku membandingkan dia dengan Tanvir, tadi pagi juga aku bilang kalau Maz Zein itu kaku dan sangat membosankan. Sekarang Maz Zein tidak mengirim pesan apapun padaku, bahkan tadi aku telpon juga tidak jawab. Apa Maz Zein kesal ya?"

"Za, kamu mau tidak dibandingkan dengan wanita lain?" Sahut Rico dari belakang.

Faeyza dan Nita menoleh kebelakang, terlihat Rico mulai menutup buku pelajaran di tangannya. Setelah itu ia memasukkan buku tersebut ke dalam tas.

"Ayah mertua ku juga bilang seperti itu," balas Faeyza.

"Lalu?" Rico bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri sahabatnya lalu duduk di kursi samping sang sahabat.

"Za, Suamimu itu sangat sabar dan baik. Apa si yang kamu keluhkan darinya?" Tanyanya sedikit jengkel sebagai seorang pria, dirinya seakan bisa merasakan bagaimana sedih dan sakit hati ketika dibandingkan dengan pria lain.

Faeyza memutar kepalanya pelan, ia menundukkan pandangan kembali menatap layar ponsel."Maz Zein itu selalu serius dan tidak bisa becanda seperti Tanvir, dia terlalu lembut dan pengertian."

Nita dan Rico saling berpandangan, mereka tidak mengerti jalan pikiran gadis tersebut, memiliki Suami yang baik bukankah harusnya bahagia bukan malah sedih?

Setelah itu mereka berdua mengalihkan perhatiannya pada Faeyza, wanita itu masih sibuk memeriksa ponsel.

" Kalau kau merasa gelisah, telpon saja Suamimu. Tanyakan kabarnya, sudah makan belum, gitu," celetuk Nita.

Faeyza mengangguk, tanpa sadar ia menyetujui bujukan dari sahabatnya tersebut.

ZEM Corporation...

Zein duduk di kursi kebesarannya sambil memeriksa beberapa berkas penting, sesekali ia meringis menahan nyeri di dada, tapi dirinya berjanji untuk tidak mengeluh terutama terhadap sang Istri.

Drrt...

Drrt...

Pria itu meraih ponsel miliknya, ia tersenyum melihat nama sang Istri yang ada di layar ponsel. Dia segera menjawab panggilan telpon tersebut.

"Assalamualaikum."

Jantung Faeyza berdebar kencang hanya dengan mendengar suara sang Suami, seakan pria itu akan memakinya atau marah padanya.

"Maz, aku ..."

Zein masih menunggu kalimat selanjutnya.

"Maz, apakah Maz sangat sibuk?" Tanya Faeyza gugup.

"Ada apa?" Tanya Zein datar.

Wanita itu semakin gusar, bibir terasa kelu ketika ingin mengungkapkan apa yang ada dalam hati.

Zein menyandarkan kepala pada kursi, jemari lentik menyentuh dada kiri dimana jantung berdetak menyakitkan.

"Iza, jika tidak ada yang ingin kau bicarakan, Maz tutup panggilannya." Ia tidak ingin sang Istri tahu tentang kondisi fisiknya yang semakin serius, entah karena terlalu setres atau memang sudah menjadi suratan harus menderita.

"Iya, maaf," balas Faeyza lirih, ada perasaan kecewa dalam hati saat mendengar ucapan sang Suami tapi dirinya juga tidak bisa berbuat apapun karena dia lah yang membuat pria itu sakit hati dan kecewa terlebih dulu.

"Untuk apa minta maaf? Apakah Iza merasa punya salah pada Maz?" Tanya Zein.

Faeyza terkejut karena ternyata pria itu masih belum menutup panggilan telpon darinya.

"Maz, apakah Maz sudah makan siang?"

Zein tersenyum tipis mendengar pertanyaan sang Istri, wanita itu sengaja mengalihkan pembicaraan.

Ia melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya, ternyata sudah menunjukkan waktu makan siang.

"Apakah Iza akan menemani Maz makan siang?"

Entah kenapa Faeyza merasa sangat senang mendengar tawaran sang Suami, perasaan gundah dan gelisah berangsur lenyap berganti dengan perasaan bahagia.

"Iya, aku mau. Aku akan menunggu Maz di kampus ya?" Balasnya ceria.

Rico dan Nita menggelengkan kepala melihat sikap sahabatnya tersebut, mudah sekali berubah-ubah. Sekarang senang, nanti sedih setelah itu marah dan lembut.

"Baik, tunggu Maz di sana," jawab Zein, setelah itu dia segera menutup panggilan telponya. Pria itu mendesis merasakan nyeri dalam dadanya, ia menarik laci meja kerjanya lalu mengambil sebuah botol obat dan mengeluarkan isinya setelah itu meminum obat tersebut.

Begitu rasa nyeri mulai reda, bibir itu tersenyum tipis lalu segera bangkit dari tempat duduknya. Zein berjalan menuju pintu, perlahan ia menggerakkan tangan meraih gagang pintu lalu membukanya.

Pria itu menutup kembali pintu ruang kerjanya, ia mengambil ponsel lalu mengirim pesan pada sekretaris.

(Sonia, saya keluar sebentar. Siapapun yang ingin bertemu dengan ku, minta tunggu di ruanganku)

Zein kembali memasukkan ponsel tersebut ke dalam sakunya, lalu melanjutkan perjalanan.

Di kampus...

Faeyza tersenyum bahagia memikirkan akan makan siang bersama sang Suami, ia pun merasakan kalau perasaan yang dimilikinya juga masih belum tentu.

"Kenapa? Kau terlihat sangat bahagia? Apakah Suamimu ingin mengajakmu jalan-jalan?" Tanya Nita penasaran.

"Bukan, Maz Zein hanya menawarkan makan siang," jawab Faeyza malu-malu.

Nita menepuk pelan keningnya."Hanya diajak makan siang saja kau suka malu-malu, padahal tiap malam kau diajak tidur bersama."

Fira tersipu malu, apa yang dikatakan sahabatnya itu memang benar, mereka adalah sepasang Suami dan Istri, mana mungkin tidak tidur bersama bahkan lebih dari tidur juga sering.

"Sudalah, kau jangan menggodaku ku lagi. Oh iya, semalam aku dan Tanvir juga Maz Zein pergi ke pasar malam. Tanvir bilang, dia ingin menikahi mu." Terselip rasa tidak rela ketika menyebut kata menikahi, ada perasaan sedih membayangkan iparnya tersebut akan menikah dengan wanita lain.

Rico mengerutkan alis melihat ekspresi Faeyza, ia merasa kalau wanita itu tidak rela melihat Tanvir menikah dengan Nita tapi dirinya juga tidak tahu apakah itu hanya kecurigaan saja atau memang Faeyza telah timbul perasaan sayang pada Iparnya.

Nita sangat senang mendengar ucapan sahabatnya, ia telah lama menyukai Tanvir dan selalu sabar dengan semua sikapnya, tidak menyangka kalau ternyata pria itu akan melamarnya.

"Kamu serius, Za? Tanvir akan menikahi ku? Aku sangat tidak sabar mendengar dia datang sendiri dan melamar ku. Tapi ... Sepertinya hari ini dia tidak datang." Nita mendesah kecewa melihat Tanvir tidak datang ke kampus, ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari pria tersebut bahwa dia ingin menikahinya.

"Ya kamu sabar saja, mungkin sekarang dia sedang di kantor. Jadi tidak datang ke kampus," balas Faeyza mencoba menenangkan hati sahabatnya meski hatinya sendiri juga tidak tenang dan ingin melihat Iparnya tersebut.

Calon Imamku ( Syehan Tanvir Mizan) TAMATWhere stories live. Discover now