3. Linglung

248 40 9
                                    

Di jalan yang dilalui kendaraan truk kontainer, menyebabkan Ayunda terpekik ngeri. Rendi yang tengah menyetir, berusaha pelan untuk menyalip dan meyakinkan pada Ayunda bahwa mereka baik-baik saja. Tapi tetap saja, pemandangan di hadapan cukup untuk diwaspadai. Pasalnya, kemungkinan kecil nyawanya aman jika tersenggol sedikit bagian besi truk. Kalau jatuh mendekati ban besar itu, lalu tanpa sepengetahuan sang supir. Bukankah ajalnya akan tiba secara mendadak tanpa persiapan?

"Tenang aja, aman Yun. Aku cuma nggak tau kenapa jalanan malam ini macet, mungkin nggak sih, ada kecelakaan?"

Fokus yang terbagi, Rendi bertanya. Kedua tangannya mencengkram erat stang motor, serta kedua kaki sibuk menyanggah menjaga keseimbangan. Pelan, Rendi berhasil menyalip satu truk kontainer. Tinggal satu lagi dan dapat diketahui ada apa gerangan dikeramaian sana.

"Ish, kamu fokus aja deh nyetir. Jangan sampai kita kenapa-napa. Gawat kalau Ayahku jam segini masih nunggu Aku pulang," Ujungnya Rendi mengangguk, lalu memutuskan untuk tak lagi bicara.

Sedang Ayunda, kepalanya sibuk bergerak kesana-kemari. Kedua mata repot mengamati banyak orang tengah berkumpul di sana, entah apa yang terjadi. Namun ketika Rendi berhasil melewati semua truk kontainer, sempat melihat Ia akan seorang laki-laki terduduk bingung di atas aspal. Terjerembab diikut raut muka menatap sekeliling penuh enggan, bersamaan kuda coklatnya tergeletak tak berdaya. Tampangnya memang aneh, tapi tidak tega rasanya membiarkan orang itu dibiarkan terlantar.

Delman? Tapi kereta untuk mengangkut penumpangnya saja pun tak ada.

Sayagnya hanya sekilas, bertepatan Rendi membelokkan motor masuk melewati gerbang pura kampungnya. Ingin saja Ayunda meminta Rendi berhenti sejenak, tapi Ia urungkan mengingat Ayahnya pasti tengah menunggu sekarang.

~•••~

Pukul setengah sembilan malam, Tarno memasuki kamar pribadinya. Mendudukkan diri di atas ranjang, sembari tangan kiri mengangkat tinggi lukisan indah bergambarkan pepohonan hijau dan rumah-rumah kecil. Dalam sekali lihat pada sebuah kanvas berbingkai sudut segi empat, rasa sesak sudah lama hilang kini muncul. Perihnya luka kembali terbuka, masa lalu terpampang jelas akan dirinya bersama sang istri.

Agni.

Kamar dengan pencahayaan redup, orang yang masuk tak akan menyadari bahwa sang empunya menangis. Mengeluarkan air mata, tanpa diselingi suara. Tarno menangis dalam diam, meratapi istrinya telah tiada untuk selamanya. Tak ada kesempatan setidaknya satu kali agar putrinya tahu akan sosok dan rupa sang ibu, ketiganya berpisah secara paksa karena keadaan waktu tak lagi mendukung.

"Ayah! Ayunda pulang! Di mana Om Wis-"

Dari luar kamar, suara Ayunda menggema. Kedatangan putrinya, lekas Tarno mengembalikan keadaan seperti semula. Jangan sampai sang anak mengetahui hal yang menjadi bebannya sampai saat ini. Masa lalu yang tak bisa terlupakan, menjadi titik terlemahnya untuk membuka kunci lembaran baru kehidupan.

"Ih! Om Wisnu! Kenapa nggak tidur di kamar Ayah aja?"

Melepas tas selempang, Ayunda menyandarkan tubuh di pinggiran sofa. Mencermati sang paman baru saja melek mata, merahnya kedua netra meyakinkan bahwa Om Wisnu benar terkaget dan terganggu dari tidur pulasnya.

"Maaf, Om. Yunda nggak liat Om Wisnu ada di sini."

Mengucek mata, Wisnu menggeleng. Nyawanya belum terkumpul untuk menjawab pertanyaan lebih lanjut, terlebih teriakan Yunda cukup membuatnya nyaris jantungan.

"Gimana, tadi? Kerja kelompoknya sudah selesai?" Tarno melangkah kaki pelan sesaat menuruni tangga, pandangan mata tidak lepas menatap Ayunda. Demikian sudah pukul setengah sembilan malam, adalah janji putrinya yang diingkari.

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang