Decision

483 95 13
                                    

Bagian 9


Ketakutan yang membuat kita berhenti untuk berjuang, maka atasi ketakutan tersebut dengan keberanian dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Mungkin Quote itu benar adanya.

Ketakutan yg Jimin hadapi selama dua tahun ini membuat diri pada akhirnya berhenti untuk berjuang, padahal segala gemilang sudah jelas terpampang di depan matanya. Dan sekarang, dia ingin kembali memulainya dengan mendatangi MOONCHILD BALLET STUDIO.

Jika dia tak dapat kembali sebagai balerina, setidaknya ilmu yg telah di dapat selama dulu belajar di negara paman sam itu tidaklah sia sia. Lagi selain itu, dia juga butuh uang tambahan. Dan pada akhirnya pacuan terbesarnya ia kembali adalah soal ekonomi, bukan lagi sebuah Passion meski masih ada sedikit dalam dirinya.

Sebelum berangkat kerja, dengan sengaja Jimin mampir ke alamat yg tertera di kartu nama milik Kim Namjoon. Studio ini cukup membuat Jimin tercengang sebab bangunan klasik megah yg elegan serta papan nama dari studio itu sangatlah besar. Jelas studio yg di miliki Namjoon tak memiliki murid dengan jumlah yg sedikit.

Sesaat keyakinan Jimin goyah. Dia tak yakin bisa jika harus bertemu banyak orang, dan mengajar dengan waktu yg tidak fleksible. Dia masih bekerja di swalayan ngomong ngomong.

Jimin memundurkan langkah, nyatanya hati yg di miliki saat ini tak memilki keberanian sebesar itu. Hingga saat dia berbalik, dia menabrak tubuh seseorang dan membuat mereka jatuh.

"Maaf.. maaf.. aku tidak sengaja." Kata Jimin yg segera bangkit dan membungkuk meminta maaf.

"Ah maaf juga. Aku terburu buru." Kata lelaki berambut merah bata yg juga ikut berdiri dan melakukan hal yg sama. "Oh, bukankah kau Park Jimin?"

Netra Jimin bertemu dengan lawan bicaranya. Pria berkulit pucat dengan mata sipit cenderung seperti orang mengantuk, memiliki tinggi badan yg sama, dan bibir tipis.

Jimin mengangguk mengiyakan tuduhan pria itu dengan perasaan cagung. Tapi si pria itu malah menyunggingkan senyum yg begitu lebar, menampilkan senyum kenyal gummynya yg manis dengan deretan gigi berbehel keramik.

"Aku Min Yoongi," tangannya terulur, menunggu tangan Jimin berjabat dengannya. "Dan Namjoon sudah menunggumu sejak 13 hari yg lalu."

Tangan mereka berjabat pada akhirnya.

"Ayo, ku antar kau menemuinya."

Yoongi menarik tangan Jimin begitu saja, membawa dirinya masuk begitu saja melewati beberapa ruangan yg diisi dengan murid yg sedang berlatih, bahkan beberapa orang yg melewatinya memekik cukup histeris melihat kehadiran Jimin. Hingga mereka naik dengan anak tangga menuju lantai dua.

Di lantai dua, suasananya sedikit berbeda. Lebih tenang dengan hanya memiliki dua ruangan tertutup, meski di luar ruangan tersebut masih ada space besar untuk di jadikan lantai dansa. Dan Yoongi membawa Jimin memasuki ruangan tepat di sebelah kanan anak tangga.

Tanpa mengetuk, Yoongi segera menekan kenop pintu dan masuk. Menampilkan tubuh baguan punggung Kim Namjoon yg sedang melakukan pull up dengan menggantung di ambang pintu balkonnya.

"Hyung, aku membawa hadiah." Kata Yoongi.

"Oh, taro saja di atas meja." Jawabnya tanpa menoreh.

"Kau yakin?" Dehaman kembali di suguhkan sebagai jawaban. "Baiklah,—

Jimin, kau dengar? Kau akan—"

Seketika tubuh Namjoon jatuh ke lantai, dengan gerakan cepat yg hampir mematahkan leher ia menoreh. Matanya membesar, bahkan bibirnya di biarkan terbuka beberapa sekon.

"Ka— kau d- datang?"

Sekarang wajah Namjoon malah berubah sendu dengan pelupuk mata yg tergenang air.

.

"Aku pulang.."

Jimin tersenyum lebar ketika mendengar suara pintu baru saja di tutup. Dengan segera dia berlari ke arah pintu untuk menyambut majikan barunya pulang.

"Sudah pulang?" Seokjin membalas dengan dehaman sambil merapikan sepatu ke dalam rak. "Bisa membantuku mencuci rambut?"

"Cuci sendiri, moodku sedang buruk hari ini." Jawab Seokjin dengan wajah datar. Dia melengang begitu saja meninggalkan Jimin yg mengekor di belakang.

"Maunya begitu, Tapi tidak bisa." Jimin memberengut lucu, menunjukan ke sepuluh jarinya yg di tambal plester berwarna coklat.

"Kenapa tanganmu?" Ketika Seokjin melihat sepuluh jari bantet milik Jimin.

"Tersayat sisik ikan."

Seokjin menghela nafas panjang dan melengang, "Dasar kucing!"

Setelah berganti pakaian, Seokjin menuruti kemauan peliharaannya itu. Dengan kacamata hitam dan poni yg di ikat apel membuat Jimin yg sudah duduk di bathtube terkekeh geli.

"Jangan tertawa!" Suara nyaring Seokjin bergema di kamar mandi. Membuat Jimin berhenti sambil mengusak ujung pelupuk matanya.

"Kenapa menggunakan kacamata hitam? Ini kan sudah malam!?" Tanya Jimin penasaran.

Garukan di kepala Jimin bertambah ritme. Sepertinya majikan barunya ini benar benar dalam mood yg tidak bagus. Tapi, enak sekali rasanya kepalanya di garuk seperti itu.

"Aku sedang cagung karna salah mengambil keputusan." Katanya. "Seharusnya aku tidak mengambil pekerjaan fashion show bulan depan."

"Kenapa?"

"Karna selain akan menyita waktu, Jungkook juga ada disana!"

Jimin mengerutkan alis, dengan rasa penasaran. Siapa Jungkook? Pasalnya selama dia menjadi hewan peliharaan Seokjin selama hampir tiga pekan, tak pernah sekalipun dia melihat Seokjin membawa seseorang datang ke rumah, Bertelpon sampai larut malam, atau menyinggung soal kekasih jika dia sedang mengeluarkan unek uneknya. Wajah sesempurna Seokjin, rasanya tidak mungkin kan tidak memiliki kekasih?

Ah mungkin Jungkook itu adalah rival pekerjaannya. Begitu pikir Jimin.

"Jungkook itu cinta pertamaku. Dan aku tidak bisa sepercaya diri seperti biasanya jika yg bertindak sebagai pengawasnya adalah dia."

Oh cinta pertama. Jimin langsung memutar ingatannya dimana dia pernah menyukai seseorang yg baru pertama kali dia lihat ketika dia baru saja lulus dari sekolah menengah pertama. Pria berbahu lebar dengan poni grepes berkacamata. Hanya sebentar dia melihat pria itu, tapi perasaannya masih terbawa sampai kini meski empat belas tahun sudah berlalu. Love at first sight.

"Mimi," Jimin membalas panggilan Seokjin yg kini sedang membasuh rambut penuh busanya. "Apa saja yg kau lakukan hari ini."

"Membuat keputusan terbesar dalam hidupku." Jawab singkat Jimin yg menikmati air hangat menyentuh kulit kepalanya.

"Dengan menyiangi ikan dan membuat jari jarimu terluka?"

"Ei.. tentu saja bukan." Jimin berdecih, bagaimana majikannya berfikir sesempit itu. "Aku memutuskan menjadi tutor."

Pada akhirnya Jimin mengambil keputusan dengan menjadi pengajar di studio ballet milik Namjoon. Mengajar setiap senin sampai Jumat dengan rentang waktu pukul 10 pagi sampai jam 4 sore. Yg membuat Jimin semakin membulatkan keputusannya adalah, dengan waktu fleksible seminim itu, bayaran yg di tawarkan Namjoon jauh lebih besar daripada bekerja di swalayan.

Dan sisa dari sesi mencuci rambut Jimin adalah mendengarkan kembali majikannya berceloteh tentang segala hal.

Ya, hampir segalanya.



.
.
.
.
.



-TBC-









:)

[✓] PET (?)    || [JinMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang