Talk

386 79 13
                                    

Bagian 28

Don't need to talk the talk, just walk the walk tonight
'Cause we don't need permission to dance.
- BTS

.

Semakin hari semakin baik. Itulah penggambaran hubungan yg terjadi antara Jimin dan Namjoon. Setelah kencan singkatnya di malam Jumat kemarin hanya melakukan menonton sinema, di malam Jumat ini Namjoon mengajak Jimin ke tempat yg Jimin inginkan. Karna Jimin bodoh, belum pernah berpacaran serius apalagi kencan, jadi dia memilih Coex Aquarium yg berada di jantung pusat kota Gangnam sebagai tempat berkencan. Menyenangkan sih, tapi berkat Namjoon yg bak ensiklopedia berjalan, mereka seperti sedang berkaryawisata. :D

Ah untuk waktu kenapa mereka memilih malam Jumat, itu karena Seokjin yg akan terus mengoceh Jika Namjoon terus terusan datang kerumahnya di akhir minggu. Dan Jimin menghindari si alpaca berisik itu untuk mengoceh lebih jauh.

lagipula hubungannya dengan Namjoon belum sampai ke tahap berpacaran, namun Jimin ingin sedikit lebih yakin terhadap perasaannya kepada Namjoon. Entahlah, dia hanya ingin semua berjalan senatural mungkin tanpa terburu buru. Jimin juga ingin meyakinkan bahwa Namjoonlah orang yg dia butuhkan untuk bisa mengambil jawaban dari sebuah undangan cantik yg di berikan Hosoek padanya di waktu lalu. Karna bagaimanapun Namjoon sudah menjadi jembatan penghubung antara dirinya dan Hosoek.

Sedikit cerita, beberapa hari ke belakang Jimin juga bertemu kembali dengan Hosoek pada akhirnya. Ini di karenakan Namjoon yg mendapat telpon dari Hosoek untuk membahas muridnya yg ingin ikut audisi, dan sekaligus menyinggung soal jawaban Jimin atas undangan yg berisi dimana Jimin diminta kembali secara khusus untuk sebuah pagelaran klasik keliling dunia.

Belum ada jawaban pasti dari Jimin. Karna Jimin merasa dia belum pantas berada kembali di atas panggung tanpa persiapan apapun, dan juga Seokjin. Selama ini Seokjinlah yg telah menopang hidupnya, sampai Jimin bisa menata kembali hidupnya. Membiarkan rumah asrinya dia singgahi dan menganggap rumah itu sebagai rumahnya sendiri. Bukan hanya soal makan dan tempat tinggal, Seokjin juga memberikan kasih sayang kepadanya serta begitu banyak rasa khawatir yg membuat Jimin merasa bahwa dia memiliki kembali keluarga. Maka dari itu, Jimin harus membahas ini kepada Seokjin.

Selesai mandi, Jimin memilih duduk di pantry dengan segelas teh. Dia ingin malam sempurnanya yg menyenangkan ini di tutup dengan tidur nyenyak tanpa ingin mimpi buruk, sambil isi kepalanya di ajak berfikir untuk mengawali pembicaraan tepat kepada Seokjin.

Seperti koneksi, Seokjin keluar kamar. Melihat Jimin duduk di meja pantry dengan segelas teh, membuat Seokjin menarik kursi duduk di seberang kursi Jimin.

"Mau kusajikan teh, majikan?" Tawar Jimin.

"Tidak perlu." Kata Seokjin dengan wajah serius. "Ada sesuatu yg ingin ku bicarakan padamu, Mimi."

Jimin merasa agak sedikit aneh. Selama beberapa bulan hidup bersama Seokjin, Jimin sudah melihat berbagai macam mimik wajah Seokjin. Tapi belum pernah dia melihat mimik wajah Seokjin seserius ini. Jadi Jimin mencoba mengimbangi dengan mempersilahkan Seokjin bicara lebih dulu.

"Lusa kita akan pindah." Hati Jimin mencelos dengan banyak pertanyaan kenapa yg muncul ke permukaan secara cepat.

"Kenapa? Bukankah rumah ini masih sangat layak untuk di tempati?" Utara Jimin. Berharap kalau rumah yg Seokjin pilih akan sama nyamannya seperti disini. Yg terpenting, masih di daerah Seoul.

Tapi Seokjin tak menjawab, malah menyodorkan sebuah buku yg Jimin tangkap dengan mata membola bahwa itu adalah sebuah paspor dan tiket pesawat.

Dengan cepat Jimin meraihnya. Melihat paspor miliknya sudah siap dengan visa juga tiket pesawat menuju- negeri paman sam?

"Amerika?" Jimin mengkerutkan alis.

"Mulailah berkemas. Waktu kita tak banyak." Seokjin hendak beranjak dari kursi,

"Majikan, tunggu.." tapi Jimin menahannya dengan menarik tangan Seokjin. "Kita perlu mengobrol. Aku tidak bisa-"

"Aku tidak ingin penolakan, Mimi." Tegas Seokjin. "Karna kemanapun aku pergi, peliharaanku harus ikut."

Jimin ikut berdiri, mendekatkan dirinya tanpa melepas tautan tangannya kepada Seokjin. Jujur saja dia merasa sangat sesak saat ini.

"Majikan, maaf tapi aku tidak bisa.." desahnya. "Aku tidak bisa ikut ke amerika bersamamu."

Seokjin memutar tubuhnya, nsmun tak lekas menjawab. Hanya membiarkan netra sewarna mereka saling bersirobok seolah mencari jawaban.

"Apa karna ini kau tidak ingin ikut bersamaku, Mimi?" Kali ini Seokjin mengeluarkan undangan milik Jimin dari saku bajunya. Melempar ke atas meja hingga menimbulkan bunyi yg agak nyaring di antara mereka.

"Majikan.." lirih Jimin.

"Setelah apa yg telah ku lakukan padamu, kau ingin pergi meninggalkanku begitu saja?"

Suara Seokjin berubah, tidak lagi bernada tinggi namun langsung menusuk tepat ke relung hati Jimin. Membuat Jimin dan perasaannya berubah sendu. Bahkan jelaga Jimin mulai mengabur sebab air mata yg mulai menggenang di pelupuknya. Tentu bukan ini maksud Jimin, hanya dia tak tahu harus memulainya daru mana.

"Majikan, bukan begitu maksudku-"

"Aku menyukaimu Jimin." Sabda Seokjin. "Aku sangat menyayangimu sampai aku tidak ingin kau pergi dariku."

Pada akhirnya ketakutan akan kehilanganlah yg mendesak Seokjin membuat pengakuan ini, walau hatinya di rundung bimbang. Lawan bicaranya tak jauh berbeda, perasaannya begitu rumit.

"Aku mendapat tawaran kerja di amerika dengan Virgil Abloh, dan ini akan berlangsung sampai musim panas berakhir." Kata Seokjin memberitahu. "Ku mohon, ikutlah denganku Jimin. Jangan meninggalkanku."

Pertahan Jimin goyah, perasaan ingin kembali ke panggung mendadak sirna hanya dengan mendengar permohonan Seokjin yg begitu pilu di rungu. Tapi ini adalah kesempatan besar yg telah lama dia tunggu, karna hidup miliknya telah lama di dedikasikan untuk menari. Bagaimana selama dua tahun meninggalkannya, dia sekarat. Jimin tidak memakan buah simalakama, tapi mengapa di hadapkan pada situasi dimana seolah olah di telah menelan buah itu bulat bulat.

"Aku tidak tahu, Seokjin. Balet adalah hidupku." Jimin merunduk. Menghindari pandangan yg semakin membuatnya merasa bingung.

Tapi Seokjin ingin Jimin yakin, bahwa ada hatinya yg akan membuat Jimin kembali hidup. Yg tanpa di sadari oleh keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya saling menghidupi. Bagaimana Jimin secara tak langsung telah bangun dari mimpi buruknya, dan Seokjin yg melalui trauma berat yg tak disadarinya. Menghilangkan sesak dan saling mengobati satu sama lain.

Seokjin menangkup wajah Jimin, menengadahkannya dan kembali menatap kedua manik sewarnanya yg membentuk bulan sendu. Memajukan wajah dan memberanikan diri menabrakan labium tebalnya ke bibir plum milik Jimin. Mengecup lembut.

"Aku mencintaimu, Jimin."

Dan bibir mereka kembali bertemu dalam ciuman yg manis tapi rumit.

.
.
.
.
.

-TBC-




Sad ending or
Happy ending ??

#akumikirkeras

[✓] PET (?)    || [JinMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang